Puskesmas Harus Naik Kelas
Di tengah era digitalisasi dan kecerdasan buatan, sangat miris kalau puskesmas masih dianggap fasilitas kesehatan yang hanya mampu mengobati ”pusing-pusing, keseleo, dan masuk angin”. Puskesmas sudah harus naik kelas.
Pemerintah berencana melakukan transformasi kesehatan di Indonesia. Tujuannya adalah memperbaiki sistem kesehatan agar menjadi lebih baik, optimal, dan berkesinambungan. Salah satu sasaran utamanya adalah pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas.
Lewat transformasi layanan primer, akan digalakkan program edukasi masyarakat serta peningkatan kegiatan promotif dan preventif di puskesmas. Hingga kini, masih banyak yang menyepelekan puskesmas. Sebagian menyindir puskesmas sebagai akronim dari ”pusing-pusing, keseleo, dan masuk angin”. Sarana kesehatan ini dianggap minim kapasitas; hanya bisa mengobati penyakit-penyakit ringan.
Sindiran ini masih terus menggaung hingga kini. Ini tentu ironis. Di banyak negara, puskesmas justru menjadi tulang punggung sistem kesehatan. Perannya krusial: ia bahkan menempati hierarki pertama pelayanan kesehatan masyarakat dan merupakan backbone of universal health coverage.
Di Indonesia, puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan terdepan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Fasilitas ini tersebar luas dan mudah diakses oleh masyarakat, bahkan di daerah terpencil sekalipun.
Baca juga : Puskesmas Zaman Dulu dan Sekarang
Baca juga : Tahun Ini, Semua Puskesmas Harus Punya Alat USG
Isu kronis
Puskesmas pertama di Indonesia dibangun tahun 1970. Sebelum kemunculan puskesmas, telah tersedia beberapa fasilitas pelayanan kesehatan, seperti balai pengobatan dan balai kesejahteraan ibu dan anak. Fasilitas-fasilitas ini berdiri sendiri dan tak saling berhubungan. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan, muncul gagasan menggabungkan semua unit kesehatan itu dalam satu payung.
Gagasan ini diilhami Bandung Plan (1951) yang menarasikan perlunya pengintegrasian sarana dan pelayanan kesehatan dalam satu pintu. Dalam sepuluh tahun pertama, pemerintah saat itu berhasil membangun 2.000 lebih puskesmas. Di Indonesia, puskesmas memberikan layanan kesehatan dasar yang meliputi kegiatan promotif, preventif, dan kuratif.
Selain pengobatan penyakit, puskesmas melaksanakan program lain. seperti imunisasi, kesehatan ibu dan anak, serta kesehatan lingkungan. Peran ini relevan dengan atribut sentral pelayanan kesehatan dasar yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kemudahan akses (accessibility), pengobatan dan pencegahan (longitudinally), serta koordinatif dan komprehensif (termasuk menggunakan rujukan ke rumah sakit).
Di negara-negara lain, primary health center (setara dengan puskesmas) juga memiliki peran senada meski jenis layanannya bervariasi.
Di negara-negara maju, puskesmas memiliki program lebih luas, maju, dan komprehensif. Selain menyelenggarakan layanan kesehatan dasar yang berkualitas, sebagian menjadi pusat pencegahan epidemi, penyedia layanan pengungsi dan imigran, serta menjadi pusat pengumpulan data dan studi kesehatan primer.
Banyak di antara mereka yang memiliki dokter spesialis dan memberikan layanan spesialistik, seperti pengobatan penyakit jantung, anak, dan kebidanan. Tata kelola mereka sangat baik, termasuk penggunaan sistem digital dan online dalam pelayanan.
Mencermati atribut dan perannya yang sangat krusial di Indonesia, puskesmas mestinya mendapat perhatian lebih serius. Puskesmas harus terus didukung dan difasilitasi agar benar-benar menjadi fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat diandalkan dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.
Juga, dapat berperan sebagai filter efektif penanganan kasus-kasus medis sehingga dapat mengurangi beban fasilitas kesehatan sekunder dan tersier. Faktanya, selama lebih dari 50 tahun eksistensinya, fasilitas ini masih dihantui oleh berbagai persoalan serius dan kronis.
Mencermati atribut dan perannya yang sangat krusial di Indonesia, puskesmas mestinya mendapat perhatian lebih serius.
