Kelakuan anak pegawai pajak yang merasa jemawa membangkitkan kejengkelan sosial yang sudah lama berada di dalam sanubari sebagian masyarakat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Awan Nurmawan Nuh (kiri) berbincang dengan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo saat menyampaikan perkembangan pemeriksaan Rafael Alun dan Edi Darmanto kepada wartawan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (8/3/2023). Rafael Alun dipecat sebagai ASN, sedangkan Edi Darmanto dicopot dari posisinya sebagai Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta.
Badai sedang menerpa aparatur sipil negara. Warganet menguliti kekayaan aparatur sipil negara Kementerian Keuangan dan keluarganya yang tidak lumrah.
Badai ini sebenarnya datang tidak sengaja. Kelakuan anak pegawai pajak yang merasa jemawa membangkitkan kejengkelan sosial yang sudah lama ada di sanubari sebagian masyarakat. Harta kekayaan ayah dari Mario, Rafael Alun Trisambodo, yang dinilai tidak wajar, dikuliti warganet. Makin dikuliti warganet, semakin ditemukan bagaimana upaya-upaya menyamarkan kekayaan. Rafael pun kemudian dipecat.
Dari Rafael, gelombang itu menyentuh aparatur sipil negara di lingkungan Kementerian Keuangan. Dari yang terungkap di permukaan, beberapa di antaranya menunjukkan indikasi penyamaran kekayaan dengan modus-modus klasik. Kekayaan diatasnamakan orang lain. Kekayaan tidak dilaporkan. Kondisi ini memprihatinkan dan menciptakan kejengkelan sosial (social resentment). Alarm ini telah menyala.
FAKHRI FADLURROHMAN
Bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo (tengah), berjalan menuju mobil setelah diperiksa di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, 1 Maret 2023.
Fenomena Rafael paling tidak menyampaikan sebuah pesan: tidak berjalannya sistem pengawasan! Kenapa tidak berjalan, itu yang harus dicari. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pernah menyebut, kejanggalan transaksi Rafael telah disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2013 kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, laporan itu tidak ditindaklanjuti sampai badai itu menerpa.
Mahfud, satu-satunya menteri dalam kabinet Presiden Joko Widodo, terus saja bersuara mengungkapkan kejanggalan. Ada 69 pegawai di Kementerian Keuangan yang transaksinya mencurigakan. Ada transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 triliun dalam kurun tertentu.
Situasi psikologis seperti ini mengaduk-aduk perasaan publik yang bisa mengarah pada kejengkelan sosial. Sisi lain, kita patut menyambut positif kebangkitan dan kesadaran warganet, kesadaran pembayar pajak, untuk terus mengawasi perilaku pejabat. Namun, sampai kapan ini akan berhenti.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Spanduk sosialisasi pelaporan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan terpasang di kawasan Pasar Puri Indah, Jakarta Barat, Jumat (3/3/2023).
Kita berharap Presiden Jokowi mengambil langkah konkret dan terukur. Bisa saja Presiden memerintahkan semua aparatur sipil negara dalam periode tertentu untuk mendeklarasikan semua kekayaan yang sudah dilaporkan dan belum dilaporkan, termasuk menjelaskan asal muasal kekayaan itu. Pelaporan bisa disampaikan kepada KPK atau kepada tim lain.
Sekarang ini adalah momentum untuk menggelorakan kembali revolusi mental yang mati suri. Momen ini harus bisa dimanfaatkan untuk bersih-bersih diri dari para penyelenggara negara yang menjalankan peran untuk memperkaya diri dengan menyalahgunakan kewenangan yang mereka miliki. Badai kejengkelan publik harus bisa ditangkap.
Menerbitkan UU Tindak Pidana Perampasan Aset dan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal adalah salah satu jalan. Jika proses pembahasan rancangan undang-undang makan waktu lama, Presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Masalahnya tinggal kemauan politik.