Memperkuat Perempuan di Ruang Privat
Upaya memperkuat perempuan di ruang privat harus jadi agenda yang diusahakan segigih upaya perubahan jender di ruang publik. Jika di ruang publik perubahan mengandalkan regulasi; di ruang privat, melalui kerja budaya.
Menyambut Hari Perempuan Internasional, tulisan ini membedah kuatnya demarkasi imajiner tentang ruang privat dan publik yang membelah peran/kewajiban perempuan dan laki-laki.
Masalah ini salah satu yang dihadapi perempuan dalam mencapai kesetaraan jendernya, seperti dijanjikan di SDG’s poin lima yang harus dipenuhi di 2030.
Meskipun realitas pembagian ruang itu begitu nisbi, pembelahan peran itu sering dijadikan patokan formal, kaku dan statis. Hal yang sulit diubah adalah hal-hal terkait hubungan privat di tingkat keluarga, padahal untuk hubungan publik yang mengatur relasi warga dan negara jauh lebih progresif.
Menjelang Pemilu 2009, The Asia Foundation bersama LSI (Saiful Mujani) melakukan survei kepada lelaki dan perempuan perihal peluang dan hambatan bagi perempuan menjadi calon anggota parlemen. Khalayak yang disurvei setuju perempuan bisa dan boleh menjadi pemimpin di ruang publik, wakil rakyat, bahkan presiden. Namun, sebagian besar mereka meyakini hanya lelaki yang boleh jadi pemimpin di keluarga.
Sebetulnya, sebagaimana penelitian Bank Dunia (Noah Yarraw dan Rythia Aftar: 2020), Indonesia secara definitif telah mencapai kemajuan besar dalam kesetaraan jender satu dekade terakhir. Indikator paling menonjol, naiknya kemampuan literasi, angka partisipasi sekolah, dan terbukanya akses ketenagakerjaan bagi perempuan.
Baca juga : Hari Ibu dan Keadilan Jender di Ruang Publik
Diakui, terjadi ketidakmerataan dalam akses pendidikan. Data 2015, di beberapa tempat partisipasi anak perempuan 95 persen (Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah) dibandingkan dengan anak lelaki yang 61 persen. Namun di tempat lain, seperti Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, persentase anak laki-laki yang bersekolah secara rata-rata kelas sekitar satu setengah kali lebih banyak daripada perempuan.
Padahal, di tingkat input, jumlah mereka tak beda jauh. Rupanya hal yang menghalangi perempuan bersekolah adalah tanggung jawab di ruang privat. Ketika Covid-19 melanda dan anak harus belajar dari rumah, studi kuantitatif di sejumlah daerah menunjukkan, anak perempuan paling rentan berhenti sekolah. Banyak orangtua laki- laki kehilangan pekerjaan akibat Covid-19. Perempuan (istri) kemudian masuk ke dunia kerja (informal) dan beban pengurusan keluarga diserahkan kepada anak perempuan.
Kawin anak
Survei juga menunjukkan secara konsisten, hal yang menghalangi mereka bersekolah adalah kawin anak. Sebetulnya, prevalensi kawin anak telah turun dari 14,47 (2008) ke 10,35 (2020). Namun, sampai kini 22 provinsi berada di atas rata-rata angka nasional 9,25. Yang mengherankan, tiga wilayah Jawa (Timur, Barat, Tengah) masuk di dalamnya meski capaian pendidikan perempuan di tiga wilayah ini tertinggi di Indonesia.
Jajak Pendapat Perkawinan Anak Infografik
Kawin anak contoh klasik yang menggambarkan kuatnya demarkasi imajiner yang membelah ruang rivat dan publik. Regulasi pencegahan kawin anak telah cukup memadai untuk mencegah, misal perubahan UU Perkawinan No 16/2019 tentang batas usia anak dari 16 ke 19 tahun. Di banyak wilayah kabupaten sampai desa diterbitkan peraturan bupati dan peraturan desa. Di banyak desa adat ditambah juga peraturan adat, seperti Awig-awig di Lombok.
