Umumnya kita enggan membuka kamus jika mendapati diksi atau kata yang belum kita pahami artinya. Padahal, bahasa kita kaya kosakata. Sikap kita yang membuatnya menjadi tampak rudin dan papa.
Oleh
Fariz Alnizar
·2 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Majalah dinding menjadi sarana bagi siswa meningkatkan literasi bahasa Indonesia di SMPN 17 Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Jumat (21/10/22).
Jika ingin meneroka martabat bahasa Indonesia kiwari, barangkali salah satu alat ukurnya bisa dilihat dari bagaimana kalangan cerdik cendekia, ilmuwan, dan pemilik kuasa memperlakukannya. Sudah lama beberapa kalangan menggelisahkan kondisi martabat bahasa Indonesia yang semakin terdesak, dianggap receh, terlihat rudin, bahkan terkesan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi bahasa ilmiah.
Untuk aspek yang terakhir, yakni kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah, pernah dibahas dengan sangat baik oleh Suwardjono (2008) pada Kongres IX Bahasa Indonesia. Dalam risalah bertajuk ”Peran dan Martabat Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Ilmu”, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM itu menyatakan dengan tedas lagi jahar bahwa ”bahasa Indonesia cukup kaya dan mempunyai potensi yang besar untuk menjadi bahasa pengantar ilmu pengetahuan dan teknologi pada tingkat yang sepadan dengan bahasa Inggris”.
Artinya, selain memiliki kemampuan sebagai alat komunikasi yang efektif, bahasa Indonesia juga mampu digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan gagasan yang bersifat kompleks dan abstrak. Inilah ciri bahasa ilmu. Sayangnya, kemampuan canggih bahasa Indonesia tersebut belum selangkah-seirama dengan perilaku pengguna bahasa Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kalangan pemilik kuasa, pemegang kebijakan, dan juga ilmuwan.
Justru yang kita lakukan malah mencaci karya itu dan mengategorikannya sebagai tulisan yang sulit untuk dipahami.
Di hadapan bahasa Indonesia, umumnya kita tiba-tiba menjadi pemalas yang enggan membuka kamus jika mendapati diksi atau kata yang belum kita pahami artinya. Umumnya kita tidak punya daya tahan untuk bertungkus lumus menyigi arti kata. Alih-alih, justru yang kita lakukan malah mencaci karya itu dan mengategorikannya sebagai tulisan yang sulit untuk dipahami.
Tentu saja kondisi ini berbeda tatkala berhadapan dengan teks berbahasa Inggris. Umumnya kita menjadi pribadi yang antusias mencari arti kata yang belum kita ketahui atau minimal tidak mengategorikan tulisan yang belum kita pahami itu sebagai sebuah tulisan yang buruk akibat terdapat diksi yang kita tidak tahu maknanya.
Pada kesempatan yang lain, setakat ini martabat bahasa Indonesia juga berada pada posisi yang tidak baik-baik saja di mata pengambil kebijakan dan penguasa. Instansi dan jawatan pemerintahan belum beranjak dari keranjingan untuk membuat istilah asing meski istilah itu bisa kita gali dan ditemukan di dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pada 5 Oktober 2022, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI menguarkan siaran pers bertajuk ”Perkuat Food Soveregnity dan Food Resilience, Pemerintah Kembangkan Food Estate di Sejumlah Wilayah”.
Terdapat tiga istilah asing di dalam hulu siaran pers tersebut. Padahal, ketiga istilah itu memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Secara berurutan padanan untuk tiga istilah di atas adalah kedaulatan pangan, ketahanan pangan, dan bentala pangan.
Lema bentala pada frasa bentala pangan dalam KBBI diartikan ’bumi; tanah’ dengan keterangan kl (bersumber dari kesusastraan Melayu klasik). Sepanggang seperloyangan, lema tersebut juga tersua dalam Kamus Dewan Bahasa Malaysia dengan arti yang sama persis ditambah keterangan eja tulisan Jawi بنتالا. Lukman Ali dalam Lurah Taker: Kumpulan Karangan Bahasa dan Sastra (1996) memberi syarah bahwa kata itu (bentala) tidak lagi dipakai dalam bahasa sehari-hari. Bahkan, mungkin hingga kini.
Alakullihal, hemat saya istilah bentala pangan jauh lebih wingit, nyentrik, dan estetik untuk digunakan dibandingkan lumbung pangan, apalagi food estate, yang beredar di masyarakat. Bahasa kita kaya kosakata, sikap kita yang membuatnya menjadi tampak rudin dan papa.
ARSIP PRIBADI
Fariz Alnizar
Fariz Alnizar, Munsyi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta