Panggilan Kerinduan
Di sepanjang 2014-2018, mayoritas bangsa kita terbuai dalam rejuvenasi Cita Luhur Indonesia. Tapi hal itu tak lebih dari manipulasi kerinduan. Awal terma kedua pemerintahan Jokowi, wacana Nawacita bagai ditelan Bumi.
Aus dieser Erde quillen meine Freuden/Und diese Sonne scheinet meinen Leiden (Dari bumi ini bangkit segenap rinduku/Dan mentari ini menyinari seluruh deritaku).
Johann Wolfgang von Goethe (1808)
Bagai siraman air sejuk di terik sahara, begitulah lima vonis pertama majelis hakim pimpinan Wahyu Iman Santoso dalam ”megakasus Sambo” di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan baru-baru ini.
Luasnya apresiasi masyarakat pada pemenuhan kerinduan akan keadilan ini berbanding terbalik dengan kelangkaannya. Hakim Wahyu telah membuat tak sedikit di antara kita diam-diam terpanggil untuk kembali menelusuri deretan kerinduan atau impian kita sebagai bangsa. Sebab, pada deretan itulah ketahanan eksistensi Republik kita terus bertumpu. Bangsa yang kehilangan rindu tinggal menunggu ajal.
Menjelang lomba politik akbar pada 14 Februari 2024, kita dituntut kembali menyimak korpus rindu kita sebagai bangsa dalam neraca Kemerdekaan.
Kerinduan pada Pendiri Bangsa
Dalam ”Rewinding ‘Back to the Future’: the Left and Constitutional Democracy” (Bourchier dan Legge, ed, Democracy in Indonesia 1950s and 1990s, 1994), Ben Anderson (BA) bersaksi perihal kerinduannya kepada para Pendiri Bangsa kita: ”[Mereka] saling berselisih sebagaimana lazimnya politisi, namun mereka sama-sama merasa sebagai bagian dari satu arus emansipatoris ....”
”Mungkin itulah sebabnya maka zaman ini menghasilkan rangkaian pemimpin dengan kualitas dan kuantitas yang tak pernah lagi kita saksikan: Sang Pemula, Douwes Dekker, Tjipto, Semaun, Suwardi Surjaningrat, Marco, Misbach, Tjokro, Sutomo, Sukarno, Tan Malaka, Hatta, Natsir, Sjafruddin, Amir Sjarifuddin, Sartono, Sjahrir, Daud Bereueh, Yamin, Roem, Djuanda, Salim, Wachid Hasjim, Wilopo, Sarmidi, dan banyak lagi. Tidakkah kita kangen berbincang dengan mereka?”
Bangsa yang kehilangan rindu tinggal menunggu ajal.
Kesaksian kerinduan BA kepada para Pendiri Bangsa kita terbaca ke dua sisi.
Pertama, undangan ”berbincang” adalah panggilan yang bermakna luas, jalan untuk melihat aneka kemungkinan dialektika kerinduan, perihal konsistensi, tantangan, dan pengkhianatan—perihal kemerdekaan sebagai tak mesti ”a one-way journey”.
Jauh hari, dalam kondisi khas geopolitik dan geohistoris kita, sudah bisa diproyeksikan bahwa pada status formal merdeka berlaku tak hanya peluang progresi, kreativitas, dan konsumasi kemerdekaan, melainkan juga pengkhianatan kemerdekaan, bahkan kemerdekaan pengkhianatan, di mana kerinduan tergerus dan bangsa kembali terhela ke alam penjajahan.
Kedua, BA tidaklah rindu semata sebagai nostalgia. Dia merindu demi aktivasi kejuangan dalam keluasan cakrawala dan progresivisme zaman. Begitulah dia menekankan kata ”arus” dan terpukau oleh kata ”pergerakan”. ”Tidakkah kita harus menghidupkan kembali kata yang luar biasa ini?” tulisnya.
BA merindu seperti Pericles dalam euloginya kepada para martir Athena, yang kurang lebih bermakna: ”Seorang pahlawan haruslah dihormati dengan laku pahlawan pula.” Maka yang utama bukanlah puja-puji bagi para Pendiri Bangsa, melainkan emulasi atas teladan mereka. Pada tahun 1994 itu, BA mengimbau kerinduan sebagai verba konkret.
Bisa ditambahkan satu sisi lagi. Kendati tak disinggung BA, kerinduannya sulit terlepas dari kemurnian cita-cita kebangsaan para Pendiri Bangsa, bahkan bisa dikatakan justru inilah yang terpenting. Mereka adalah pribadi-pribadi yang diberkahi Tuhan untuk bergerak serempak dalam arus konvergensi kerinduan akan Cita Luhur Kemerdekaan, yang mereka perjuangkan dalam solidaritas asketisme tanpa pamer.
Konvergensi kerinduan merata di kalangan pejuang/pemimpin itu sendiri ataupun antara mereka dan mayoritas rakyat. Dan, prevalensi solidaritas asketisme adalah bukti nyata ketulusan tekad serta kemurnian cita-cita mereka untuk membangun suatu Republik yang bermartabat.
