UU PPRT untuk Indonesia Naik Kelas
Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tak hanya akan menaikkan kelas PRT tetapi juga pemberi kerja. Ini pada akhirnya merevolusi mental bangsa untuk naik kelas karena sama-sama terjaga martabat kemanusiaannya.
“Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya,” ajar Sarinah (dikutip Soekarno 1964)
Nasionalisme Indonesia disebut Soekarno sebagai nasionalis kerakyatan atau humanis karena pendidikan humanis dari Sarinah (historia.id) kepadanya. Soekarno demikian mencintai PRT-nya ini serta mengekspresikan terima kasihnya secara setimpal, maka seharusnya kita anak cucu ideologis Soekarno menggenapinya dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Sarinah, PRT asal Tulungagung adalah sosok perempuan paling berpengaruh kepada Bung Karno sehingga namanya (bukan nama ibunya ataupun Bu Inggit) dijadikan judul buku oleh Bung Karno. Buku Sarinah berisi gagasan Bung Karno tentang status dan peran perempuan dalam revolusi untuk pembentukan bangsa (nation building).
Bukan hanya dijadikan judul buku, gedung mal pertama di Indonesia juga diberi nama Sarinah. Gedung Sarinah sekaligus pelambang ekonomi kerakyatan sehingga patung-patung yang dihadirkan adalah sosok petani laki-laki dan perempuan pedagang sektor informal.
Baca juga: Pelindungan PRT, Siapa Peduli?
Sayangnya, pada 14 Juli 2022 saat pembukaan kembali Gedung Sarinah, tanpa kehadiran rakyat jelata baik para PRT, pedagang sektor informal, ataupun petani. Wajah Sarinah sebagai PRT baru muncul dalam perayaan pembukaan Gedung Sarinah secara terpisah di film "Mbok dan Bung" yang dikeluarkan seminggu kemudian pada 22 Juli 2022.
Sama seperti Sarinah, para PRT bekerja serabutan termasuk sebagai pembentuk karakter anak-anak. Dapat dipastikan bahwa para pemimpin negeri dan anak-anak mereka saat ini juga diasuh oleh PRT. Sudah sepatutnya mereka menghargai dan berterima kasih kepada para PRT seperti halnya Presiden pertama RI.
Menurut Soekarno, Sarinah adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupnya (Historia.id.). Sarinah membentuk jagat "dalam" Bung Karno. Ibaratnya, kalau bukan karena didikan Sarinah mungkin Bung Karno tidak mempunyai keberpihakan kepada rakyat kecil sehingga pertemuan dengan Marhaen akan berlalu begitu saja tanpa makna apapun.
Sama seperti Sarinah, para PRT bekerja serabutan termasuk sebagai pembentuk karakter anak-anak. Dapat dipastikan bahwa para pemimpin negeri dan anak-anak mereka saat ini juga diasuh oleh PRT.
Keberpihakan moral Soekarno kepada rakyat jelata berlanjut menjadi keberpihakan politik untuk mengubah nasib mereka saat bertemu Marhaen. Pemikiran kritis Soekarno mengantarnya kepada aksioma bahwa rakyat miskin ada karena sistem yang buruk, yang eksploitatif dan memiskinkan mereka.
Sarinah dan Marhaen adalah dua sosok yang menjadi pilar dari ideologi pembebasan terhadap manusia dan bangsa yang tertindas, yang oleh Soekarno kemudian dinamakan ideologi Pancasila. Ideologi ini berlaku universal sehingga ditawarkan menjadi ideologi dunia saat Soekarno berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960.
Di dalam ideologi pembebasan Pancasila ada wajah Sarinah yang PRT dan Kang Marhaen yang petani. Sayangnya, nasib keduanya tidak berubah menjelang 78 tahun Indonesia merdeka. Sektor domestik, informal dan pertanian masih bersifat exploitatif meskipun terbukti sebagai penyelamat bangsa setiap menghadapi berbagai krisis ekonomi.
Kekerasan simbolik
Dalam buku Sarinah (1947), Soekarno menyebut atau memanggil para perempuan Indonesia sebagai Sarinah. Buku ini kemudian menjadi buku putih yang wajib menjadi rujukan para Sarinah dalam barisan Sukarnois. Kader Sarinah kemudian menyebut diri sebagai feminis Pancasila.
Pemikiran Soekarno terkait pembebasan perempuan sejalan dengan feminisme sosialis dengan menunjuk sumber ketertinggalan perempuan adalah feodalisme dan kapitalisme. Keduanya patriarkis sehingga bisa berkonspirasi dalam bentuk kolonialisme yang menjadikan laki-laki dan perempuan pribumi sebagai buruh murah demi maksimalisasi akumulasi kapital (profit).
Di jaman post kolonial (merdeka) situasi perempuan dan laki-laki di sektor domestik, informal, dan pertanian tetap sama. Mereka masih menjadi korban diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, dan bahkan menjadi obyek semua bentuk kekerasan baik fisik maupun non fisik, terutama kekerasan simbolik.
Baca juga: Urgensi Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga
Kekerasan simbolik (Pierre Bourdieu, 1970) bersifat laten, tidak disadari, juga tidak dirasakan, baik oleh pelaku maupun korbannya. Wujud kekerasan ini muncul akibat perbedaan kekuasaan antar kelompok sosial. Kekerasan simbolik berfungsi untuk melegitimasi dominasi satu kelompok ke kelompok lainnya.
Dominasi itu dinikmati melalui adanya kepatuhan. Sistem sengaja dibuat atau dibiarkan sehingga memunculkan adanya perbudakan sukarela. Tatanan sosial akan dipertahankan melalui legitimasi terhadap kelompok berkuasa melalui cara berpikir, berposisi, dan berperilaku tertentu untuk menolak tindakan yang bertujuan meniadakan dominasi tersebut.
Kekerasan simbolik menaturalisasi dan menormalisasi dominasi tetapi melalui penjangkaran mental yang mengarahkan individu untuk memandang dunia dengan cara yang menguntungkan bagi yang dominan. Mengapa reaksi publik terhadap kekerasan yang dialami para PRT tidak sekeras reaksi terhadap korban David? Karena kekerasan terhadap PRT dianggap normal dan natural bahkan oleh sebagian aktivis perempuan sekalipun.
Sayangnya, kekerasan simbolik ini sering dilakukan justru oleh negara melalui pembuatan hukum dan kebijakan yang memihak kelompok dominan. Pengesahan 10 UU baru dan 2 RUU di Sidang Paripurna DPR dengan "menyalip" RUU PPRT sejak tahun 2020 merupakan contoh kekerasan simbolik.
Soekarno jelas mendukung kesetaraan jender dengan menolak rivalitas laki-laki dan perempuan. Menurutnya, keduanya saling membutuhkan dan saling menggenapi sejak proses penciptaan hingga kematian manusia. Tanpa kerja sama keduanya sebuah bangsa bahkan akan binasa.
Laki-laki dan perempuan harus kerja sama dalam reproduksi, produksi, maupun kegiatan sosial demi tujuan bersama, yaitu keadilan sosial yang ditandai dengan tiadanya penindasan baik antar individu, kelompok masyarakat, maupun bangsa. Keharusan kerja sama dari tingkat individual hingga internasional ini ada di sila kedua Pancasila, berupa rantai bundar dan persegi yang bersambungan tiada putus (Soekarno, 1957).
Di bab 5 buku Sarinah, Soekarno mendorong para Sarinah menginisiasi dan memimpin Gerakan Perempuan. Perempuan (dan laki-laki) diingatkan untuk membongkar diri dari mentalitas feodal agar bisa melawan tantangan yang lebih tinggi yaitu (neo) kolonialisme. Kedua isme tersebut mempunyai roh sama yaitu superioritas kaum tertentu melahirkan perbudakan baik di masa lalu bahkan hingga masa sekarang.
Karena Sarinah jaman "now" menjual jasa atas dasar upah maka Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengharuskan kita menyebutnya sebagai "pekerja". Mereka berhak mendapat upah dan kondisi kerja yang layak bagi kemanusiaan persis bunyi Pasal 28 konstitusi kita.
Revolusi pembentukan bangsa ( nation building) harus dilanjutkan melalui pengesahan UU PPRT yang isinya adalah merevolusi mental bangsa untuk naik kelas juga.
