Catatan dari Hasil Survei "Kompas"
Survei Litbang Kompas baru-baru ini terbilang komprehensif. Ada beberapa hal menarik dari hasil survei terkait kinerja pemerintahan. elektabilitas partai-partai politik, dan elektabilitas para bakal calon presiden.

Ilustrasi
Survei Kepemimpinan Nasional yang dilakukan Litbang Kompas pada Januari 2023 merupakan jajak pendapat paling komprehensif dibandingkan dengan survei-survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei lainnya.
Ia menyatukan tiga hal yang saling terkait, yakni penilaian publik atas kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, elektabilitas partai-partai politik, dan elektabilitas para bakal calon presiden.
Hasil survei ini tentunya dibaca banyak pihak yang berkepentingan, khususnya di kalangan pemerintahan, lembaga think-tanks, dan partai politik.
Kepuasan dan tantangan
Meski tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah naik cukup signifikan, dari 62,1 persen pada survei Oktober 2022 menjadi 69,3 persen pada Januari 2023, masih banyak terobosan kebijakan yang harus dilakukan pemerintah.
Kebijakan tersebut sejatinya sesuai dengan harapan pemerintah untuk meninggalkan warisan politik yang baik bagi pemerintah yang akan datang, dan bukan kebijakan yang bertolak belakang dengan kepentingan rakyat.
Di bidang hukum, misalnya, selain yang telah diungkap Kompas (20/2/2023), Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD mengupayakan pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal tahun ini. Ini tentunya amat signifikan untuk memberantas korupsi baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, di pusat ataupun daerah.
Baca juga : Survei "Kompas": Elektabilitas Golkar Lampaui Demokrat
Baca juga : Survei ”Kompas”: Pemilih PAN dan PDI-P Paling Loyal
”Halangan terbesar untuk pengesahan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal,” menurut Mahfud dalam sebuah seminar di Jakarta, ”ada pada para politisi di parlemen, yang memiliki kepentingan berbeda soal pembatasan transaksi uang kartal tersebut.”
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan petani dan nelayan, adalah suatu kenyataan bahwa kebijakan pemerintah tidak jarang merugikan petani dan nelayan. Dalam soal beras, misalnya, di kala panen raya sudah di depan mata, pemerintah malah menyetujui impor beras. Selain itu, pemerintah juga menetapkan ketentuan harga pembelian gabah/beras dari petani yang berisiko merugikan petani karena dipatok lebih rendah dari biaya produksi petani.
Ini merupakan kebijakan yang antagonistik (Kompas, 22/2/2023). Persoalan nasib nelayan kecil juga masih terpuruk, apalagi ketika musim hujan dan badai sedang melanda daerahnya.
Parpol pengusung utama pemerintah tentunya juga harus berkomunikasi yang baik agar pemerintah tidak menerapkan suatu kebijakan atau membuat ketentuan yang bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan harkat petani dan nelayan.

Warga memadati kawasan Pasar Asemka, Jakarta Barat, Minggu (27/2/2022). Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Dukcapil memperbaharui data kependudukan semester II tahun 2021 yang mencatat jumlah penduduk Indonesia adalah 273.879.750 jiwa. Dari jumlah tersebut terdapat kenaikan sebesar 2.529.861 jiwa dibandingkan tahun 2020. Indonesia saat ini memasuki era bonus demografi dimana penduduk usia produktif (15-64 tahun) mendominasi jumlah penduduk di dalam negeri.
Persoalan penyediaan lapangan kerja, data menunjukkan betapa anak-anak lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) banyak yang menganggur. Ini belum termasuk mereka yang lulus perguruan tinggi yang setiap tahun masuk pasaran kerja, tetapi sedikit sekali yang mendapatkan pekerjaan.
Dari sisi lain, Indonesia katanya akan mengalami bonus demografi, tapi apakah kualitas manusia Indonesia sudah meningkat agar bisa berkompetisi mencari pekerjaan pada tingkat global?
Pemerintah juga akan menghilangkan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen pada 2024. Apakah ini akan melalui kebijakan bantuan sosial ekonomi atau berupaya agar masyarakat memiliki daya beli dengan bekerja. Ini bukanlah soal yang mudah.
Elektabilitas dan modal sosial parpol
Dalam survei Kompas, Januari 2023, elektabilitas Partai Golkar melampaui Partai Demokrat. Jika kita analisis dengan saksama, keunggulan Partai Golkar tersebut bukan disebabkan oleh kerja keras Partai Golkar. Golkar hanya naik 1,1 persen, dari 8,9 persen pada Oktober 2022 menjadi 9 persen pada Januari 2023. Itu lebih disebabkan elektabilitas Partai Demokrat ambles 5,3 persen ke angka 8,7 persen.
Demikian pula dengan elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang naiknya tak signifikan, hanya 1,8 persen, dari 21,8 persen pada Oktober 2022 menjadi 22, 9 persen pada Januari 2023. PDI-P tampaknya lebih berupaya menjaga loyalitas para pemilihnya dan kurang menggalang dukungan baru dari berbagai kalangan, terlebih lagi kalangan milenial sebagai pemilih baru pada pemilu serentak 2024.
PDI-P selayaknya memiliki program- program kerja yang ditujukan kepada petani, nelayan, buruh, pencari kerja, dan usaha kecil dan mini untuk meningkatkan harkat mereka. Ini sesuai moto PDI-P sebagai partai wong cilik.
Survei Litbang Kompas juga menunjukkan betapa modal sosial saja tidak cukup untuk menjamin elektabilitas parpol. Tak semua parpol yang ada di parlemen memiliki kemewahan itu.
Survei Litbang Kompas juga menunjukkan betapa modal sosial saja tidak cukup untuk menjamin elektabilitas parpol.
Sebut saja Partai Amanat Nasional (PAN). Popularitas PAN cukup tinggi, 72,3 persen. Akseptabilitasnya tak terlalu tinggi, 40,4 persen. Potensi pemilih tetapnya paling tinggi, yakni 50 persen. Popularitas dan akseptabilitas ketua umum partainya, Zulkifli Hassan, hanya 21,5 persen dan 12,5 persen. Namun, mengapa elektabilitasnya hanya 1,6 persen? Angka yang amat kecil jika ingin tetap memiliki wakil di parlemen.
Nasib Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga idem ditto dengan PAN. PPP adalah satu-satunya partai yang ada sejak era Orde Baru yang nasibnya tak sebaik PDI-P dan Golkar. Popularitasnya 60,6 persen, tapi akseptabilitasnya hanya 38,4 persen dan pemilih tetapnya hanya 35,7 persen. Lebih menyedihkan lagi, popularitas dan akseptabilitas Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono hanya 5,5 persen dan 3 persen.
Upaya PPP untuk meningkatkan jumlah kursi di parlemen dari 19 menjadi 39 kursi bukanlah perkara mudah. Merekrut mantan-mantan jenderal polisi dan pejabat daerah tidaklah cukup tanpa kerja-kerja politik yang keras di lapangan. Jika tidak, PPP akan menjadi partai yang tinggal kenangan.
Jika kita melihat nasib partai di era Reformasi, kesimpulan Kompas bahwa partai-partai di parlemen memiliki modal sosial cukup untuk bisa bertahan di parlemen tak selamanya benar.

