Perjokian Karya Ilmiah
ia diminta pembimbingnya, seorang profesor, menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris untuk dipublikasikan di jurnal internasional. Anak saya mengerjakan tanpa bantuan, padahal nama profesor itu tercantum.

Tulisan hasil investigasi harian Kompas (Jumat, 10/2/2023) mengenai ”Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Ilmiah” sangat luar biasa, patut mendapat acungan jempol.
Tulisan tersebut diikuti beberapa artikel dengan topik terkait, pada edisi-edisi Kompas berikutnya. Mata kita menjadi lebih terbuka.
Ada pengalaman pribadi berkaitan dengan perjokian penulisan karya ilmiah, melibatkan seorang profesor. Saat anak saya baru saja menyelesaikan program magister (S-2) dari sebuah universitas negeri ternama, ia diminta pembimbingnya, seorang profesor, menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris untuk dipublikasikan di jurnal internasional. Anak saya mengerjakan tanpa bantuan, padahal nama profesor itu tercantum sebagai penulis.
Saat mengirim karya ilmiah, beberapa kali ditolak dan harus direvisi. Namun, pembimbing malah bersikap keras kepada anak saya tanpa memberi masukan, koreksi, dan solusi. Anak saya sampai tertekan.
Status terakhir, karya ilmiah sudah dikirimkan kembali, tetapi belum ada kabar apakah layak publikasi atau tidak. Anak saya sekarang sedang menempuh studi lanjutan di luar negeri, harus memonitor terus perkembangan karya ilmiah tersebut. Kasus ini bisa jadi hanya salah satu di antara banyak kasus lain di dunia akademi.
Sepertinya belum tersedia data yang akurat mengenai berapa jumlah profesor di Indonesia saat ini. Sementara hampir setiap bulan, ada saja universitas yang mengukuhkan profesor baru. Apakah kualitas para profesor tersebut sudah sesuai dengan bidang keilmuaannya dan layak menyandang predikat guru besar?
Lebih memprihatinkan lagi, beberapa tahun terakhir ini gelar doktor honoris causa diobral dan diberikan kepada orang-orang terkenal, politisi, dan pejabat tinggi pemerintah, yang tingkat keilmuannya patut dipertanyakan. Sumbangsih mereka berupa tulisan dan karya ilmiah untuk kemajuan dan peningkatan kualitas dunia akademis tidak pernah terdengar.
Selama gelar profesor masih didewakan, apalagi dengan gelar tersebut bisa mendapatkan beberapa keistimewaan, kasus-kasus seperti yang dihasilkan oleh investigasi Kompas tidak pernah akan berhenti.
Samesto NitisastroPraktisi SDM, Pesona Khayangan, Depok 16411
Guru Jujur

ilustrasi
Membaca hasil investigasi Kompas (10-13/2/2023) dan penulis di rubrik Opini Kompas, dapat disimpulkan bangsa ini krisis kejujuran akut. Manipulasi data ilmiah tumbuh subur di kampus, institusi terhormat dunia pendidikan. Proses tidak mengkhianati hasil, dosen paham ini, tetapi sulit menjalani.
Adanya joki menulis karya ilmiah dan publikasi di jurnal internasional sebagai syarat menjadi guru besar menunjukkan kalangan akademisi mengingkari marwah sebagai agen intelektual. Menulis bukan didorong oleh semangat tridarma perguruan tinggi, melainkan mengejar insentif.
Pantaslah lulusan perguruan tinggi tidak siap diaplikasikan di lapangan karena gurunya pun sebenarnya tidak siap menjadi guru. Menjadi dosen bukan panggilan jiwa. Begitu ada kesempatan memacu diri di landasan pintas.
Karakter buruk dosen bisa dirunut mundur dari sejak TK. Harusnya pada semua satuan tingkat pendidikan, mental positif siswa dipupuk dan dikembangkan. Jika terjadi penyimpangan, karakter terbawa hingga dewasa.
Dari hal sederhana, mencontek, misalnya, berkembang perilaku buruk lain. Mencontek menjadi jalan pintas karena angka menjadi ukuran keberhasilan. Di negara maju tidak ada pemeringkatan. Para siswa belajar agar paham teori dan penerapannya, bukan ingin jadi juara.
Banyak orang besar di negeri ini terjerat kasus yang merendahkan martabat manusia, berawal dari ketidakjujuran. Jika guru tidak jujur, jangan harap siswa jujur.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi, Bandung 40616
Bukan Joki

Ilustrasi
Guru besar yang membimbing penelitian dan penulisan disertasi mahasiswa S-3 bukan joki dalam takrif ketiga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Baca artikel opini Elisabeth Rukmini di Kompas (Senin, 13/2/2023). Sebutan yang pantas bagi pembimbing seperti itu adalah mentor.
Pembimbing saya juga membimbing mahasiswa China di universitas lain. Setelah kami—mahasiswa China dan saya—lulus, pembimbing kami membuat artikel berdasarkan disertasi kami (disertasi kami memang serupa, tetapi tidak sama, dan kami pun tidak saling kenal).
Artikel itu terbit di jurnal ilmiah internasional dengan kami sebagai authors-nya. Nama profesor kami juga tercantum, tetapi ia sebagai penulis ketiga.
L WilardjoKlaseman, Salatiga