Sebenarnya de facto negara sudah menikmati peran mereka sebagai pekerja melalui "kebijakan" Badan Pusat Statistik (BPS) yang memasukkan para PRT ke dalam kategori pekerja dalam Survei Tenaga Kerja tiap 5 tahun. Tetapi, sama seperti keberadaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang PPRT, keduanya tidak mampu memberi perlindungan PRT dari praktik perbudakan modern.
Menolak mengakui profesi PRT sama artinya menolak PRT naik kelas dari budak, babu, pembantu menjadi pekerja. Nasib PRT mutlak tetap di tangan invidual majikan. Kalau majikan baik itu rejeki, bisa digaji tinggi dan nyawa terlindungi. Jika sebaliknya maka PRT bisa disiksa seperti Anik dan Toipah (2015); Nurlela (2019); Khotimah, Rizky, Rohimah (2022), atau mati seperti Narsih (2001), Hapsari (2009), Linawati (2019), Salamah (2019) dan lain-lainnya.
Revolusi pembentukan bangsa (nation building) harus dilanjutkan melalui pengesahan UU PPRT yang isinya adalah merevolusi mental bangsa untuk naik kelas juga. Dari bangsa yang diskriminatif menjadi bangsa yang inklusif. Dari bangsa yang memihak kelompok dominan menjadi pro kesetaraan dan kemanusiaan.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) 2021 Lampung menegaskan bahwa UU PPRT adalah sejalan dengan perintah agama Islam dan konstitusi. Dukungan ini dikuatkan oleh para pemimpin semua organisasi agama termasuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Khong Hu Chu, dan Penghayat Kepercayaan di webinar yang diorganisir oleh Koalisi Sipil untuk UU PPRT pada 7 Mei 2022.
Kekeluargaan dan gotong-royong
Asas "kekeluargaan" menolak relasi kuasa yang hirarkis termasuk dalam hubungan ekonomi. Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyatakan bahwa dasar kekeluargaan adalah dasar hubungan istimewa pada koperasi. Dalam sistem kekeluargaan tidak ada majikan dan buruh, melainkan usaha bersama di antara mereka yang berkepentingan dan bertujuan sama, yaitu mencapai kesejahteraan (well-being).
Selain mendukung asas kekeluargaan dari Bung Hatta, Soekarno kemudian menambahkan asas gotong-royong dalam proses pembentukan sistem perekonomian. RUU PPRT mengadopsi dua asas tersebut karena RUU ini sejalan dengan tujuan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maupun UU Pengentasan Kemiskinan.
Dalam draft RUU PPRT yang terbaru (setelah 78 kali revisi) selain sudah mencantumkan asas kekeluargaan juga mendorong pemberi kerja bergotong-royong dengan membayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaan untuk PRT-nya. Dalam RUU PPRT juga tidak ada keharusan membayar gaji PRT sebesar upah minimum, jam kerja (diganti jam istirahat), atau libur PRT mengikuti kalender nasional sebagaimana dimandatkan oleh Konvensi ILO No 189.
Baca juga: UU PPRT dan Indonesia Berkeadilan
Sebaliknya, hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja dalam RUU PPRT ditentukan secara musyawarah mufakat dan dituangkan dalam sebuah perjanjian kerja. Demikian pula terkait besaran iuran BPJS dan jenis pekerjaan bagi PRT. Meski demikian, Lita Anggraini dari Jala PRT menjamin bahwa 70 persen amanat Konvensi ILO 189 tersebut sudah ada dalam RUU PPRT.
Singkatnya, perjanjian kerja dibutuhkan justru untuk memastikan asas kekeluargaan dan gotong-royong benar-benar dipraktikkan secara akuntabel. Keberadaan perjanjian kerja diharapkan dapat mencegah adanya praktik perbudakan modern sehingga kedua pihak sama-sama naik kelas karena terjaga martabat kemanusiaan mereka, bukan penindas (the oppressor) maupun tertindas (the oppressed).
Soekarno meng-orang-kan (nguwongke) dan berterima kasih kepada Sarinah dengan cara yang demikian luar biasa. Kita, sebagai anak cucu ideologis sepatutnya mengikuti teladannya. Tidak ada pilihan lebih baik selain menata sistem untuk menaikkan kelas kita semua dengan melindungi PRT melalui UU PPRT.
Eva Kusuma Sundari, Direktur Institut Sarinah