Berkaca pada Bung Hatta
Bung Hatta mengajarkan, tanpa jabatan dan kekayaan melimpah saja etika universal harus dijaga, terlebih dengan jabatan publik yang gajinya dari rakyat. Tanpa integritas, upaya reformasi birokrasi tidak akan berarti.
Putri kedua Bung Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, bercerita bahwa Bung Hatta pernah menegurnya karena satu perkara yang mungkin dianggap kecil.
”Ada satu yang Ayah mau peringatkan kepada Gemala, kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya janganlah dipakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemala, kan, surat privat bukan surat dinas. Jadinya, tidak baik dipakai kertas dari Konsulat itu,” tulis Bung Hatta dalam surat tertanggal 26 Maret 1975.
Diakui Gemala, saat bekerja paruh waktu di konsulat jenderal saat studi di Australia, ia memakai amplop konsulat karena tidak menemukan amplop polos. Sementara kawannya ternyata selalu melakukan hal itu agar suratnya dianggap penting dan diutamakan saat antar.
Itulah salah satu mata air keteladanan yang diwariskan Bung Hatta, diceritakan Gemala dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (Meutia, Gemala, Halida, 2015).
Kasus yang sedang heboh adalah tentang anak pejabat yang menganiaya orang lain. Unggahan di media sosialnya merasa diri penting dan pamer kemewahan. Ada pendapat tindakan anak itu tidak perlu dikaitkan dengan profesi ayahnya. Memang banyak faktor yang melatarbelakangi, tetapi tanpa mengaitkan jabatan orangtua juga sulit, sumber kemewahan sang anak.
Surat kepada Gemala menunjukkan bahwa urusan Bung Hatta bukan hanya terkait jabatan karena Bung Hatta telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956, jauh sebelum surat ditulis. Bung Hatta bahkan sering menunda membeli barang (pribadi) karena mendahulukan kepentingan lain.
Bung Hatta mengajarkan, tanpa jabatan dan kekayaan melimpah saja etika universal harus dijaga, terlebih dengan jabatan publik yang gajinya dari rakyat.
Kisah serupa dapat kita temukan pada keluarga Jenderal Hoegeng. Mantan Kapolri ini tidak bersedia membuat surat katebelece agar anak-anaknya dapat diterima ketika mendaftar sekolah favorit.
Tanpa integritas, upaya reformasi birokrasi seperti perbaikan remunerasi dan berbagai pembenahan sistem lainnya tidak akan berarti.
Zulfadhli NasutionAnalis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Jejaring Pendidikan KPK
Mustahil Basmi Rasuah
Hingga detik ini virus rasuah di NKRI masih merajalela. Bahkan, terkesan tidak lagi dianggap sebagai momok yang menakutkan.
Buktinya proses peradilan dan hukuman bagi pelaku rasuah yang tertangkap hanya mereka anggap apes. Apalagi hukuman yang dijatuhkan juga sering ringan, tidak membuat jera sang pelaku. Padahal, pasal-pasal untuk memberi hukuman berat sudah ada di KUHP dan UU Tipikor.
Mandulnya hukum terhadap koruptor dan ringannya vonis hukuman bagi pelaku akhirnya hanya menjadi olok-olok, tidak lagi menakutkan karena multidiskon.
Menjengkelkan memang melihat semua ini. Sudah saatnya rezim mengasah kembali kemauan politiknya untuk mempertajam mata pisau keadilan sehingga berani menjatuhkan hukuman yang menjerakan bagi pelaku rasuah
Sudah saatnya mengambil langkah revolusi total dalam bersikap antirasuah. Tidak perlu memedulikan HAM dan kepastian hukum jika KUHP dan UU tidak menciptakan keadilan. Pelanggar hukum perlu dibuat bermanfaat bagi negara dan rakyat.
Sebaiknya, karena penjara sudah penuh, bisa makan tidur enak yang dibebankan pada APBN, maling ayam, jemuran, sandal, tipiring, dan lainnya tidak perlu dimasukkan bui. Cukup menjalani wajib reboisasi.
Pelaku rasuah Rp 100 juta subsider hukuman wajib reboisasi 100 hektar hutan gundul dan kelipatan hukuman bagi rasuah dengan nilai yang lebih besar.
Sahat SitorusPengamat sosial, Duren Sawit, Jakarta Timur
Menanggapi Partai Kristiani
Bagian muka salah satu gereja yang disegel, Sabtu (30/9/2018). Pemerintah Kota Jambi menyegel tiga bangunan gereja pada Kamis sore lalu dengan alasan belum ada izin mendirikan bangunan meski proses pengajuan izin sudah dimulai sejak 2003.
Surat ini menanggapi surat pembaca Bapak Asvi Warman Adam yang berjudul: ”Penting Bentuk Partai Kristiani” (Kompas, 1/3/2023).
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas semua pemikiran dan dukungan kepada kami, umat beragama minoritas di Indonesia. Surat ini merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili pihak mana pun.
Strategi kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru adalah kestabilan. Peleburan partai-partai keagamaan—Islam ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) —tidak hanya menyederhanakan partai politik saat itu, tetapi juga menekan politik identitas keagamaan.
Sejak era Reformasi, PDI-P (kubu Megawati) sebagai pengganti PDI (kubu Soerjadi) telah mengakomodasi dengan baik kebutuhan dan keterwakilan politik dari Partai Katolik dan Partai Kristen dengan lebih menonjolkan nasionalisme dan kesatuan (NKRI). Tidak pernah muncul isu Partai Katolik dan Partai Kristen akan keluar dari PDI-P serta membentuk partai sendiri.
Persoalan yang masih sering dan terus berulang adalah kasus penolakan pendirian gereja di suatu daerah dengan berbagai alasan. Kami, kaum minoritas, hanya bisa berdoa agar saudara-saudara kita yang menolak itu dibukakan Tuhan pemahaman agamanya.
Nabi Muhammad SAW tidak pernah memperlihatkan kebencian bahkan memberikan pertolongan kepada umat yang tidak seiman. Kini, tiga agama Abraham (Yudaisme, Kristen, dan Islam) berbagi tempat yang sama untuk beribadah di Uni Emirat Arab dengan dibukanya Rumah Keluarga Abraham di Abu Dhabi. Arab Saudi (MBS) juga sudah melarang aliran Wahabi. Semoga semua perubahan ini membawa angin kedamaian dan bisa sampai Indonesia.
Pendirian partai politik baru belum tentu menjadi solusi dan berpotensi memecah belah untuk perbedaan yang tidak signifikan. Nanti yang merasa tidak diperlakukan dengan adil lalu bikin partai baru. Klub motor gede bikin partai. Klub knalpot blombongan iri lalu bikin partai juga. Sejak era Reformasi, kini sudah ada 18 partai politik, tetapi anak-anak kita tetap ketakutan karena kegiatan klitih.
Turunnya Banser NU untuk menjaga keamanan dan mencegah praktik terorisme di gereja saat Natal dan Paskah menunjukkan tidak hadirnya negara untuk melindungi hak beribadah warga yang dijamin undang-undang.
Di sisi lain, alangkah baiknya jika umat mayoritas di Indonesia, membantu mereka yang tidak seiman agar dapat beribadah. Percayalah, toleransi akan tumbuh subur.
Djoko Madurianto SunartoJl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Kisruh Bumiputera
Para nasabah pemegang polis PT Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang menyebut diri mereka sebagai Korban Gagal Bayar AJB Bumiputera 1912 melakukan unjuk rasa di depan Gedung AJB Bumiputera 1912 di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (21/10/2020). Mereka mendesak AJB Bumiputera 1912 segera menyelesaikan tanggung jawabnya mencairkan pembayaran klaim. Para pemegang polis yang berstatus habis kontrak (HK), penebusan, meninggal dunia dan Dana Kelangsungan Belajar (DKB) sudah mengajukan klaim, namun tidak ada kepastian kapan polisnya dibayar. Kebanyakan pemegang polis tersebut sudah tidak mendapat uang klaim asuransi sejak tahun 2018, 2019, hingga 2020. Kompas/Wawan H Prabowo
Seorang agen polis asuransi AJB Bumiputera 1912 yang sudah bekerja 30 tahun, asli Gunung Kidul, mengadu ke saya, ”Kangmas, kula gumun setahun, njembleng serendeng (Bang, saya heran selama setahun, bingung sepanjang musim hujan) dengan kisruh Bumiputera. Tempat saya sekeluarga bergantung.”
