Alarm bahaya berbunyi di China. Alarm ini menjadi peringatan kemungkinan yang bisa terjadi akibat ketegangan AS-China. Harus ada upaya mendinginkan tensi ini.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Tentu bukan ucapan sembarangan dan perlu menjadi perhatian khusus jika hal itu disampaikan pemimpin salah satu negara adikuasa dan menterinya yang menangani hubungan luar negeri. Dalam dua hari beruntun, Presiden ChinaXi Jinping dan Menteri Luar Negeri Qin Gang menyoroti ketegangan hubungan negara mereka dengan AS. Isi ataupun nada pesan yang disampaikan menggarisbawahi benturan keras antara dua kekuatan besar saat ini: AS versus China.
Di hadapan peserta Kongres Rakyat Nasional atau National People’s Congress (NPC) di Beijing, Presiden Xi melontarkan kata-kata yang selama ini jarang disampaikan terbuka: menyebut kata ”Amerika Serikat” sebagai ”tantangan berat yang belum pernah ada sebelumnya” bagi pembangunan China. ”Negara-negara Barat yang dipimpin Amerika Serikat telah menjalankan pembendungan, pengepungan, dan langkah supresif di segala bidang terhadap China,” kata Xi, seperti dilansir kantor berita Xinhua, Senin (6/3/2023) malam.
China, tegas Xi, ”mempunyai keberanian untuk melawan saat negara itu menghadapi tantangan-tantangan besar dan kompleks di lanskap domestik maupun internasional”.
Berselang sehari, dalam konferensi pers selama hampir dua jam, Menlu Qin Gang mengangkat isu serupa. Alarm yang disampaikannya lebih gamblang, sekaligus mengkhawatirkan. Seperti dilaporkan wartawan harian ini yang hadir langsung dalam temu pers itu, Qin menyoroti langkah konfrontatif AS terhadap China. Disebutkan, relasi AS-China semakin menyimpang dari jalur yang rasional. Ia memperingatkan Washington agar ”segera menginjak rem”. Jika tidak, demikian kata mantan Dubes China untuk AS itu, akan ada konfrontasi.
Cara pandang melihat pihak lain sebagai ancaman tak hanya muncul di Beijing. Di Washington, cara pandang melihat China hampir sama. Pada Mei 2022, dalam pidato di George Washington University, Menlu AS Antony Blinken menempatkan China sebagai ”tantangan jangka panjang paling serius terhadap tata internasional” yang coba dipertahankan AS.
Ketegangan AS-China saat ini mulai mengarah, seperti disebut The Economist, parodi Perang Dingin yang berisi kemarahan dangkal. Muncul kekhawatiran, ketegangan dua negara itu jangan-jangan berlanjut pada ”jebakan Thucydides”, situasi yang mengarah perang sebagai hal yang tak terelakkan akibat kerasnya benturan AS-China.
Maka, semakin mendesak upaya-upaya untuk mendinginkan ketegangan dua raksasa itu. Di sinilah, ASEAN, yang disebut Kishore Mahbubani sebagai ”Jalan Ketiga Asia”, bisa memainkan peran itu. Mengingat tahun ini ASEAN diketuai Indonesia, kesempatan tepat bagi Jakarta untuk turut mendinginkan ketegangan. Pengalaman di KTT G20, saat Xi Jinping-Joe Biden bersua di Bali dan menyuarakan keinginan mencegah konflik, bisa menjadi modal berharga.