Namun, begitu keluarga memutuskan anak harus kawin, apa pun alasannya, negara tak sanggup mencegah. Keputusan di ruang privat tempat di mana perkawinan diputuskan begitu kokoh tak tergoyahkan. Bahkan, ketika dibawa ke ruang publik peradilan agama, pemberian dispensasi selalu memihak ke keputusan keluarga sehingga kawin anak tetap diloloskan.
Hak bekerja
Dua tahun terakhir, Rumah Kitab melakukan kampanye hak perempuan untuk bekerja. Ini seperti aneh karena bekerja hak semua warga. Survei analisis situasi menunjukkan, yang menghalangi perempuan bekerja adalah kuatnya norma-norma jender yang berpangkal dari keterbelahan pembagian peran di publik dan privat.
Perempuan, apa pun latar belakang pendidikannya, begitu berkeluarga dan punya anak, sebagian bisa tetap bekerja, tetapi mengurus keluarga dan anak jadi tanggung jawab mereka. Sebagian lain berhenti total meski secara finansial tak mencukupi.
Norma jender yang mewajibkan perempuan mengurus keluarga dan lelaki jadi kepala keluarga (meski menganggur) menyebabkan perempuan rentan tersingkir dari dunia kerja formal. Anehnya, lebih dari 80 persen dari 600 responden perempuan meyakini mengurus keluarga tanggung jawabnya.
Norma jender yang mewajibkan perempuan mengurus keluarga dan lelaki jadi kepala keluarga (meski menganggur) menyebabkan perempuan rentan tersingkir dari dunia kerja formal.
Masih terkait dengan perempuan bekerja, hal lain yang menggambarkan kuatnya demarkasi privat publik adalah pengabaian peran perempuan sebagai kepala keluarga (KK). Data BPS mencatat, sekitar 16 persen rumah tangga di Indonesia dipimpin perempuan. Dari sekitar 89 juta KK di Indonesia, yang dipimpin perempuan sekitar 14,24 juta. Namun, fakta ini tak menggoyahkan anggapan KK harus lelaki.
Isu lain, soal sunat perempuan. Tahun 2013, Riskesdas Kementerian Kesehatan mencatat 51,2 persen anak usia 0-11 tahun mengalami sunat perempuan. Itu artinya, satu di antara dua perempuan disunat, apa pun bentuk sunatnya. Indonesia telah bekerja keras selama satu dekade dalam upaya pencegahan sunat perempuan. Namun, hingga saat ini sunat perempuan tetap dipraktikkan.
Sunat perempuan atau P2GP adalah contoh dari kokohnya demarkasi privat dan publik. Secara publik, negara telah mengeluarkan aturan bagi para petugas kesehatan untuk tak melayani permintaan sunat perempuan. Namun, keputusan bersunat ada di ruang privat. Jika petugas kesehatan menolak, orangtua akan membawa anak ke paraji/dukun. Padahal, semua tahu tak ada manfaat apa pun dari sunat perempuan itu.
Baca juga : Refleksi Kawin Anak
Upaya memperkuat perempuan di ruang privat harus jadi agenda yang diusahakan segigih upaya perubahan jender di ruang publik. Jika di ruang publik perubahan bisa mengandalkan regulasi; di ruang privat, tak bisa lain harus melalui kerja budaya dan tafsir keagamaan.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang melahirkan fatwa-fatwa yang memperkuat dukungan perempuan dalam isu- isu privat, seperti kawin anak, sunat perempuan, dan hak reproduksi adalah contoh sukses mengintervensi ruang privat dengan pendekatan keagamaan. Namun, usaha-usaha serupa itu membutuhkan strategi lanjutan yang lebih operasional. Memberdayakan lelaki adalah satu hal, dukungan kultural dan pandangan keagamaan yang lebih terbuka kepada fleksibilitas domain publik dan privat adalah hal lain yang harus mampu memecahkan demarkasi itu.
Lies Marcoes Visiting Fellow pada KITLV Universitas Leiden, Belanda