Putusan Hakim di Antara Keadilan Hukum dan Keadilan Sosial
Situasi saat ini mempertontonkan betapa besar ujian terhadap penegakan hukum di pengadilan. Hakim kerap menjadi sorotan. Negara perlu beri perhatian besar dan segera atas berbagai putusan hakim yang tidak berkeadilan.
Hukum sebagai teks undang-undang seperti benda mati dan diam, berisi norma-norma ideal dan cita-cita bersama, bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan dan keserakahan, mengatur yang boleh dan tidak boleh.
Teks hukum belumlah menjadi hukum yang hidup, selalu saja ada orang yang melanggar hukum. Ada jurang antara teks hukum sebagai cita-cita dan praktik hukum.
Lalu, kapankah teks hukum bertransformasi jadi hukum yang hidup? Jika tindak pelanggaran terhadap norma hukum diajukan ke pengadilan, dan ketika sudah ada putusan hakim, maka itulah hukum yang hidup, sebagai hasil ujian terhadap kasus sengketa. Putusan hakim dalam kasus pembunuhan Yosua dalam analisis antropologi hukum sangat menjelaskan kedudukannya sebagai hukum yang hidup yang harus ditaati para pihak.
Hukum memang bersemai dalam konflik dan sengketa sehingga cara paling tepat menemukan hukum yang hidup adalah melalui metode kasus sengketa. Di ruang pengadilan, teks atau pasal hukum diperdebatkan dan diuji secara mendasar. Putusan hakim bisa berbeda dengan teks hukum karena terkuaknya fakta hukum baru yang tersembunyi sebelumnya. Konteks sosial, politik, budaya, ekonomi sangat bisa terhubung dengan terjadinya suatu kasus sengketa.
Baca juga : Martabat Hakim dan Integritas Putusan
Masalah kita
Situasi Indonesia saat ini mempertontonkan betapa besar ujian terhadap praktik penegakan hukum di pengadilan.
Di antaranya, dibebaskannya pelaku skandal penipuan dana masyarakat (kasus Indosurya), penghukuman ringan terhadap koruptor termasuk yang dilakukan aparat penegak hukum, dan korban kekerasan seksual justru dijatuhi pidana. Padahal, sebenarnya putusan hakim memiliki kedudukan penting dalam memulihkan keadilan bagi yang haknya terlanggar, terang cahaya dalam kebuntuan hukum, sekaligus penanda jalannya reformasi hukum Indonesia.
Dalam teori hukum kritis, hukum adalah pedang bermata dua, bisa ditafsir untuk kepentingan kekuasaan pihak tertentu. Sejak dari proses perumusan dan penerapannya melalui putusan hakim, hukum bisa dijadikan alat untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan.
Dengan kekuasaannya, orang bisa memiliki monopoli interpretasi terhadap hukum. Mereka bisa menentukan siapa orang baik dan siapa kriminal, apakah suatu perbuatan adalah pelanggaran hukum atau bukan demi menjaga kelangsungan status quo kekuasaan. Kebaikan dengan kejahatan bisa ditukar, kemudian ditebar kesadaran palsu untuk memperoleh legitimasi publik.
Putusan pengadilan terutama di tingkat banding dan kasasi yang dihasilkan dari sistem yang tak transparan dan akuntabel direspons oleh publik dengan caranya sendiri. Terdapat Putusan Mahkamah Agung (MA) No 16P/HUM/2006 dan No 26P/HUM/2007 yang menolak permohonan peninjauan kembali masyarakat sipil terhadap peraturan daerah (perda) Bantul dan Tangerang yang berdampak diskriminatif pada perempuan.
Argumentasinya sangat prosedural, tak ada alasan substantif, misalnya peninjauan dilakukan melebihi 180 hari sesudah dikeluarkannya perda. Demikian pula, ada Putusan MA No 17P/ HUM/2021 yang menggugurkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2021 yang melarang pemaksaan seragam dan simbol agama pada murid sekolah. Padahal, SKB ini sudah lama ditunggu masyarakat karena dampak merugikan pada anak sekolah dan keluarganya (Human Rights Watch, 2021).
Terhadap kedua putusan MA ini, Komnas Perempuan, tokoh masyarakat sipil, dan ahli hukum membuat eksaminasi publik yang bertujuan menolak dan memberi literasi hukum publik. Berdasarkan pengalaman itu, gerakan masyarakat sipil menginginkan proses persidangan di tingkat banding yang transparan dan bisa diawasi publik, yang sangat dimungkinkan oleh digitalisasi persidangan saat ini.
Berdasarkan pengalaman itu, gerakan masyarakat sipil menginginkan proses persidangan di tingkat banding yang transparan dan bisa diawasi publik, yang sangat dimungkinkan oleh digitalisasi persidangan saat ini.
Atas nama hukum, obyektivitas, dan netralitas, semua putusan hakim itu tampak benar dan sah. Namun, kebenaran itu sesungguhnya barulah sebatas kebenaran teknis dan prosedural, bukan kebenaran substansial. Keadilan hukum sering tak identik dengan keadilan substansial, bahkan sering bertentangan.
Kebenaran hukum berdasar tafsir para perumus dan otoritas hukum juga bisa bertentangan dengan akal sehat, kepentingan publik, bahkan kepentingan kemanusiaan. Seharusnya putusan hakim MA atau pengadilan di kota besar lebih berkesempatan bernilai landmark dibandingkan dengan putusan pengadilan daerah dan wilayah terpencil di luar Jawa yang hakimnya menghadapi berbagai kesulitan.
Corong undang-undang?
Kita sering berpikir bahwa akar hukum kita sama dengan hukum Belanda karena sejarah kolonial, satu-satunya sumber hukum adalah kodifikasi UU. Padahal, di negeri Belanda sendiri sudah lama dianut bahwa sumber hukum bukan hanya kodifikasi UU, melainkan juga putusan hakim. Tentulah putusan hakim yang bernilai landmark berisi terobosan hukum, terang cahaya bagi pencari keadilan. Berbagai program dibuat oleh MA Belanda agar putusan hakim di 12 provinsi memiliki kepastian hukum karena kualitasnya. Kedudukan putusan hakim sangat penting sehingga juga disebut secondary legislature.
Ilustrasi
Umumnya hakim kita masih menempatkan diri sebagai corong UU (penelitian Komisi Yudisial di 16 kota, 2017). Juga menjadi kelaziman jaksa dan polisi seolah menjadikan hukum pidana dan hukum acaranya seperti ”kitab suci”, sulit melihat perkembangan hukum baru, termasuk perkembangan dan praktik hukum internasional. Tidak banyak UU hasil ratifikasi hukum internasional digunakan dalam menangani perkara, terutama kejahatan kemanusiaan.
Tentulah pembuktian pidana harus dilakukan secara akurat dan persis karena tak boleh salah dalam menghukum orang. Namun, untuk dapat memberi keadilan dengan cara berpikir legistis semacam itu tidak cukup. Penegak hukum, terutama hakim, harus melihat suatu kasus dengan ”mata elang”.
Perkembangan hukum selalu tak bisa mengejar perkembangan masyarakat yang begitu cepat di era digital. Masyarakat berubah, tuntutan keadilan juga berubah, terutama sejak reformasi 1998. Lagi pula, kita terhubung sebagai masyarakat internasional, lewat prinsip dan standar HAM, hasil ratifikasi hukum internasional ke dalam hukum nasional.
Kebutuhan pembaruan hukum diteriakkan secara luas melalui keberadaan Eliezer sebagai justice collaborator dalam kasus pembunuhan Yosua. Terdapat kalangan yang menyatakan diri sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae), mendukung hakim untuk merumuskan putusan yang berkeadilan.
Praktik hukum internasional semacam ini tak bisa ditolak oleh sistem hukum Indonesia karena isu kemanusiaan dan keadilan menjadi nilai yang dihormati secara global. Pandangan untuk bertahan sebagai corong UU yang usang tidak bisa lagi memberi keadilan, apa pun sistem hukumnya (Barak, 2015).
Praktik hukum internasional semacam ini tak bisa ditolak oleh sistem hukum Indonesia karena isu kemanusiaan dan keadilan menjadi nilai yang dihormati secara global.
Defisit hakim
Putusan hakim dalam kasus Yosua dirayakan bak kemenangan gerakan masyarakat sipil. Sudah lama publik menantikan putusan hakim yang berhasil mengharmonisasi keadilan hukum dan keadilan substantif. Barangkali ada banyak putusan hakim tingkat pertama lain atau tingkat banding dan kasasi yang juga baik, tetapi tidak diketahui publik.
Namun, terdapatnya berbagai putusan hakim yang dianggap tidak berkeadilan, kesalahannya tak sepenuhnya dapat ditimpakan kepada hakim. Di samping terdapat problem yuridis terkait independensi hakim, saat ini kita kekurangan ribuan hakim (Komisi Yudisial, 2021). Penyebabnya, pemerintah pernah mengadakan moratorium tidak merekrut hakim selama 5-7 tahun akibat konflik kewenangan antara MA dan Komisi Yudisial terkait otoritas seleksi hakim.
Jika keadaan ini tidak diberi perhatian besar dan segera, defisit hakim tak hanya berupa kuantitas, tetapi juga kualitas putusan dipertaruhkan. Sungguhpun kekurangan hakim, mekanisme penerimaan hakim yang berbasis kompetensi, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan karakter integritas, harus menjadi keutamaan. Jangan ada lagi korupsi dan nepotisme dalam perekrutan, promosi, dan mutasi hakim. Keterbukaan dan akuntabilitas dunia peradilan sudah jadi perhatian publik yang luas saat ini.
Sulistyowati Irianto,Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum UI