Orkestrasi Intelijen
Istilah orkestrasi intelijen yang disampaikan Presiden Joko Widodo memunculkan berbagai tafsir dan perdebatan. Istilah itu tak ada dalam UU Intelijen. Pernyataan itu menunjukkan bahwa Presiden memiliki perhatian khusus.

Ilustrasi
Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan istilah orkestrasi intelijen yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan beberapa waktu lalu. Istilah ini memunculkan berbagai tafsir dan spekulasi yang menyulut perdebatan pro dan kontra di antara para pengamat, akademisi, anggota legislatif, bahkan untuk komunitas intelijen.
Istilah orkestrasi intelijen adalah terminologi baru dan tak dikenal sebelumnya. Istilah ini bahkan tak kita temukan dalam Undang-Undang (UU) Intelijen Nomor 17 Tahun 2011. Tak sedikit yang menafsirkan bahwa koordinasi intelijen nantinya akan berada di bawah Kementerian Pertahanan, sementara dalam UU Intelijen sudah jelas bahwa tugas koordinasi intelijen berada di bawah Badan Intelijen Negara (BIN).
Ada pula yang menafsirkan bahwa orkestrasi intelijen yang dimaksud Presiden hanya dikhususkan pada intelijen pertahanan atau intelijen militer.
Hal ini dapat kembali membuka perdebatan tentang hubungan antara sipil dan militer, apakah ini mengarah pada kontrol subyektif atau kontrol obyektif sipil terhadap militer. Menurut Richard Betts (1977), bagi sipil yang berkuasa, godaan mengeksploitasi atau mengontrol komunitas intelijen atas informasi untuk kepentingan politik lebih besar daripada keinginan mengontrol militer.
Menafsirkan istilah ini memang tidak mudah, apalagi hal itu disampaikan saat Rapim Kemenhan yang menterinya sampai saat ini menjabat sebagai ketua partai.
Menafsirkan istilah ini memang tidak mudah, apalagi hal itu disampaikan saat Rapim Kemenhan yang menterinya sampai saat ini menjabat sebagai ketua partai. Kecurigaan terhadap pelanggaran UU intelijen dan potensi politisasi terhadap produk intelijen tidak dapat dihindari. Hubungan antara intelijen dan pembuat kebijakan memiliki kerentanan tersendiri jika tidak dikontrol melalui mekanisme pengawasan yang menjadi tugas dari Komisi I DPR RI.
Dalam kajian intelijen strategis, diskursus politisasi intelijen adalah perdebatan klasik antara pendekatan model Kent dan model Gates. Titik debat kedua pendekatan ini berfokus pada relasi antara intelijen dan pembuat kebijakan (user).
Sherman Kent menekankan pada independensi intelijen, yaitu analis intelijen menjaga jarak dengan pembuat kebijakan untuk menjaga obyektivitas produk intelijen agar terhindar dari preferensi politik user. Sementara pendekatan Robert Gates menginginkan agar analis memiliki kedekatan dengan user dan mengetahui secara mendalam apa yang diinginkan olehnya. Hal ini dibutuhkan untuk menghasilkan produk intelijen yang tepat waktu, relevan, dan dapat ditindaklanjuti (actionable intelligence). Bagi penganut pendekatan model Kent, model Gates adalah politisasi intelijen. Sementara, menurut Gates, pendekatan mereka bukan politisasi, melainkan kontekstualisasi.
Istilah kontekstualisasi ini dapat menjelaskan istilah orkestrasi intelijen yang telah diucapkan Presiden sebelumnya. Kontekstualisasi intelijen pada dasarnya adalah actionable intelligence. Intelijen yang dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan user, intelijen yang velox et exactus, intelijen yang dapat memberikan peringatan dini kepada Presiden, bahkan sebelum hal itu diminta.

