Kasus Sambo dan Prinsip Keraguan Rasional
Apa yang terjadi di rumah Ferdy Sambo di Magelang terkait istrinya, Putri Candrawathi, sebenarnya belum terkuak. Bukankah kejadian di Magelang merupakan motif penembakan yang layak dipertimbangkan dalam rangka putusan.
Ada yang tersisa dari sidang pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat yang sudah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Apa yang terjadi di kediaman Ferdy Sambo di Magelang terkait istrinya, Putri Candrawathi (PC), sebenarnya belum terkuak.
Padahal, secara logis, pasti terdapat hubungan antara apa yang terjadi di Magelang dan yang terjadi di kediaman lain Ferdy Sambo (FS) di Jalan Saguling ataupun penembakan terhadap korban di Jalan Duren Tiga. Kemarahan FS, yang lalu disusul dengan penembakan terhadap korban Yosua, pasti memiliki dasar.
Ada kemungkinan FS seorang pemarah sehingga hal-hal kecil pun bisa memicu kemarahannya. Kemungkinan lain, FS terprovokasi akibat informasi dari istrinya. Alhasil, motif kemarahan itu tetap tak jelas.
Dari sudut media, adanya bau ”seks” dalam kasus ini sejak awal menjadikan beberapa stasiun televisi swasta secara rutin dan intens menyiarkan perkembangan penanganan perkara ini sejak dari tahap penyidikan hingga pembacaan vonis oleh majelis hakim.
Seks jadi salah satu bumbu pemikat perhatian pemirsa, selain ”darah” dan ”air mata”. Ketika bau itu ternyata tak terkonfirmasi benar atau tidaknya hingga akhir pengadilan, hal itu berpotensi membuat kasus ini tetap menarik perhatian.
Baca juga : Ferdy Sambo Cs Ajukan Banding, Kejagung Siapkan Perlawanan
Baca juga : Satu per Satu Anak Buah Ferdy Sambo Hadapi Putusan Pengadilan
Variasi spektrum
Spektrum kesimpulan dari pihak-pihak yang terkait tentang apa yang terjadi di Magelang memang bervariasi.
FS, istrinya PC, dan para penasihat hukumnya kompak menyuarakan adanya pelecehan seksual bahkan pemerkosaan, yang disertai kekerasan, bahkan ancaman pembunuhan, oleh almarhum Yosua terhadap PC.
Di pihak lain, dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum (JPU) berbeda 180 derajat dengan FS dan kawan-kawan. Para jaksa melihat ada perselingkuhan antara PC dan Yosua. Pandangan ini melihat bahwa terdapat peran aktif atau interaksi di antara keduanya sehingga perselingkuhan bisa terjadi.
Soal bahwa ada ”hubungan” terkait keduanya, demikian juga aktivitas seksual keduanya, juga disimpulkan secara halus dan amat berhati-hati oleh Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Reni Kusumawardhani saat memberi kesaksian selaku ahli.
Kesimpulan berbasis pemeriksaan psikologis yang dilakukan terhadap semua pihak yang terlibat tampaknya dijadikan basis jaksa untuk menyimpulkan terjadinya perselingkuhan.
Keterangan ahli ini lalu dijadikan pegangan oleh penasihat hukum FS dan PC untuk mengatakan bahwa terjadi pelecehan seksual terhadap klien mereka di Magelang. Ini sebenarnya menarik mengingat saksi yang memberatkan (a-charge), yakni Apsifor, malah dianggap menguntungkan (baca: meringankan atau a-decharge) oleh terdakwa.
Dalam putusannya, majelis hakim tak memilih salah satu dari pendapat JPU atau penasihat hukum terdakwa. Hakim sebaliknya mengatakan bahwa tak ada fakta yang mendukung PC mengalami pelecehan seksual atau kekerasan seksual.
Hakim lalu menunjuk ketergantungan relasi kuasa sebagai faktor yang menepis kemungkinan korban berani melakukan pelecehan seksual atau kekerasan seksual terhadap istri atasannya, yakni PC.
Selanjutnya, hakim mengatakan motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban terhadap PC tidak dapat dibuktikan menurut hukum.
Namun, pada bagian lain majelis hakim menyatakan bahwa motif pembunuhan terhadap korban karena adanya perasaan sakit hati dari PC. Meski begitu, tidak dijelaskan secara detail perasaan sakit hati apa yang dirasakan PC serta situasi apa yang memunculkan perasaan sakit hati tersebut.
Selanjutnya, dikatakan oleh hakim bahwa terdakwa-terdakwa lain (Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf, dan FS sendiri) terpicu oleh informasi PC yang mengaku dilecehkan korban sehingga memunculkan keyakinan yang sama (meeting of mind) bahwa korban harus dihabisi.
Terkait macam-macam versi sebagaimana terlihat di atas, pembaca sendiri memercayai versi mana? Semua versi, sebagaimana diketahui, memiliki aspek-aspek yang meragukan.
Hakim dalam hal ini kelihatannya terpaksa memilih versi yang paling kurang atau terbatas tingkat keraguannya.
Perhatikan bahwa hakim mengatakan kekerasan seksual di Magelang tidak terbukti secara hukum. Secara implisit, hal ini berarti bisa saja itu terjadi, tetapi tidak bisa dibuktikan melalui fakta-fakta yang terungkap selama persidangan.
Untunglah, terhadap materi utama persidangan kasus FS itu sendiri, yakni pembunuhan berencana terhadap Yosua, majelis hakim memutus tanpa keraguan. Majelis hakim berpendapat bahwa FS (demikian pula terdakwa lainnya) terbukti secara jelas dan meyakinkan telah merencanakan, melakukan pembunuhan, dan sekaligus merancang perusakan barang bukti terkait pembunuhan itu.