Ilustrasi
Pengangkatan satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang karut-marut mencerminkan bahwa dunia pendidikan kita saat ini mengalami masalah mendasar, yaitu krisis guru pegawai negeri sipil. Demikian menurut Darmaningtyas (Kompas, 21/12/2022).
Sebetulnya masih banyak masalah lain, seperti kualitas, sistem pengadaan guru, dan penyebarannya.
Pengangkatan guru secara besar-besaran sudah menunjukkan keteledoran karena seharusnya berjalan secara organis. Menyiapkan tenaga guru tidak bisa secara instan seperti proyek padat karya.
Guru tidak hanya bisa mengajar, tetapi juga harus bisa mendidik. Mengajar hanya menularkan ilmu, sedangkan mendidik mengubah perilaku menjadi insan berkepribadian baik dan berwawasan.
Seleksi calon guru PNS yang dilakukan sesaat kurang bisa mendapatkan guru yang bisa mengajar, mendidik, dan berjiwa nasionalis yang bebas paham intoleransi dan radikalisme. Lebih baik mengangkat guru magang atau honorer yang berkinerja baik.
Survei Progamme for International Student Assessment (PISA) pada 2018, nilai kemampuan anak Indonesia 382, menempatkan Indonesia di peringkat ke-71 dari 77 negara (Kompas, 28/12/2022).
Posisi tersebut sudah terjadi lama. Kelihatannya ada tangan-tangan tersembunyi yang menginginkan rakyat kecil tetap bodoh, agar mudah diadu domba dan dikendalikan untuk kepentingan.
Sesungguhnya kita punya modal sosial, waktu, dan tenaga untuk membantu anak- anak yang belum lancar membaca, menulis, dan berhitung. Bagaimana kalau mendirikan ”Arisan Mengajar”?
Makin banyak peserta makin lama untuk mendapat giliran mengajar sehingga tidak mengganggu kegiatan utama. Ragam kemampuan yang diajarkan bisa beraneka rupa, sesuai keahlian pengajar dan kebutuhan anak.
Pendidikan tidak bisa lagi diselenggarakan dengan cara seperti biasanya. Perlu dicari jalan lain, diusahakan dengan kesungguhan dan ketulusan.
A Agoes SoediamhadiLangenarjan, Yogyakarta
Tak Tergantikan

Ilustrasi
Artikel Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), berjudul ”Hakikat Pendidikan” (Kompas, 10/2/2023) menyadarkan kita bahwa kecerdasan an sich sehebat apa pun memerlukan hal lain yang lebih utama, yaitu kemanusiaan yang luhur.
AI, artificial intelligence, atau kecerdasan buatan, dipaparkan potensi dan perkembangannya dalam menggantikan kecerdasan manusia, sekaligus risiko yang muncul. Wartawan Kompas, seperti Andreas Maryoto dan M Zaid Wahyudi, juga sering menampilkan artikel tentang AI.
Semua mengingatkan saya pada buku fiksi Dan Brown berjudul Origin. Diceritakan sebuah komputer super bernama Winston bekerja sama dengan Prof Robert Langdon. Ternyata penguasaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selaras pembangunan serta pemeliharaan tata nilai, tak tergantikan mesin secanggih apa pun. Ini kunci mencapai manusia Indonesia cerdas, tangguh, dan mulia.
Hal ini sudah ada dalam cita-cita para pendiri bangsa. Bung Hatta, 19 Desember 1950, dalam Sidang Pleno KNIP antara lain mengemukakan: Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Indonesia merdeka tidak ada gunanya apabila kita tidak sanggup membuat rakyat hidup bahagia dan makmur, jasmani dan rohani.
Perjuangan belum selesai, tetapi kita malah berada pada permulaan perjuangan yang jauh lebih berat: mencapai kemerdekaan manusia dari segala macam penindasan.
Bung Hatta membuktikan integritas serta kejujurannya, antara lain mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Tapi, hubungan baik antarmanusia tetap terpelihara. Saat Bung Karno sakit, kisah pertemuan mereka mengharukan.
Pelaku politik diingatkan oleh Samesto Nitisastro dalam kolom Surat Kepada Redaksi (Kompas, 10/2/2023). Ia mencuplik tulisan Cal Thomas, kolumnis politik AS, bahwa kebenaran jarang menjadi tujuan utama politisi. Pemilihan umum dan kekuasaanlah tujuan utama mereka. Di Indonesia hal ini tampak nyata dalam polah mereka.
Kita tidak melihat sikap Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944), yang disitir Presiden John F Kennedy (1961-1963): ”My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”.
Para pendiri bangsa tercinta ini pastilah menangis melihat perilaku politisi yang diharapkan menjadi penerus cita-cita luhur mereka. Oligarki, feodalisme, krisis tata nilai dan akhlak, mewarnai kehidupan politik negeri ini. Entah sampai kapan rakyat sekadar angka untuk meraup suara.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM PPM,Menteng Raya, Jakarta Pusat
Bus Transjateng
Bus Transjateng menghubungkan Terminal Tirtonadi di Kota Solo dengan Terminal Sumberlawang di Kabupaten Sragen. Bus melewati Jalan raya Solo-Purwodadi dengan jarak sekitar 27 km.
Sampai di Kalijambe, bus belok ke gerbang Sangiran sejauh 4 km hingga tiba di halte Sangiran. Baru kemudian bus kembali menuju Terminal Sumberlawang.
Dengan kehadiran bus ini, Museum Sangiran kluster Kerikilan sebagai museum induk bisa dijangkau masyarakat dengan mudah dan murah.
Vita PriyambadaMalang 65145