Jabatan profesor kehormatan bagi seseorang yang bukan berlatar belakang akademik atau aktivitasnya tidak relevan dengan pekerjaan profesor adalah kekeliruan terminologis.
Oleh
ALBINER SIAGIAN
·3 menit baca
Baru-baru ini, surat dari 355 dosen Universitas Gadjah Mada perihal penganugerahan profesor kehormatan yang ditujukan kepada Rektor UGM beredar di media sosial. Selain kepada rektor, surat pernyataan sikap itu juga dialamatkan kepada ketua, sekretaris, dan ketua komisi, dan anggota Senat Akademik UGM.
Salah satu butir pernyataan itu menyatakan bahwa gelar profesor kehormatan seharusnya diberikan kepada seseorang yang telah mendapatkan jabatan akademik profesor. Karena itu, mereka menolak usulan pemberian jabatan akademik guru besar kepada individu-individu dari sektor non-akademik, termasuk pejabat pemerintah.
Kelaziman yang berlaku di kalangan perguruan tinggi adalah profesor kehormatan dianugerahkan kepada seseorang yang telah menyandang jabatan akademik profesor. Sebagai contoh, dalam laman resminya, Institut Teknologi Bandung (ITB) memuat daftar tujuh profesor kehormatannya. Mereka antara lain Prof Finn Erling Kydland, Prof Eiichiro Fukusaki, dan Prof Johan Woltjer.
Mereka adalah profesor di kampus masing-masing. Prof Finn Erling Kydland adalah profesor bidang ekonomi di Universitas California Santa Barbara dan di Tepper School of Business Carnegie Mellon University. Prof Eiichiro Fukusaki adalah Kepala Laboratorium Metabolomik Universitas Osaka, Jepang. Kemudian, Johan Woltjer adalah profesor infrastruktur perkotaan di University of Westminster, Inggris. Selain di ITB, dia juga adalah profesor kehormatan di Universitas Groningen, Belanda.
Mereka sudah malang melintang dalam dunia pengajaran dan penelitian. Keahlian yang luar biasa di bidang masing-masing ”menggoda” ITB untuk mendaulatnya menjadi profesor kehormatan. Tujuannya adalah agar ITB kebagian ilmunya. Imbalannya adalah anugerah hormat.
Keahlian yang luar biasa di bidang masing-masing ’menggoda’ ITB untuk mendaulatnya menjadi profesor kehormatan.
Lazimnya, seseorang yang diberi jabatan profesor kehormatan diharapkan, misalnya, untuk mengembangkan laboratorium atau memimpin proyek penelitian yang sesuai dengan keahliannya di universitas atau perguruan tinggi pemberi jabatan profesor kehormatan itu. Di situ dia akan membimbing calon magister atau doktor yang kemudian diproyeksikan mengelola laboratorium itu.
Setelah itu, dia akan kembali ke kampusnya. Dengan sendirinya, jabatan profesor kehormatannya pun berakhir. Artinya, tidak ada lagi kewajiban perguruan tinggi pemberi profesor kehormatan, misalnya pemberian gaji, kepadanya.
Menurut pemahaman saya, jabatan profesor kehormatan bagi seseorang yang bukan berlatar belakang akademik atau aktivitasnya tidak relevan dengan pekerjaan seorang profesor adalah kekeliruan terminologis. Saya menyebutnya sebagai fallacio in terminis. Ini adalah penyebutan istilah yang keliru oleh pemberi kehormatan, tetapi sensasi hormatnya dirasakan oleh pihak yang dianugerahi kehormatan itu dengan penuh gairah (fallacio: fallacy + fellatio).
Dasar hukum bagi penganugerahan profesor kehormatan adalah Permenristekdikti Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Keputusan MA Nomor 46/P/HUM/2022 mengukuhkan keberlakuan peraturan menteri itu dengan menegaskan bahwa hanya perguruan tinggi yang berakreditasi A (unggul) yang boleh mengangkat profesor kehormatan.
Persyaratan bagi pengangkatan jabatan profesor kehormatan pada permenristekdikti itu antara lain memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa (butir c) dan memiliki pengalaman yang relevan dan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional (butir d).
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan profesor sebagai pangkat dosen tertinggi di perguruan tinggi, guru besar, atau mahaguru. Oleh karena itu, apa pun embel-embel di belakangnya, terma profesor, termasuk pada profesor kehormatan itu, haruslah merujuk pada aktivitas di perguruan tinggi sebagai pengajar dan peneliti.
Atas dasar pengalaman mengajar dan meneliti itulah seseorang (dosen) berkesempatan diangkat menjadi profesor atau guru besar atau mahaguru. Adalah aneh menjuluki seseorang guru besar, padahal dia tak punya pengalaman mengajar.
Sekali lagi, profesor kehormatan layaknya dianugerahkan kepada seseorang yang memiliki pengalaman panjang dalam pengajaran dan penelitian dan sudah berjabatan profesor. Itulah profesor (baca: guru besar) yang terhormat.
Memang, The Academic Union, asosiasi akademik internasional dari 350 pemimpin universitas, ilmuwan, dan peneliti, membolehkan pemberian ”gelar” profesor, antara lain kepada pejabat publik dan pemimpin perusahaan atau organisasi inovatif. Gelar tersebut diberikan untuk jasa khusus dalam integrasi penelitian dan pengembangan, implementasi inovasi ke dalam proses bisnis, atau memfasilitasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Akan tetapi, kandidat penerima gelar profesor kehormatan adalah seseorang yang terlibat dalam aktivitas yang relevan dengan pekerjaan profesor/guru besar, seperti penemuan teori baru atau pengembangan teori yang sudah ada dalam sains, teknologi, dan ekonomi; publikasi monografi, buku teks, dan bahan pembelajaran; partisipasi dalam konferensi ilmiah regional dan internasional, simposium, dan acara ilmiah resmi lainnya; dan reputasi yang luas dan dalam penelitian dan/atau perusahaan.
Kalaulah maksud Permenristekdikti Nomor 38 Tahun 2021 itu agar perguruan tinggi mendapatkan kontribusi dari para praktisi ahli atau yang memiliki kompetensi seperti diatur pada Pasal 3 itu, hal itu haruslah dilakukan dengan memperhatikan secara saksama track record calon penerima jabatan profesor kehormatan yang seyogianya relevan atau bersangkut paut langsung dengan pekerjaan seorang profesor. Atau, itu cukup dilakukan dengan menganugerahkan gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa. Kalau tidak, itu hanyalah tindakan yang fallacio in terminis.
Albiner Siagian, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU; Anggota Komisi Dewan Guru Besar USU untuk Pengangkatan Guru Besar dan Doktor Kehormatan; Rektor Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung