Jenama ternyata bukan hanya soal nama. Dalam praktiknya, jenama dilindungi undang-undang. Itulah yang menyebabkan konsep jenama berbeda dengan nama jenis.
Oleh
Ahmad Hamidi
·1 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Beragam jenama atau merek rokok ilegal yang akan dimusnahkan di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, Selasa (31/1/2023).
Belakangan ini penggunaan kata jenama cenderung meningkat. Peningkatan itu perlahan-lahan menenggelamkan kata merek yang sebelumnya lebih akrab digunakan masyarakat bahasa Indonesia. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang membuat itu terjadi.
Pertama, berdasarkan bunyi, jenama terdengar lebih mengindonesia daripada merek yang merupakan kata serapan dari bahasa Belanda (merk). Konon jenama merupakan kosakata dari bahasa Melayu yang merupakan fondasi utama pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Kesamaan rumpun asal itulah yang membuat jenama terasa lebih eufoni digunakan dalam berbagai praktik berbahasa Indonesia.
Kedua, dalam ranah morfologis, jenama menghasilkan bentuk turunan yang juga ramah di lidah orang Indonesia. Untuk melambangkan konsep branding dalam bahasa Inggris, jenama mengalami proses morfologis, diapit konfiks pe-an, menjadi penjenamaan. Adapun merek menjadi pemerekan. Sekalipun silabelnya lebih banyak, artikulator kita lebih praktis membunyikan penjenamaan daripada pemerekan.
KBBI mengantarkan kepada kita definisi yang mendua. Bagaimana mungkin merek dan jenis dijejerkan dalam ruang definisi yang sama, padahal konsep yang direpresentasikan keduanya jelas-jelas berbeda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jenama didefinisikan secara sumir, yakni ’merek; jenis’. KBBI mengantarkan kepada kita definisi yang mendua. Bagaimana mungkin merek dan jenis dijejerkan dalam ruang definisi yang sama, padahal konsep yang direpresentasikan keduanya jelas-jelas berbeda. Perlu pula kita mengecek entri merek dan jenis demi mendapatkan definisi yang komprehensif atas jenama.
Saya kutipkan dua contoh kalimat: (1) ”Omong-omong mengenai penjenamaan dangdut koplo, juga bisa dibilang menyumbang peran negatif”; (2) ”Kasus serupa bisa kita temui pada penjenamaan es teler, yang kata belakangnya mengingatkan kita dengan teler yang bermakna ’mabuk’”.
NINO CITRA ANUGRAHANTO
Musa, pelari elite Borobudur Marathon 2021, menonton video lagu dangdut koplo untuk membuang rasa bosan selama menjalani karantina, di Puri Asri, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (25/11/2021). Dangdut koplo merupakan genre atau jenis musik, bukan jenama.
Dalam kedua kalimat itu, penjenamaan tidak merepresentasikan makna asalinya. Dengan memperhatikan konteks dan kolokasi kata-kata yang melingkupinya, kata yang sesungguhnya dibutuhkan oleh penulis di atas bukanlah penjenamaan (bentukan dari jenama), melainkan penamaan (bentukan dari nama).
Perujukan dalam kalimat tersebut menyasar ”dangdut koplo” dan ”es teler” yang, tidak lain tidak bukan, berkategori nama jenis, bukan jenama. Dangdut koplo dan es teler merupakan nama-jenis-turunan dari nama jenis musik dan minuman berbahan es. Keduanya sejajar dengan, misalnya, jaz dan es dawet. Tentu bisa saja keduanya dikatakan jenama apabila merupakan nama merek dagang—dengan demikian huruf pertama tiap kata perlu dikapitalkan.
Orang berbahasa Inggris menyebut jenama sebagai brand. The American Marketing Association mendefinisikannya sebagai ’nama, istilah, tanda, simbol, desain, atau kombinasi dari semuanya, yang merupakan citra suatu produk dari suatu perusahaan yang membedakannya dengan produk sejenis dari perusahaan lain’. Jenama berfungsi menambah nilai suatu produk daripada nilai yang dihasilkan hanya berdasarkan ”daya guna” produk itu sendiri.
Jenama ternyata bukan soal nama belaka. Jenama merupakan hipernim atas sejumlah hiponim. Oh iya, jenama dilindungi undang-undang, sedangkan nama jenis tidak.