Belum terlambat jika kita menyusun ulang strategi ketahanan pangan, yaitu tidak mengandalkan beras sebagai pangan pokok. Sasaran kita seharusnya adalah kecukupan kerbohidrat, energi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Buruh borongan asal Ngawi memanen padi di Desa Pelem Gadung, Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah, pada musim panen raya yang pertama, Rabu (1/3/2023).
Memasuki panen raya tahun 2023, petani padi Jawa Barat dan Jawa Tengah terancam gagal panen dan merugi karena biaya produksi tinggi.
Harian Kompas, Selasa (28/2/2023), melaporkan, sawah petani di sejumlah wilayah terendam banjir menjelang panen raya pada akhir Maret dan April. Pada saat yang sama, petani dibayang-bayangi kerugian karena kenaikan biaya produksi disebabkan harga pupuk mahal, biaya tenaga kerja, dan biaya sewa alat mesin pertanian naik. Dari sisi harga, pemerintah menetapkan harga pembelian Rp 4.200 per kilogram gabah kering panen, sementara petani menghitung biaya produksi Rp 5.000.
Dari tahun ke tahun petani padi mengalami masalah sama. Mereka terancam merugi. Dilihat dari sisi pendapatan, sebagian besar petani padi tetap tergolong miskin jika hanya mengandalkan hasil tanaman padinya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Penebas padi, Jumangin, memantau kerja buruh borongan yang sedang memanen padi di Desa Pelem Gadung, Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah, pada musim panen raya yang pertama, Rabu (1/3/2023).
Prof Dr Mubyarto bersama peneliti Iowa State University, Dr Lehman B Fletcher, tahun 1970, melaporkan hasil studi mengenai beras di Jawa dan Madura. Tujuan pemerintah sejak tahun 1964 untuk mencukupi kebutuhan anggota angkatan bersenjata, pegawai perusahaan penting, dan stabilisasi harga di pasar tidak pernah tercapai. Ada empat penyebab. Pertama, tidak semua lahan pertanian memiliki pengairan memadai dan tak tersedia modal cukup bagi petani. Kedua, harga pembelian pemerintah lebih rendah dari harga di pasar bebas. Ketiga, pemerintah kalah bersaing dengan petani kaya dan pedagang dalam membeli gabah atau beras petani. Keempat, terdapat ketidakjujuran dan korupsi di antara pejabat.
Pemerintah sejak awal kemerdekaan hingga hari ini mengatur ketat harga dan distribusi beras. Beras ditempatkan sebagai bahan pokok dan penting. Pemerintah berkeinginan gairah petani bertanam padi akan terjaga saat harga stabil dan swasembada beras dapat tercapai. Statusnya menjadi barang strategis, bahkan politis. Walakin, sampai saat ini swasembada beras berkelanjutan tak pernah tercapai. Kesejahteraan petani sebagai produsen juga tidak membaik. Nilai tukar beras terus merosot terhadap produk industri, biaya pendidikan anak, dan harga kebutuhan dasar sehari-hari.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Buruh borongan asal Ngrambe, Ngawi, Jawa Timur, hendak pulang setelah memanen padi di Desa Pelem Gadung, Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah, pada musim panen raya yang pertama, Rabu (1/3/2023).
Kini kita dihadapkan pada tantangan ketidakpastian yang kian tinggi akibat perubahan iklim, pertambahan jumlah penduduk, dan kualitas manusia. Belum terlambat jika kita menyusun ulang strategi ketahanan pangan, yaitu tidak mengandalkan beras sebagai pangan pokok. Sasaran kita seharusnya adalah kecukupan kerbohidrat, energi. Kita memiliki banyak sumber pangan lokal tinggi energi. Selain itu, sekitar seperlima konsumsi karbohidrat kita sudah berupa mi yang sebagian bahan bakunya sudah dari sagu atau singkong.
Diversifikasi sumber karbohidrat akan memitigasi perubahan iklim, pertambahan penduduk, dan lebih berkelanjutan secara lingkungan mengingat sawah melepaskan gas metan. Secara bersamaan kita juga harus mendiversifikasi sumber protein, baik dari sumber nabati maupun hewani, seperti ikan, mamalia, dan unggas lokal.