Para peserta rapat pleno menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu (14/12/2022). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 17 partai politik sebagai peserta Pemilu 2024. Sebanyak sembilan partai merupakan partai parlemen serta delapan sisanya adalah partai baru dan partai non-parlemen.
Kita lihat bagaimana nasib Hanura yang akhirnya juga terpental dari parlemen. Partai Bulan Bintang juga bernasib sama. Nanti kita lihat apakah PAN dan PPP dapat bertahan di parlemen ataukah mengalami nasib sama dengan Hanura dan Partai Bulan Bintang. Apakah pula Partai Perindo mencatat sejarah sebagai partai baru yang bisa menembus parlemen pada 2024?
Efek ekor jas
Survei Litbang Kompas kembali menegaskan bahwa Ganjar Pranowo menempati posisi teratas sebagai capres. Angkanya masih 25,3 persen. Ini menarik karena hingga kini Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri belum mendeklarasikan siapa capres dari PDI-P. Ini berarti para pemilih PDI-P percaya Ganjar pasti akan menjadi capres PDI-P. Jika ternyata bukan Ganjar, sudah pasti elektabilitas PDI-P akan merosot tajam sampai ke titik nadir.
Elektabilitas Prabowo Subianto dan Anies Baswedan masih fluktuatif. Dalam survei Litbang Kompas pada Januari 2023 ini Prabowo mendapatkan 18,1 persen dan Anies 13,1 persen.
Jika ternyata bukan Ganjar, sudah pasti elektabilitas PDI-P akan merosot tajam sampai ke titik nadir.
Jika kita melihat perkembangan politik saat ini, jika PDI-P berkoalisi dengan Gerindra dan mengajukan pasangan Ganjar-Prabowo sebagai capres dan cawapres, mereka bukan mustahil memenangi pemilu satu putaran jika pasangan yang bertarung lebih dari dua.
Ganjar mungkin saja disandingkan dengan Erick Thohir jika persoalan modal kampanye menjadi syarat utama. Namun, jika pendekatan politik lebih mengemuka, bisa saja Ganjar-Ridwan Kamil akan diajukan PDI-P dan Golkar sebagai pendukung utama koalisi.
Buat Nasdem, PKS, dan Demokrat, mereka bisa saja mengajukan nama Sandiaga Uno sebagai cawapres Anies. Mereka berdua pernah maju di Pilkada DKI 2017. Sandiaga juga punya modal finansial. Namun, apakah Gerindra akan membiarkan hal itu terjadi?
Kita tunggu saja sampai batas akhir (deadline) pendaftaran capres dan cawapres. Membangun koalisi itu tidak mudah dan penuh risiko. Karena itu, jangan heran jika ketua umum PDI-P tetap menunggu saat yang tepat untuk mendeklarasikan capres-cawapres yang diusung PDI-P dan bangunan koalisi yang dikehendaki agar hitung-hitungan politiknya tidak meleset.
Ikrar Nusa BhaktiTenaga Profesional (Taprof) Bidang Politik di Lemhannas RI