Jika kini masalah perubahan iklim dan dampaknya masih terpinggirkan, itu karena kurangnya negarawan yang berpikir untuk generasi masa depan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara hunian warga yang terendam banjir di kawasan Jatibening, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (25/2/2020) pukul 09.45 WIB.
Hujan deras dan buruknya drainase membuat sejumlah wilayah di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan Kudus, Jawa Tengah, terendam banjir.
Beberapa saat sebelumnya, peristiwa serupa menimpa daerah lain. Sebut saja, misalnya, 55 rukun tetangga (RT) dan delapan ruas jalan di Jakarta yang tergenang setelah hujan mengguyur wilayah itu, Kamis hingga Jumat (23-24/2/2023) siang. Hujan itu telah diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) (Kompas, 25/2/2023).
BMKG pada 3 Maret 2023 juga mengingatkan adanya curah hujan tinggi pada klasifikasi Waspada hingga Awas untuk beberapa kabupaten di Kepulauan Riau, Banten, Jabar, Jateng, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua Pegunungan.
Kemajuan teknologi membuat curah hujan bisa diprediksi secara lebih tepat. Ilmu pengetahuan juga menunjukkan cuaca ekstrem yang memicu hujan lebat akan sering terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim dan pemanasan global.
Namun, ilmu pengetahuan juga mengajarkan sejumlah langkah, misalnya untuk mengatasi dampak dari bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, yang dipicu hujan lebat. Langkah itu, antara lain, memperbaiki drainase, menormalisasi sungai, memperbaiki lingkungan di daerah hulu sungai, serta memasyarakatkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Persoalannya hingga saat ini ada di konsistensi dari upaya mitigasi itu. Hal itu terlihat dalam peristiwa banjir yang menimpa Bekasi sepekan terakhir, yang disebabkan oleh meluapnya sejumlah anak Sungai Citarum.
Meskipun dimasukkan dalam DAS prioritas pemulihan, pelanggaran tata ruang yang berkontribusi pada terjadinya bencana hidrometeorologi terus terjadi di sepanjang DAS Citarum.
Liputan jurnalisme data Kompas menunjukkan, daerah aliran Sungai (DAS) Citarum adalah DAS yang paling berbahaya di Tanah Air. Meskipun dimasukkan dalam DAS prioritas pemulihan, pelanggaran tata ruang yang berkontribusi pada terjadinya bencana hidrometeorologi terus terjadi di sepanjang DAS Citarum. Selama 20 tahun terakhir, di sepanjang DAS Citarum ditemukan 28.031 hektar lahan terbangun baru (Kompas, 24/2/2023).
Masalah konsistensi ini juga terjadi di tataran global. Upaya sejumlah negara mengatasi pemanasan global dinilai masih belum optimal. Berdasarkan data Organisasi Meteorologi Dunia yang dirilis pada Kamis (12/1/2023), suhu rata-rata global tahun 2022 telah mecapai 1,15 derajat celsius di atas masa praindustri (1850-1900). Persoalan perubahan iklim dan pemanasan global mesti diatasi bersama-sama secara komprehensif dan berkesinambungan. Hal ini yang mungkin membuat masalah itu kurang menarik bagi politisi yang pikirannya lebih banyak tercurah untuk memenangi pemilu berikutnya.
Akhirnya, jika kini masalah perubahan iklim dan dampaknya masih terpinggirkan, itu karena kurangnya negarawan yang berpikir untuk generasi masa depan. Namun, kita hidup di bumi yang sama. Dampak dari banjir seperti di Bekasi dan Kudus tak hanya akan dirasakan masyarakat setempat. Jika tak diatasi dengan serius, bencana serupa akan semakin banyak dan sering terjadi, hingga akhirnya mengancam hidup kita bersama di Bumi, tanpa kecuali.