Adalah biasa jika pengadilan harus memutus suatu perkara dalam kondisi di mana tidak semua elemen fakta terkait suatu kasus dapat terungkap dengan jelas.
”Beyond Reasonable Doubt”
Adalah biasa jika pengadilan harus memutus suatu perkara dalam kondisi di mana tidak semua elemen fakta terkait suatu kasus dapat terungkap dengan jelas. Adakalanya fakta-fakta yang dapat dikumpulkan dan tersaji di pengadilan ternyata tidak lengkap, terbatas, dan bahkan bisa diragukan apakah benar merupakan fakta sesungguhnya atau tidak.
Salah satu akibatnya, fakta yang ada terasa kontradiktif satu sama lain.
Bagaimana kalau diabaikan saja? Tidak semudah itu mengingat akan mengganggu keutuhan jalan cerita dari tindak pidana yang diperiksa.
Jika suatu fakta diabaikan, padahal fakta itu diyakini menjadi awalan dari dilakukannya suatu tindak pidana, kita akan kesulitan memahami mengapa suatu tindak pidana terjadi. Khususnya jika persoalan ”mengapa” itu disebut motif, maka motif bisa menjelaskan mengapa orang melakukan sesuatu.
Agar pengadilan tidak salah memutus, khususnya jangan sampai orang yang tidak bersalah lalu dihukum, standar bukti dan pembuktian (standard of proof) harus cukup tinggi sehingga tidak ada keraguan sedikit pun pada kita semua (beyond reasonable doubt) untuk meyakini bahwa fakta itulah yang terjadi.
Terkait itu, merupakan kewajiban jaksa penuntut umum untuk menghadirkan bukti (burden of proof) yang relevan dengan dugaan kebersalahan terdakwa. Di sinilah letak kesulitan terkait peristiwa Magelang pada kasus Sambo. Kelihatan sekali fakta yang terungkap tidak cukup atau tidak cukup kuat untuk menetapkan apa yang sebenarnya terjadi.
Jika dikatakan yang terjadi adalah pemerkosaan, maka hakim tidak melihat tanda atau respons umum yang biasa terjadi dan diperlihatkan oleh korban pemerkosaan ataupun pelecehan seksual pada umumnya. Apsifor memang menyebut adanya sejumlah indikasi yang bersifat khusus dan spesifik terlihat pada terdakwa PC, tetapi itu kelihatannya tidak cukup meyakinkan hakim.
Jika dikatakan bahwa yang terjadi adalah perselingkuhan, mengapa terdakwa PC mengaku dibanting oleh almarhum Yosua? Apa pula yang terjadi sehingga terdakwa PC lalu menghubungi suaminya, FS, dan mengatakan bahwa Yosua telah bertindak keterlaluan?
Jika dikatakan bahwa tidak terjadi perselingkuhan ataupun pemerkosaan, dan sebaliknya yang terjadi menurut hakim adalah relasi kuasa, sebenarnya tidak ada fakta kuat yang menunjang sinyalemen itu. Yang ada paling-paling asumsi bahwa memang pihak-pihak terkait memiliki hubungan kerja selaku bawahan dan atasan.
Apa yang terjadi sebelum suatu kesimpulan diambil secara sah dan meyakinkan? Ini cara Indonesia menyebut prinsip beyond reasonable doubt tersebut. Tentunya terdakwa harus dianggap atau diasumsikan tidak terlibat atau terkait dengan fakta yang mengawali tindak pidana yang disangkakan.
Dengan begitu, terdakwa juga perlu dianggap tidak berdosa atau tidak bersalah sebelum dibuktikan sebaliknya (presumption of innocence).
Besar kemungkinan, faktor tekanan publik amat dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Pembuktian yang mengarah pada kebersalahan terdakwa ini menjadikan upaya pencarian barang bukti selalu menarik untuk diketahui. Tidak cukup dengan itu, proses pengajuannya ke persidangan juga menarik untuk diketahui mengingat hasil yang diharapkan adalah munculnya keyakinan hakim (atau bisa juga juri dalam persidangan adversarial) bahwa yang diperkirakan terjadi oleh jaksa memang seperti itu.
Jika aspek keraguan ini hendak dieksploitasi oleh terdakwa dan penasihat hukumnya, maka, teorinya, terdakwa atau penasihat hukum tidak perlu menunjukkan fakta yang berlawanan atau membantah fakta yang sudah ada.
Cukup diajukan alternatif lain yang masuk akal menyangkut apa yang sesungguhnya terjadi, maka keraguan yang rasional dapat muncul dan dapat menghambat pencapaian keputusan yang meyakinkan.
Kembali pada kasus Sambo, menarik bahwa pada saat majelis hakim menemui fakta-fakta yang lemah, tidak cukup atau bahkan kontradiktif perihal kejadian di Magelang, tetapi di pihak lain merasa yakin dan berani memberikan hukuman maksimal kepada FS dan PC.
Benar bahwa yang meragukan itu bukanlah soal penembakan itu sendiri sebagaimana terjadi di Jalan Duren Tiga, tetapi soal kejadian di Magelang. Masalahnya, bukankah kejadian di Magelang itu merupakan motif penembakan sehingga sudah selayaknya dipertimbangkan dalam rangka putusan.
Pada titik itulah kita berpikir bahwa ada variabel lain yang dipertimbangkan hakim selain soal bukti yang tersaji. Besar kemungkinan, faktor tekanan publik amat dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Adrianus MelialaKriminolog FISIP Universitas Indonesia