Penggunaan campur kode merupakan impak dari kedwibahasaan mayoritas masyarakat Indonesia. Tak jarang akibatnya bisa membuat salah satu pihak nelangsa.
Oleh
Didik Durianto
·3 menit baca
Selisih paham gara-gara salah tangkap bisa berdampak runyam dalam aktivitas berbahasa sehari-hari. Gangguan dalam berkomunikasi, ucapan yang sukar dimengerti, dan perbedaan bahasa atau dialek dituding menjadi pemicu miskomunikasi sebuah percakapan.
Perkara gangguan dalam berkomunikasi berujung nelangsa betul-betul dialami tetangga penulis sekitar tahun 1995. Demi menghemat ongkos balik ke kampung, si bapak tersebut mencari tumpangan di pinggir jalan yang bising pada sebuah malam buta di Ibu Kota. Ketika ada truk melintas, sang bapak buru-buru melambaikan tangan sembari berujar, ”Pak… Pak… ke Solo? Solo? Numpang, ya!”
Permintaan sekonyong-konyong itu direspons pak sopir dengan refleks berucap, ”Ha, Solo? Oke, naik-naik di belakang.”
Alamak, bak tengguli ditukar cuka, awal menggembirakan bertukar menyedihkan. Boro-boro sampai tujuan dengan selamat, si bapak malah makin jauh dari kampung halaman. Ucapan yang terdengar oleh pak sopir ialah ”... ke Solok? Solok?”, yakni kota/kabupaten di Sumatera Barat. Padahal, si tetangga berteriak, ”... ke Solo? Solo?”, yaitu kota di Jawa Tengah.
Ada distorsi antara komunikan dan komunikator dalam peristiwa tersebut. Gangguan itu antara lain berupa suasana yang berisik oleh lalu-lalang kendaraan sehingga pesan tidak tersampaikan dengan benar; konsentrasi pak sopir yang terpecah antara menyetir dan merespons permintaan, serta tidak adanya kesempatan klarifikasi karena penumpang berada di bak belakang dan tertidur sepanjang perjalanan.
Perkara ucapan yang sulit dimengerti serta perbedaan bahasa salah satunya disebabkan penggunaan campur kode saat berinteraksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan campur kode sebagai penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Ia biasa pula disebut interferensi, yaitu masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatika bahasa yang menyerap.
Dewasa ini kebanyakan masyarakat Indonesia menggunakan campur kode secara tidak sadar ketika berinteraksi. Sang penutur menyisipkan banyak serpihan bahasa daerah ataupun bahasa asing. Hal ini berakibat muncul ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan, kesunda-sundaan, keinggris-inggrisan, dan sebagainya.
Tujuan campur kode
Ada beberapa tujuan si penutur mempraktikkan campur kode. Tujuan itu, antara lain, meningkatkan gengsi. Upaya menjaring prestise ini umumnya dengan menyelipkan kata/istilah bahasa Inggris. Contohnya pada kalimat, ”Yuk, kita shopping. Kamu beli sepatu size berapa?”
Akan tetapi, ketika sang penutur tidak memahami istilah yang dimaksud, gangguan komunikasi muncul. Penulis punya cerita riil perihal ini.
Pada petang, di sebuah perumahan baru di Pamulang, Tangerang Selatan, penulis terlibat obrolan santai dengan ibu pemilik rumah sebelah. Ia berujar, ”Mas Didik, sebelum rumah ini nanti aku tempati, pokoknya aku akan bikin chicken set.” Agak lama mencerna, penulis membatin, tentu yang dimaksud ibu itu ialah kitchen set.
Tujuan berikutnya ialah membuat akrab ataupun santai sebuah obrolan. Misalnya pada kalimat, ”Silakan diseruput unjukan (minuman) kopi panasnya, Pak.” Upaya mengakrabkan dan menyantaikan ini bisa juga menimbulkan salah persepsi ketika bahasa yang dituturkan berbeda konsep.
Seperti obrolan di keluarga kecil penulis berikut. Saat acara memperkenalkan calon istri yang berdarah Sunda, ibu penulis berucap, ”Mbak Sandra, ini jangan dimakan, ya. Bothok khas Karanganyar, lho.”
Karena merasa dilarang, istri tidak menyentuh sama sekali sayur yang sebenarnya ia idamkan itu. Jangan dalam kalimat tersebut dipersepsikan istri sebagai bahasa Indonesia, yaitu pernyataan larangan. Padahal, ibu menggunakan campur kode; mengubah kata sayur menjadi jangan (bahasa Jawa).
Perkara ucapan yang sulit dimengerti serta perbedaan bahasa salah satunya disebabkan penggunaan campur kode saat berinteraksi.
Contoh lain, ada beda persepsi pula ketika kami mudik ke Cibeunying, Kota Bandung. Ketika kakak ipar menawarkan, ”Yuk, kita ngopi, gedang dimakan, ya,” kebingungan pun muncul.
Saat mendengarkan ucapan itu, penulis memersepsikan ngopi semata minum secangkir kopi dan gedang adalah pisang. Senyatanya, sang kakak menerapkan campur kode; makan camilan diucapkan sebagai ngopi dalam bahasa Sunda dan pepaya diucapkan sebagai gedang dalam bahasa Sunda.
Tujuan lainnya ialah untuk memberikan penghormatan. Seperti contoh berikut: ”Atas perhatian Bapak, kami menghaturkan terima kasih.”
Hal itu tentu tidak menimbulkan persoalan ketika diucapkan oleh pewara dalam acara tidak formal. Banyak kalangan tidak menganjurkan model ungkapan yang bermakna menyampaikan rasa terima kasih ini diterapkan pada surat-surat resmi.
Di kalangan tertentu, campur kode sengaja digunakan untuk tujuan meningkatkan level karier ataupun profesi. Dengan menyelipkan bahasa daerah atau bahasa asing, banyak pesohor (komedian, musisi, seniman, dan lain-lain) bermaksud mendekatkan diri kepada audiens dan menjaring lebih banyak penggemar.
Sebut saja Tukul Arwana dengan acara Empat Mata yang digemari pemirsa pada zamannya. Untuk menciptakan suasana santai dan humor, Tukul kerap menyisipkan bahasa Jawa dan bahasa Inggis. Misalnya, kepada salah satu bintang tamu, ia mengucapkan, ”Sudah malam, kok, belum sleeping beauty, Cah Ayu? Piye kabare. Monggo dijawab?”
Lalu, kepada pemirsa televisi, ia menyapa, ”Amazing, jangan ke mana-mana, tetap di Empat Mata.”
Penggunaan campur kode merupakan impak pasti dari multilingualisme dan kedwibahasaan mayoritas masyarakat Indonesia. Jamak terjadi dalam pergaulan sehari-hari, tentu saja campur kode lebih pas diterapkan dalam situasi tidak resmi. Untuk langgam resmi, alangkah afdal menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.