
Berita utama Kompas selama tiga hari berturut-turut (10, 11, dan 12/2/2023) mengungkap maraknya perjokian karya ilmiah di dunia perguruan tinggi kita. Suatu kenyataan pahit, sangat memprihatinkan.
Selama ini memang terdengar ada perjokian karya ilmiah di lingkungan akademik. Investigasi Kompas membeberkan praktik ini ternyata sudah luas, sistematik, dan masif, bahkan menjadi industri yang menggiurkan. Permintaan mengalir, mulai dari penulisan makalah, skripsi, tesis, disertasi, sampai artikel ilmiah untuk publikasi di jurnal ilmiah sebagai syarat menjadi guru besar.
Dengan panjang lebar Kompas memaparkan hal ihwal praktik tersebut. Modusnya, prosedurnya. Dijelaskan pula tahap-tahap prosesnya, mulai dari pemesanan sampai selesai, termasuk pemuatannya di jurnal ilmiah internasional, juga biaya setiap macam produk. Lengkap tertata layaknya sebuah industri.
Bagi khalayak awam surat kabar, seperti halnya saya, penjelasan panjang, lengkap, dan rinci Kompas tentang perjokian itu tidak semua bisa kita pahami, mungkin juga kurang relevan untuk kita. Namun, investigasi Kompas itu pesannya jelas walaupun mengecilkan hati, ”Kecurangan akademik seolah menjadi budaya” (”Fenomena Buruk yang Diabaikan”, Kompas, 11/2/2023, hal 2).
Keprihatinan kita terhadap fenomena perjokian karya ilmiah ini kian mendalam setelah sebelumnya membaca tulisan Sukidi ”Soekarno-Hatta dan Indonesia Hari Ini” (Kompas, 9/2/2023, hal 1).
Sukidi mengisahkan bagaimana proklamator negeri ini mewariskan impian Indonesia Raya yang menuntut kesadaran penuh bahwa penentu kemajuan negeri ini terletak pada investasi modal manusia. Fokusnya pada pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Guru adalah komponen utama mewujudkan impian para pendiri negeri.
Masalah pendidikan tentu melibatkan berbagai faktor, tetapi peran guru tidak tergantikan. Tepat kesimpulan Tajuk Rencana Kompas ”Guru, Bisa Digugu dan Ditiru” (11/2/2023), ”Guru adalah mata air tempat warga menemukan inspirasi kebaikan dalam hidup.”
Kita tidak rela generasi muda bangsa ini diajar guru yang tidak bisa dipercaya dan diteladani.
Eduard LukmanJl Warga RT 014 RW 003, Pejaten Barat, Jakarta 12510
Darurat Pendidikan

Ilustrasi
Membaca laporan hasil investigasi perjokian karya ilmiah para calon guru besar (Kompas, 10/2/2023) membuat saya terenyuh dan malu.
Serendah itukah pengajar mahasiswa? Orang yang dianggap terpandang dan teruji keilmuannya?
Sungguh menyedihkan melihat yang terlibat dari mahasiswa, dosen, calon guru besar, hingga petinggi kampus.
Belum terlupakan beberapa kasus korupsi di perguruan tinggi yang melibatkan beberapa dosen dan petinggi kampus, sekarang muncul praktik perjokian dunia akademik.
Praktik perjokian merambah, mulai dari pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar. Banyak sekali iklan di situs internet yang terang-terangan menawarkan jasa pembuatan karya ilmiah.
Pembuatan karya ilmiah biasanya dilakukan secara plagiasi dari internet. Cukup dengan copy-paste jadilah karya ilmiah secara instan.
Menghadapi kasus perjokian dan plagiasi, para dosen pembimbing bisa mencegahnya. Pertama, mengoreksi tulisan yang dicetak saat bimbingan skripsi, tesis, atau disertasi. Dari hasil cetakan, dosen pembimbing bisa mengecek jenis dan ukuran huruf serta kerapian tulisan. Kalau mencurigakan karena beragam, bisa dicek lebih lanjut.
Kedua, mengecek tulisan di aplikasi yang bisa digunakan untuk mengecek plagiarisme.
Ketiga, menanyakan tentang isi tulisan dan meminta mahasiswa menjelaskan apa yang dia tulis. Jika mereka tidak bisa menjawab, perlu ditindaklanjuti.
Rusdi NgarpanJl Nusa Indah, Magersari, Rembang 59214