Kerinduan BA nyata dan tertunjang. Paling tidak itu bersambung langsung dengan kesaksian Profesor Kahin dalam karya klasiknya, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).
Diungkapkan: ”Dampak psikologis [Revolusi Indonesia] luar biasa—perubahan mendasar atas status politik dan karakter rakyat Indonesia. Di sepanjang 1945-1950, harkat pribadi dan kolektif mereka meningkat tiada terkira. Tak disangka oleh generasi tua dan banyak orang Belanda, di kalangan generasi mudalah—pemuda dan pemudi—perubahan karakter ini berlaku paling jelas. Mereka mengisi sejumlah jabatan administratif tinggi di dalam pemerintahan. Dan persentase perempuan di dalam parlemen lebih besar daripada di sebagian besar negeri Eropa Barat maupun di dalam Kongres Amerika Serikat.”
Mereka adalah pribadi-pribadi yang diberkahi Tuhan untuk bergerak serempak dalam arus konvergensi kerinduan akan Cita Luhur Kemerdekaan, yang mereka perjuangkan dalam solidaritas asketisme tanpa pamer.
Itu juga tertunjang pada Herb Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy (1962) kala dia bersaksi tentang keenam ciri Demokrasi Konstitusional yang dijalankan oleh para Pendiri Bangsa pasca-1950: ”Masyarakat sipil berperan dominan. Partai-partai sangat penting. Para kontestan kekuasaan menghormati perangkat ’aturan main’ yang terjalin erat dengan konstitusi yang berlaku. Sebagian besar elite politik memiliki semacam komitmen pada simbol-simbol penanda demokrasi konstitusional. Kebebasan sipil jarang dilanggar. Terakhir, tiap pemerintahan irit menggunakan paksaan.”
Hingga kini pun ciri-ciri inilah yang tetap dirindukan oleh tiap aspiran demokrasi di mana pun. Dari paradigma ini pulalah Power dan Warburton (2020) menyatakan kerisauan mereka sedari 2019 perihal demokrasi di Indonesia dan mengecam ”the government’s open repression and disempowerment of political opposition”, serta menegaskan bahwa ”the Jokowi’s administration was taking an ’authoritarian turn’”.
Kita terharu membaca ketulusan kerinduan ”Pak Ben”. Di situ terbetik betapa sedari dekade pertama abad ke-20 hingga pertengahan tahun 1950-an bangsa dan Tanah Air kita diberkati Tuhan dengan laku teladan begitu banyak putra-putri utama bangsa, yang kontinu penuh menghibahkan hidup mereka pada tekad membebaskan bangsa kita yang dijajah, diperas, dan diperhinakan eksesif beratus tahun di dalam kenistaan kolonialisme-tanpa pamrih.
Sudah proverbial tuturan ketegaran Bung Hatta dkk dalam laku hidup bersahaja demi memelihara kemurnian motif dan integritas perjuangan mereka, yang juga tecermin dalam moto IJ Kasimo, Salus populi suprema lex.
Dalam keutuhan tekad bakti mayoritas Bapak/Ibu Bangsa, mereka kebal terhadap pelbagai godaan duniawi dan dorongan untuk korupsi. Mereka pantang terpikat, apalagi berlupa, dalam kenikmatan ragawi di tengah derita mayoritas rakyat yang masih berkalang puing-puing penjajahan demi bangunan Cita Luhur Indonesia. Tegar mereka menampik ”aji serakah” dan ”aji mumpung.” Semua menolak instant and greedy gratification.
Bukan tujuan kita memotret hitam putih para Pendiri Bangsa vis a vis para pelaksana negara di masa-masa sesudahnya. Para Pendiri Bangsa juga bukanlah manusia-manusia sempurna. Dan pada kurun sesudah mereka pun banyak tokoh berintegritas. Maka, rindu kepada para tokoh teladan sejatinya berlaku lintas-rezim.
Umumnya sudah mendiang, nama-nama berikut sulit dilupakan: Djoeanda, Prijono, dan Maladi dari Demokrasi Terpimpin; Ir Sutami, Hoegeng Iman Santoso, M Jusuf, Widjojo-Emil-Sadli, Soemantri Brodjonegoro, Mochtar Kusumaatmadja, Mukti Ali, Ali Sadikin, dan Mohammad Noer dari Orde Baru; lalu Baharuddin Lopa dan Abdul Malik Fadjar dari Era Reformasi.
Berikut masih sederet nama mendiang penghulu rindu: Maria Ulfah, Slamet Iman Santoso, St Takdir Alisjahbana, Rasuna Said, Koentjaraningrat, Soedjatmoko, Hamka, Sartono Kartodirdjo, Yap Thiam Hien, Ibu Kasoer, WS Rendra, Nurcholish Madjid, Gus Dur, PK Oyong-Jakob Oetama—dua pelopor industri pers terpuji dan penegar teladan keindonesiaan.
