Pendangkalan Pancasila di Perguruan Tinggi
Salah satu jalan untuk memperkuat posisi ideologi Pancasila di kalangan orang muda adalah dengan membenahi sistem pengajaran Pancasila di kampus, baik soal durasi pembelajaran maupun kebijakan mengenai pengajarnya.
Hasil survei mengenai persepsi generasi muda terhadap Pancasila yang dirilis Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) Universitas Prasetiya Mulya pada Januari 2023 (Kompas, 17/1/2023) menarik untuk ditelaah lebih jauh. Data hasil survei yang melibatkan 1.600 mahasiswa dari seluruh Indonesia tersebut menyebutkan sebanyak 28,6 persen mahasiswa memahami Pancasila dari ruang kelas dan 21,7 persen dari media sosial.
Sementara itu, keyakinan untuk tidak mengganti Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara berada pada angka 93,8 persen. Di sisi lain, ada sekelompok kecil (5,2 persen) yang berpendapat Pancasila dapat diganti dengan ideologi lain.
Baca juga: Generasi Muda Tidak Suka Indoktrinasi Pancasila
Ada dua hal yang perlu disoroti dari hasil survei tersebut. Pertama, pemahaman mahasiswa atas Pancasila yang didapatkan dari ruang kelas yang hanya bertengger di angka 28,6 persen tergolong ironis mengingat Pancasila adalah salah satu mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tinggi kita. Pertanyaannya, seberapa efektif mata kuliah Pancasila memberi pemahaman mengenai Pancasila kepada mahasiswa?
Masalah kedua yang juga perlu disoroti adalah adanya 5,2 persen mahasiswa yang setuju bahwa Pancasila dapat diganti dengan ideologi lain. Meskipun kecil, angka ini patut diwaspadai sebagai potensi bahaya.
Mata kuliah nomor dua
Sebagai dosen yang sudah cukup lama mengampu mata kuliah Pancasila di berbagai perguruan tinggi, munculnya angka 28,6 persen tersebut bagi saya tidak begitu mengejutkan dengan beberapa alasan. Pertama, mata kuliah Pancasila tidak memiliki cukup ruang untuk mengeksplorasi Pancasila secara mendalam.
Bobot mata kuliah yang hanya 2 SKS sangat tidak cukup untuk membahas hal ihwal semesta Pancasila yang sangat luas dan dalam. Kalaupun berjalan, selain terkesan hanya formalitas atau sekadar memenuhi tuntutan administrasi, di sana juga terjadi proses pereduksian Pancasila.
Ujung-ujungnya Pancasila dipelajari hanya pada aspek aksiologisnya, yakni sebagai seperangkat panduan praktis dalam hal bertingkah laku. Padahal, ada aspek ontologi dan epistemologi yang sangat kaya terkandung dalam Pancasila. Belum lagi ketika pada saat yang sama mata kuliah ini dibebani pemerintah tugas mempromosikan sikap ketaatan membayar pajak dan antikorupsi. Alhasil, ia menjadi serupa truk kecil yang dipaksa berjalan dengan muatan berlebih.
Jadilah pengajaran Pancasila seperti tutorial membuat nasi goreng, resep-resep dan instruksi sudah disiapkan dengan lengkap, dosen tinggal menyajikannya di kelas.
Alasan tersebut diperkeruh lagi oleh adanya problem kedua, yakni mata kuliah Pancasila diajarkan oleh dosen yang tidak benar-benar memahami Pancasila secara utuh. Sebut saja misalnya masih ada kampus yang menyerahkan tugas mengajar Pancasila kepada dosen mata kuliah lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan Pancasila. Alasan yang sering digunakan adalah dosen bersangkutan adalah orang Indonesia yang sudah pasti paham mengenai Pancasila, atau lebih pragmatis lagi karena sedang membutuhkan tambahan jam mengajar.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut kemudian semakin terfasilititasi dengan adanya buku pegangan dari Dirjen Dikti kemendikbudristek yang bisa dipakai dosen untuk mengajar. Jadilah pengajaran Pancasila seperti tutorial membuat nasi goreng, resep-resep dan instruksi sudah disiapkan dengan lengkap, dosen tinggal menyajikannya di kelas. Terlepas dari adanya inisiatif dari dosen tertentu untuk mengelaborasi materi menjadi lebih mendalam dan menyajikannya secara menarik, menyerahkan begitu saja mata kuliah Pancasila untuk diajarkan oleh siapa pun jelas-jelas bentuk pendangkalan terhadap Pancasila.
Lalu bagaimana posisi mahasiswa berhadapan dengan hal tersebut? Kemungkinan pertama mereka akan menerima materi Pancasila seadanya sebagaimana yang tertulis dalam buku. Tujuannya hanya satu, yakni dapat nilai akhir.
Kemungkinan kedua, melihat bahwa siapa saja bisa mengajar Pancasila, secara psikologis sangat mungkin mahasiswa meremehkan mata kuliah Pancasila, menganggapnya sebagai mata kuliah tambahan yang tak begitu penting. Hal ini tidak mustahil bisa berkembang menjadi meremehkan Pancasila itu sendiri.