Pertama, meski jumlah puskesmas bertambah dari tahun ke tahun, pertambahannya tidak seirama dengan laju pertambahan penduduk. Akibatnya, rasio puskesmas terhadap penduduk mengalami stagnasi dan bahkan penurunan.
Tahun 2011, terdapat 9.321 puskesmas dengan rasio terhadap penduduk 1 : 25.750. Sepuluh tahun kemudian, jumlah puskesmas meningkat menjadi 10.292, tetapi rasionya terhadap penduduk melebar menjadi 1 : 26.494. Artinya, dibandingkan tahun 2011, setiap puskesmas memiliki tambahan beban populasi sebanyak 750 orang. Selain tambahan beban, rasio puskesmas ini amat lebar. Di Malaysia, rasio puskesmas terhadap penduduk adalah 1 : 10.000 dan di Vietnam 1 : 4.000.
Magnitudo beban ini lebih besar lagi jika mempertimbangkan tren epidemiologi penyakit di Indonesia yang mengalami pergeseran ke arah penyakit degeneratif kronis; tentunya dengan beban morbiditas dan mortalitas yang besar.
Kedua, terdapat disparitas serius penyebaran puskesmas. Sementara satu puskesmas tersedia untuk setiap 10.000 penduduk di Papua, di Banten satu puskesmas melayani 49.000 penduduk. Artinya, ketersediaan puskesmas bagi penduduk Papua lima kali lipat dibandingkan ketersediaan di Banten.
Rasio lebar demikian juga terjadi di daerah-daerah lain di Jawa. Ini agak aneh karena selama ini pembangunan kesehatan lebih banyak didominasi daerah-daerah Jawa. Yang menarik, meski Papua memiliki banyak puskesmas, hanya 9 persen puskesmas yang memiliki kecukupan tenaga kesehatan standar. Artinya, 9 dari 10 puskesmas di Papua tak punya tenaga kesehatan standar.
Padahal, di Jawa, 60 persen puskesmas telah memiliki kecukupan tenaga. Ini mengisyaratkan pemerintah membangun puskesmas, tetapi belum mampu menyediakan tenaga standar yang diperlukan.
Ketiga, terbatasnya tenaga kesehatan memunculkan isu kualitas. Permenkes No 74/2014 mengharuskan puskesmas memiliki setidaknya 19 tenaga kesehatan, termasuk dokter, dokter gigi, dan perawat. Faktanya, pada tingkat nasional, lebih seperdua puskesmas tidak memenuhi persyaratan ini. Ini memicu isu kualitas dan profesionalisme layanan.
Jika tidak ada tenaga dokter, lantas siapa yang mendiagnosis penyakit dan memberikan pasien pengobatan? Tanpa dokter gigi, kepada siapa pasien sakit gigi harus berobat? Ketika tidak ada tenaga laboratorium, siapa yang akan mengoperasikan alat laboratorium? Karena keterbatasan ini, tenaga kesehatan yang ada terpaksa mengambil alih tugas meski tidak memiliki keahlian dan kapasitas.
Selain kekurangan tenaga, banyak puskesmas kekurangan sarana, prasarana, dan alat kesehatan. Masih cukup banyak puskesmas yang tidak memiliki genset; jika aliran listrik padam, suhu kulkas jadi terganggu dan kualitas vaksin dan obat-obatan tertentu menjadi terancam. Sebagian alat yang dimiliki tidak berfungsi baik atau tidak dikalibrasi. Dengan kekurangan dan keterbatasan serius ini, bagaimana puskesmas bisa memberikan pelayanan berkualitas?
Keempat, masih minim penelitian ilmiah terkait kualitas, efektivitas, dan efisiensi program kesehatan di puskesmas. Berbagai kegiatan dijalankan tanpa disertai evidence-base keefektifannya. Promosi kesehatan lewat ceramah dan pembagian brosur telah dilakukan puluhan tahun di puskesmas. Namun, hingga kini belum banyak bukti ilmiah tentang bagaimanakah model promosi kesehatan yang tepat yang dapat membawa perubahan perilaku yang diharapkan.
Masih cukup banyak puskesmas yang tidak memiliki genset; jika aliran listrik padam, suhu kulkas jadi terganggu dan kualitas vaksin dan obat-obatan tertentu menjadi terancam.