Tak terkecuali para pahlawan olahraga, yang sebagian masih hidup namun sudah tercatat abadi: Ramang, Tan Liong Houw, Ronny Pattinasarani, Iswadi Idris, Sarengat, Minarni, Rudy Hartono, Ade Chandra-Christian Hadinata, Susi Susanti, Taufik Hidayat, dan pelatih legendaris bulu tangkis, Tahir Djide.
Mereka semua telah menatahkan momen-momen indah dalam rentang panjang kerinduan kita sebagai bangsa. Toh, distingsi semula tak berubah.
Mereka semua telah menatahkan momen-momen indah dalam rentang panjang kerinduan kita sebagai bangsa. Toh, distingsi semula tak berubah. Pada hitungan ketahanan juang empat dekade (antara 1910-an dan 1950-an) dalam solidaritas asketisme dan konvergensi kerinduan, keteguhan integritas dan persaudaraan para Pendiri Bangsa tetap mengatasi tiap himpunan tokoh di masa Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, maupun di Era Reformasi.
Kontras tajam
Dalam konteks terkini, kontras tajam terjadi antara Demokrasi Konstitusional dan Rezim ”Reformasi”. Jika pada yang satu merekah solidaritas asketisme dan konvergensi kerinduan, pada yang lain merebak wabah korupsi dan laku khianat. Jika pada yang satu, prinsip kemerdekaan dan kedaulatan rakyat terus bersinar, pada yang lain, negara kian menafikan kedua-duanya.
Jika pada yang satu, negara sungguh sadar diri menjunjung bangsa, pada yang lain, negara tampak telah kian melecehkannya demi kepentingan oligarki. Di sinilah kita memasuki ihwal sinikal pengkhianatan kemerdekaan, bahkan kemerdekaan pengkhianatan, mengikuti diktum Ruth McVey: ”The nation-state is a chimera”.
Adalah imperatif mengangkat esensi pengalaman wacana Nawacita 2014-2018 kala Joko Widodo-M Jusuf Kalla diusung dalam suatu demam kerinduan fenomenal. Belum pernah ada wacana kampanye seindah-seterpadu kesembilan butir Nawacita.
Agar bobotnya tertangkap, lima kita sebut: menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa; membangun negara kuat dengan reformasi hukum yang bebas korupsi dan bermartabat; meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia lewat perbaikan pendidikan, perumahan, dan land reform; meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing internasional; serta melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.
Di sepanjang 2014-2018 itu, mayoritas bangsa kita terbuai dalam rejuvenasi Cita Luhur Indonesia. Sebab kesembilan mutiara Nawacita itu terhayati sebagai a feasable, up-to-date, and convincing restatement of the bulk of Pancasila ideals. Maka alangkah besar gelombang kerinduan yang dibangkitkannya.
Tapi sungguh sangat menyakitkan bahwa wacana ini segera tersimak sebagai tak lebih dari manipulasi kerinduan. Bertepatan dengan awal terma kedua pemerintahan Jokowi pada 2019, wacana Nawacita bagai ditelan Bumi.
Sebagai gantinya, bangsa kita justru mendadak diterpa keras oleh empat produk legislasi miskin legitimasi dan mencekik reformasi, yaitu UU ITE, UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja, tiga yang pertama merupakan hasil revisi.
Tak hanya itu, segenap jenjang dunia pendidikan dan perguruan nasional kita—persemaian karakter Pendiri Bangsa—pun terpukul ofensif birokratisasi yang berdampak mematikan gairah dan inisiatif Kemerdekaan.
Begitu pula halnya dengan lembaga-lembaga penelitian dengan berpuluh tahun otonomi dan reputasi terhormat. Semuanya diringkus paksa ke dalam BRIN. Kini pun terbetik kemungkinan pelecehan integritas kepentingan bangsa dalam pemaksaan liberalisasi lewat RUU Kesehatan (omnibus law). Lalu inisiatif DPR untuk merevisi UU Mahkamah Konstitusi demi mengebiri prinsip checks and balances dari demokrasi kita.
Sebelumnya, kita terperangah oleh santernya tuntutan para kepala desa agar diberi terma jabatan dua kali sembilan tahun! Semuanya bermotif rakus-kuasa miskin legitimasi.
Sulit dibantah bahwa sudah empat tahun terakhir ini amat terasa gejala betapa bangsa kita kembali digiring oleh para penguasa ke model perkubangan demikian.
Manakala publik berkali-kali tak diperkenankan mengawal keniscayaan legitimasi prosedural-substansial dari tiap legislasi beserta segenap turunannya, kemerdekaan terbalik menjadi keterjajahan. Sulit dibantah bahwa sudah empat tahun terakhir ini amat terasa gejala betapa bangsa kita kembali digiring oleh para penguasa ke model perkubangan demikian.
Kerinduan sebagai verba konkret terbukti empat tahun setelah artikel Pak Ben, yaitu kala Soeharto ditumbangkan pada 21 Mei 1998. Kita tak tahu apakah aktivasi dan emulasi kerinduan bisa kembali meluruskan jalan Republik kita.
Mochtar Pabottingi, Pemikir Kebangsaan dan Demokrasi