Ia menggerundel, selama ini Bumiputera yang sudah berumur lebih dari satu abad baik-baik saja. Mampu melewati berbagai krisis tahun 1930, 1945, 1965, dan 1998.
Bumiputera selama ini menerima uang premi Rp 5 triliun per tahun, membayar lunas semua klaim polis. Tiba-tiba sekitar 2016 dinyatakan tidak sehat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengirim ”tim dokter” terdiri atas ahli ini itu untuk menyehatkan.
Sebagai agen dan pengutip uang premi, ia tidak paham urusan pimpinan dan direksi Bumiputera. Betapa terkejutnya dia ketika kegiatan Bumiputera dibekukan. Berarti pemasar tidak bisa menjual polis, tidak lagi mengutip uang premi. Jumlah mereka sekitar 25.000. Pembekuan ini sama dengan musibah.
Para agen jadi penganggur. Studi anak tersendat, angsuran sepeda motor macet, dan kontrak rumah menunggak. Saya tidak tega melihat matanya mulai berair.
Sebelum berpamitan dia melontarkan usul sederhana. Kalau Bumiputera dianggap tidak sesuai ketentuan, silakan disuntik mati saja. Namun, beri kesempatan dulu menunaikan kewajibannya: membayar lunas semua klaim polis jatuh tempo dan polis berjalan.
Uangnya dari mana?
Mudah! Jual semua aset: perkantoran, hotel, tanah, dan lainnya. Itu dulu dibeli dengan uang premi nasabah, kini kembalikan ke nasabah.
Ia bertanya, bagaimana kinerja pejabat negara yang mengawasi asuransi?
Saya merenung. Betapa sedihnya para agen ini. Mereka tidak menerima gaji karena bukan karyawan, tetapi jadi ujung tombak pemasaran. Dua tahun silam beberapa agen ”menangis” lewat surat kepada wakilnya di Senayan dan orang nomor satu negeri ini.
Saya sendiri sebagai pemegang polis sudah bersiap gagal menjadi jutawan apabila klaim polis saya yang Rp 50 juta tidak dibayar.
Sugeng HartonoPerumahan Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Semrawut di Pondokgede
Arus kendaraan di ujung Jalan Raya Pondokgede (depan Tamini Square) sampai depan Asrama Haji, Jakarta Timur, setiap hari tersendat. Khususnya pada jam-jam puncak, saat bus Transjakarta datang dan berangkat dari Halte Garuda.
Terjadi pertemuan arus kendaraan di pertigaan Jalan Raya Pondokgede dengan Jalan Pinang Ranti II. Ada pengatur jalan, tetapi lebih sering menambah keruwetan.
Penyempitan jalan setelah pertigaan jalan menambah ketidakteraturan. Jalan yang sebelumnya delapan lajur, tinggal empat lajur. Ini masih diperparah oleh keluar masuknya bus Transjakarta dan Metro Trans di Terminal (akhir) Pinang Ranti. Belum lagi stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang persis di sebelah terminal, menambah kemacetan saat bus keluar masuk mengisi bahan bakar gas.
Ke mana polisi lalu lintas dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta? Mengapa tenda pos lalu lintas di depan Halte Garuda tampak sepi kegiatan?
Mohon kepada Penjabat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengupayakan pelebaran Jalan Raya Pondokgede, mulai pertigaan SMAN 48, paling tidak sampai Asrama Haji Pondokgede. Tanpa pelebaran jalan, mustahil kekacauan arus lalu lintas bisa diatasi.
A RistantoJatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi