Kita tak ingin perang besar kembali menjadi solusi bagi ketegangan antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Salah satu cara menghindarinya, ciptakan tata kelola global anyar yang lebih akomodatif terhadap kekuatan baru.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Seruan agar tata kelola global direformasi sudah lama disuarakan. Kondisi dunia akan lebih baik jika tata kelolanya tidak didominasi segelintir negara.
Seruan yang sama muncul lagi dalam pertemuan menteri luar negeri G20 di New Delhi, India, Kamis (2/3/2023). Saat itu, seperti ditulis Kompas edisi Jumat (3/3), Menlu India Subrahmanyam Jaishankar menyampaikan, arsitektur global sekarang tidak merefleksikan realitas politik, ekonomi, hingga demografi mutakhir. Meski sejak lama ada desakan untuk mengubahnya, hingga kini tetap tak ada perubahan.
Apa yang disampaikan Jaishankar tidak berlebihan. Posisi istimewa Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya dan pemenang lain Perang Dunia II dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan representasi konstelasi dunia di akhir perang itu. Konstelasi tentu sekarang sudah berubah. Sentral pertumbuhan ekonomi dunia, misalnya, tidak lagi berada di Eropa, tetapi di Asia. Selain China, ada India serta negara Asia lain ikut berkontribusi terhadap pertumbuhan tersebut.
Struktur relasi negara pusat-negara pinggiran rasanya juga sudah kehilangan relevansinya. Negara yang dulu hanya ”berada di pinggiran” sekarang berperan krusial.
Posisi AS yang dominan pasca-Perang Dunia II dan berlanjut setelah Perang Dingin usai rasanya juga terus mendapat tentangan. Kebangkitan China merupakan contoh bahwa sudah tak tepat lagi melihat AS dan Barat sebagai kekuatan penentu utama. Realitas yang berubah perlu segera disadari dan mendorong perubahan tata kelola global, seperti diserukan oleh Menlu India.
Jika tata kelola lebih demokratis dan lebih memperhatikan kekuatan-kekuatan baru tidak segera diwudkan, perang besar bukan tak mungkin menghampiri kita. Satu insiden kecil pada waktu dan tempat yang tepat dapat memicu perang besar.
Sejarah menunjukkan perang besar menjadi titik peralihan kepemimpinan global. Perang Dunia I dan Perang Dunia II oleh para ahli dilihat sebagai titik balik Inggris yang semula ”pemimpin dunia” menjadi bukan negara pemimpin. Dua perang besar ini dipicu ketegangan akibat munculnya kekuatan baru yang hendak merebut kepemimpinan global Inggris. Colin Flint (Introduction to Geopolitics, 2006) menulis, tak hanya AS yang mengincar supremasi Inggris, tetapi juga Jerman. Kemunculan AS dan Jerman sebagai kekuatan baru disebabkan majunya ekonomi mereka berkat industrialisasi.
Berbeda dengan AS yang berhati-hati, Jerman sangat agresif. Intelektual dan politisi Jerman ketika itu melihat Inggris arogan dan tak berhak terus-menerus menjadi kekuatan utama dunia. Dua perang besar pun pecah. AS yang tidak bergabung dalam Perang Dunia II sedari awal akhirnya tampil sebagai kekuatan utama di tengah Eropa yang porak-poranda.
Kita tak ingin perang besar kembali menjadi solusi bagi ketegangan antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Salah satu cara menghindarinya, ciptakan tata kelola global anyar yang lebih akomodatif terhadap kekuatan-kekuatan baru.