Presiden Joko Widodo berfoto bersama peserta Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan yang menyertakan Pimpinan TNI dan Polri serta pejabat-pejabat utama Kemenhan, Rabu (18/1/2023).
Orkestrasi intelijen yang disampaikan Presiden ini dapat dibaca sebagai kekhawatiran terhadap ancaman yang sifatnya strategis, seperti resesi global atau isu-isu panas tentang geopolitik dan geoekonomi yang sedang dan yang akan terjadi. Salah satu sorotan utama Presiden pada Rapim Kemenhan terkait intelijen adalah pentingnya peringatan dini. Intelijen dapat dinilai gagal jika presiden baru mengetahui adanya ancaman setelah kejadian.
Presiden membutuhkan informasi intelijen yang dapat ditindaklanjuti untuk memitigasi berbagai spektrum ancaman agar dapat melahirkan kebijakan dan langkah strategis yang tepat.
Fusi intelijen
Selain bisa dibaca sebagai kontekstualisasi intelijen, orkestrasi intelijen juga dapat diterjemahkan sebagai fusi intelijen. Fusi intelijen akan berjalan dengan baik jika terbangun saling percaya (trust) antarinstitusi dan kemampuan untuk menyediakan informasi intelijen sebagai peringatan dini dengan cepat dan tepat. Fusi dimaksud adalah tetap menggunakan prinsip kompartementalisasi dan mencari standardisasi laporan intelijen ke presiden.
Memberikan semua informasi intelijen dapat membuat user kewalahan, bahkan dapat membuat laporan intelijen hanya menjadi tumpukan berkas di meja presiden. Sementara, membatasi laporan intelijen dapat menciptakan risiko informasi yang penting tak sampai ke presiden. Orkestrasi, kontekstualisasi, atau harmonisasi dalam bentuk fusi intelijen dibutuhkan karena intelijen yang baik adalah intelijen yang memahami kebutuhan pengguna.
Baca juga : Sejarah Intelijen Orde Baru
Ada istilah one page too much yang berlaku bagi laporan-laporan intelijen yang kemudian sampai ke presiden. Presiden membutuhkan laporan yang sifatnya strategis, bukan taktis. Seorang presiden tak punya cukup waktu untuk membaca laporan-laporan intelijen yang begitu banyak dari berbagai komunitas intelijen yang ada jika tidak disajikan dengan singkat. Dibutuhkan laporan intelijen strategis yang ringkas, padat, jelas, dan tepat waktu.
Karena laporan atau produk intelijen yang sampai ke presiden bersifat strategis, setidaknya dibutuhkan laporan-laporan berjangka waktu menengah dan jangka waktu panjang.
Meski demikian, tak tertutup kemungkinan dibutuhkan laporan singkat harian (daily brief) jika ada hal-hal mendesak di mana presiden membutuhkan informasi terkini atas suatu peristiwa yang menarik perhatian presiden, yaitu situasi yang mungkin menimbulkan gejolak negatif jika tidak segera dimitigasi secepatnya.
Produk laporan dari fusi intelijen sebaiknya menghindari memberikan satu opsi ke presiden, tapi memberikan beberapa opsi saran dan mitigasi sebagai langkah yang akan diambil. Ini untuk menghindari kesan adanya kecenderungan intelijen mendikte kebijakan yang akan diambil presiden. Perkara apakah opsi-opsi yang ditawarkan pada laporan intelijen digunakan atau presiden mengambil opsi di luar itu, keputusan akhir berada di tangan presiden.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F14%2Fe40da5b6-4901-4175-95bb-962e1ffba010_jpeg.jpg)
(Dari kiri) Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (14/9/2022).
Tantangan intelijen
Dinamika lingkungan strategis yang tak menentu merupakan tantangan tersendiri bagi institusi intelijen dalam menghadapi berbagai ancaman tradisional dan nontradisional.
Dampak ekonomi pandemi Covid-19, resesi ekonomi global, terorisme, ancaman disintegrasi bangsa, dan sebagainya memerlukan perhatian khusus bagi intelijen agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat dimitigasi dengan baik.
Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan dan menjadi tantangan intelijen ke depan. Pertama, memastikan siklus intelijen tidak patah, memastikan perencanaan sampai pada tataran operasi intelijen berjalan dengan baik, satu titik dalam siklus intelijen patah berarti kegagalan intelijen.
Kedua, meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan pendadakan strategis terkait dengan dinamika global sehingga negara tidak kaku dalam mengambil langkah kebijakan jika terjadi pergeseran geopolitik di tingkat global.
Ketiga, kuatnya faktor ekonomi dan politik di tingkat global dan nasional membutuhkan integrasi informasi intelijen dari berbagai lembaga. Di titik ini fusi intelijen dibutuhkan, fusi baik dari segi antarlembaga intelijen maupun fusi dalam metode intelijen, seperti osint (open source intelligence), humint (human intelligence), sigint (signal intelligence), masint (measurement and signal intelligence), imint (imagery intelligence).
Jadi, intelijen terbaik adalah intelijen yang mampu memitigasi risiko ancaman sedini mungkin tanpa harus diketahui presiden.
Keempat, peningkatan sumber daya dan infrastruktur yang bisa menunjang keberhasilan seluruh aspek operasi intelijen.
Pernyataan tentang orkestrasi intelijen menunjukkan bahwa Presiden memiliki perhatian khusus terhadap institusi dan informasi intelijen. Negara yang kuat adalah negara yang intelijennya mampu menjadi first line of defense dari berbagai spektrum ancaman. Kerahasiaan adalah prinsip dasar dari operasi intelijen. Jadi, intelijen terbaik adalah intelijen yang mampu memitigasi risiko ancaman sedini mungkin tanpa harus diketahui presiden.
Diyauddin Peneliti Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, Analis Lab 45

Diyauddin