Demikian pula, seberapa besar indeks kesembuhan pasien yang menjalani pengobatan di puskesmas? Mestinya setiap program kesehatan yang dijalankan memiliki landasan evidence-base yang valid agar luarannya terhadap peningkatan status kesehatan jelas.
Hasil penelitian juga dapat digunakan untuk memperbaiki kebijakan kesehatan dan menjadi dasar pengembangan intervensi kesehatan yang lebih baik di masa depan. Jangan terlena oleh angka-angka dan grafik laporan puskesmas yang mengagumkan, tetapi efek riilnya terhadap peningkatan status kesehatan tidak jelas.
Mengubah ”image”
Tak bisa dimungkiri, puskesmas telah memberi dampak positif dalam pembangunan kesehatan. Puskesmas berhasil mengukuhkan dirinya sebagai sarana kesehatan utama yang paling dicari masyarakat untuk pelayanan kesehatan dasar. Dengan akses luas dan mudah, sudah tak terhitung berapa banyak masyarakat telah memperoleh manfaat puskesmas.
Dengan posisi dan peran krusial ini, puskesmas mestinya diberi perhatian jauh lebih serius. Setelah lebih dari setengah abad menjadi bagian penting sistem kesehatan Indonesia, mestinya ada peningkatan status, eksistensi, dan kualitas sarana ini. Ia tak boleh bergerak di tempat.
Perjalanan panjang mestinya telah mengubah wajah puskesmas dari fasilitas kesehatan sederhana, parsial, dan minim kualitas menjadi fasilitas kesehatan modern, komprehensif, dan berkualitas tinggi. Menjadi sarana kesehatan yang dicari-cari masyarakat jika sakit, bukan dicari hanya karena faktor keterpaksaan. Kasarnya, puskesmas mestinya telah naik kelas.
Sayangnya, harapan ini belum terwujud. Bahkan setelah periode puluhan tahun, masalah-masalah konvensional, seperti kekurangan tenaga dan sarana, masih terus menghantui eksistensi puskesmas. Juga persoalan distribusi yang tidak merata. Akibatnya, jangan terlalu berharap bahwa puskesmas dapat memberikan pelayanan berkualitas tinggi.
Pelayanan memang ada, tetapi kualitasnya belum adekuat. Ujung-ujungnya, timbullah agregasi persoalan kesehatan masyarakat. Merebaknya tengkes (stunting), tingginya kasus tuberkulosis, serta belum merendahnya angka kematian ibu dan anak dipresipitasi langsung maupun tidak langsung oleh kualitas pelayanan puskesmas yang belum adekuat.
Jika pelayanan puskesmas adekuat dan berkualitas, persoalan kesehatan masyarakat ini tidak akan merebak.
Agar naik kelas, puskesmas mesti ditata lebih baik dan diprioritaskan. Selain meningkatkan jumlah puskesmas secara fisik, perlu upaya serius memenuhi standar kecukupan sumber daya manusia, sarana dan fasilitasnya. Puskesmas jangan dianaktirikan.
Janganlah rumah sakit terus dilengkapi dengan alat-alat medis canggih berharga ratusan juta atau miliaran rupiah, sementara banyak puskesmas berteriak kekurangan timbangan badan yang akurat.
Janganlah rumah sakit terus dilengkapi dengan alat-alat medis canggih berharga ratusan juta atau miliaran rupiah, sementara banyak puskesmas berteriak kekurangan timbangan badan yang akurat. Selain itu, mesti dilakukan peningkatan kualitas pelayanan dengan memperbaiki sistem administrasi, keterampilan komunikasi dan interaksi dengan pasien.
Tidak kalah pentingnya, mengajak masyarakat terlibat dan mendukung program-program puskesmas. Semua ini perlu segera dilakukan agar image puskesmas dapat lebih elegan.
Di tengah era digitalisasi dan kecerdasan buatan ini, sangat miris kalau puskesmas masih dianggap fasilitas kesehatan yang hanya mampu mengobati ”pusing-pusing, keseleo, dan masuk angin”.
Puskesmas sudah harus naik kelas; dari sekadar gabungan beberapa unit kesehatan sederhana menjadi fasilitas garda terdepan yang menjaga kesehatan bangsa lewat pemberian layanan kesehatan komprehensif, berkualitas, dan bisa diandalkan.
Iqbal Mochtar Pengurus PB IDI, PP IAKMI, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah