Dalam masyarakat muncul sangkaan, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat sedang menjalankan ”agenda politik” tertentu, sebab sebelumnya beredar kabar pemerintah ingin menunda pemilu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam Rapat Pleno Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2014 di Gedung KPU, Jakarta, Juni 2014.
Menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023), mengabulkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima.
Publik gaduh dengan putusan majelis hakim yang diketuai T Oyong serta hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban itu. Sebab, dalam amar putusan, mereka menyatakan menghukum tergugat, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan serta melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan dan tujuh hari.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat itu memunculkan tanggapan di masyarakat. Sebagian kalangan menilai majelis hakim melampaui kewenangannya. Pengadilan negeri tak berwenang mengadili perkara pemilu. Putusan itu membuat kebingungan dalam masyarakat, seperti diwartakan Kompas.id, Kamis (2/3). Apalagi, dikabarkan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan putusan itu bisa dilaksanakan terlebih dahulu secara serta-merta.
FAKHRI FADLURROHMAN
Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari menyampaikan kembali rancangan peraturan KPU di gedung Komisi II DPR, Jakarta, 6 Januari 2023.
KPU sebagai tergugat berencana mengajukan banding atas putusan perdata, yang diartikan memerintahkannya untuk tak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan itu diucapkan. Putusan itu dinilai tak bisa dilaksanakan karena majelis hakim pengadilan umum tak bisa menunda pemilu. Apa jadinya jika tahapan Pemilu 2024 ditunda?
Dalam masyarakat pun muncul sangkaan, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat sedang menjalankan ”agenda politik” tertentu, sebab sebelumnya beredar kabar pemerintah ingin menunda pemilu. Meski Presiden Joko Widodo berulang kali menegaskan tunduk pada konstitusi, dan pemilu digelar setiap lima tahun sekali, kecurigaan dalam masyarakat masih ada.
KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN
Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, 27 Januari 2023
Putusan PN Jakarta Pusat itu berpotensi untuk ”digoreng” secara politik dan mempertajam perbedaan pandangan dalam masyarakat. Padahal, pengurus Prima mengajukan gugatan perdata itu bukan untuk menunda penyelenggaraan Pemilu 2024, melainkan memperjuangkan hak keperdataannya untuk ikut sebagai peserta pemilu. KPU memutuskan Prima tidak lolos dalam proses verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024. Hal ini sesuai putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, yang menyatakan Prima adalah parpol yang dirugikan dalam proses verifikasi administrasi oleh tergugat. KPU pun harus membayar ganti rugi senilai Rp 500 juta.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentu saja berwenang menangani perkara perdata. Hukum perdata adalah sejumlah aturan yang mengatur hubungan subyek hukum: orang atau badan hukum dengan subyek hukum lainnya, dengan menitikberatkan pada kepentingan pribadi dari subyek hukum itu. Putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat itu harus dibaca hanya berlaku bagi Prima dan KPU, serta tidak berlaku bagi peserta pemilu lain dan masyarakat. KPU dan Prima saja.
Memang putusan itu membingungkan masyarakat dan berpotensi tidak bisa dijalankan. Mekanisme banding bisa dipakai untuk menguji putusan itu, atau dilakukan uji publik. Hakim juga bisa saja memberikan penjelasan. Tidak perlu gaduh.