Di sini, Pancasila benar-benar kehilangan wibawa sebagai ideologi negara. Dengan begitu, tentu kita tidak bisa mengharapkan adanya perhatian yang serius dari mahasiswa terhadap Pancasila.
Baca juga: Nestapa Pendidikan Pancasila
Alasan ketiga, sekalipun pengajaran Pancasila diserahkan kepada dosen yang sesuai dengan standar pemerintah, tetap yang masih menjadi celah adalah tidak adanya ruang bagi dosen pengajar Pancasila untuk secara serius mendalami Pancasila dalam bentuk penelitian atau kajian yang berbobot dan berkesinambungan. Akar masalahnya adalah karena pengajar Pancasila tidak memiliki homebase sebagaimana dosen ilmu-ilmu lainnya.
Sebagai gantinya, pengajar Pancasila ”dititipkan” di berbagai program studi sesuai kebutuhan kampus. Arah penelitannya pun sebagian besar disesuaikan dengan program studi tempat ia bernaung. Tanpa menafikan banyaknya kajian berbobot yang dihasilkan oleh para pengajar Pancasila yang telah menyemarakkan diskusi Pancasila di Tanah Air, kajian mengenai Pancasila yang dihasilkan oleh para dosen Pancasila masih jauh dari kata memadai jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain.
Hanya kampus-kampus yang memiliki kekuatan finansial yang cukup yang bisa menyediakan ”rumah ” bagi akademisi pelestari ideologi bangsa ini.
Ini diperparah lagi oleh kenyataan tidak semua kampus sanggup menampung dosen pengajar Pancasila. Hanya kampus-kampus yang memiliki kekuatan finansial yang cukup yang bisa menyediakan ”rumah” bagi akademisi pelestari ideologi bangsa ini.
Hal yang dipraktikkan oleh banyak kampus selama ini adalah membayar dosen-dosen Pancasila secara transaksional sesuai kesanggupan kampus. Sudah barang tentu kita tidak bisa banyak mengharapkan munculnya kajian-kajian berbobot dari akademisi yang sebagian besar waktunya terpakai untuk mondar-mandir dari satu kampus ke kampus lain. Situasi seperti ini tidak bisa tidak berpengaruh terhadap kualitas pengajaran di kelas.
Bara dalam sekam
Di tengah proses pendangkalan Pancasila tersebut, munculnya 5,2 persen mahasiswa yang setuju Pancasila dapat diganti dengan ideologi lain tidak bisa dianggap sepele. Secara jumlah mungkin tidak seberapa, tetapi ibarat bara dalam sekam, potensi bahaya yang bisa ditimbulkan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kita asumsikan para mahasiswa tersebut dalam beberapa tahun ke depan menyebar ke berbagai kelompok sosial dan konsisten mempropagandakan pandangan mereka kepada orang-orang lain, apalagi kalau mereka menjadi orang berpengaruh. Artinya ada bahaya besar yang akan kita hadapi jika potensi ini tidak segera dibereskan.
Jika mengacu kepada karut-marut penyelenggaraan mata kuliah Pancasila, patut diduga bahwa salah satu alasan munculnya kelompok mahasiswa yang setuju Pancasila diganti dengan ideologi lain adalah karena dalam pembelajaran Pancasila di kampus mereka tidak dibekali basis rasionalitas yang cukup untuk mempertahankan ideologi Pancasila.
Jangan-jangan pilihan mereka adalah buntut dari kegagalan dosen memperkenalkan Pancasila secara komprehensif. Dengan kata lain justru sistem pembinaan ideologi Pancasila yang dilakukan di kampus yang menjadi asal-muasal munculnya api dalam sekam tersebut.
Baca juga: Menguatkan Nilai-nilai Pancasila
Memperkuat Pancasila
Salah satu jalan untuk memperkuat posisi ideologi Pancasila di kalangan orang muda adalah dengan membenahi sistem pengajaran Pancasila di kampus. Durasi pembelajaran perlu dipertimbangkan kembali selain pembenahan kebijakan mengenai pengajar mata kuliah Pancasila.
Durasi yang cukup sangat mendukung untuk mengeksplorasi Pancasila secara lebih dalam. Pengajaran Pancasila dengan metode yang lebih variatif dan kreatif pun dimungkinkan kalau waktunya cukup.
Mengakomodasi adanya ruang setingkat program studi untuk menjadi homebase bagi pengajar Pancasila sebagaimana dosen-dosen pada umumnya, juga bisa menjadi embrio lahirnya refleksi-refleksi bermutu mengenai Pancasila dan munculnya gagasan-gagasan kreatif mengenai pembinaan ideologi Pancasila di perguruan tinggi. Sudah semestinya negara ini berinvestasi untuk pelestarian ideologi negara, sebab biaya yang akan ditanggung akan jauh lebih besar apabila ini diabaikan.
Heribertus Jani, Dosen Pancasila di Kalbis Institute dan Indonesia International Institute for Life Sciences (I3L), Jakarta
Facebook: herry.jani.7