Indonesia dan Pemahaman tentang Pasifik
Pernyataan pers tahunan Menlu Retno Marsudi menyatakan Indonesia bagian dari bangsa Pasifik. Pemerintah RI ingin meningkatkan perannya di kawasan Pasifik. Namun, seberapa jauh kita menempatkan Pasifik di Indonesia?
”Indonesia sebagai bagian dari bangsa Pasifik”. Begitulah pernyataan pers tahunan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Istana Negara, pertengahan Januari lalu.
Pernyataan ini serupa dengan pernyataan mantan Duta Besar RI di Selandia Baru di 2021: ”Kita adalah ras Pasifik terbesar (we are the biggest Pacific race)”.
Namun, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pernyataan Menlu terkait Pasifik tahun ini lebih memiliki fokus dan nuansa dengan menekankan keterlibatan langsung Indonesia dengan negara-negara Pasifik di dua forum, yakni Archipelagic and Island States Forum dan Indonesia-Pacific Development Forum.
Sejumlah bantuan pembangunan juga disebutkan, seperti lapangan futsal di Kepulauan Solomon dan Regional Agriculture Training Center di Fiji. Ditambah lagi, ada dua kunjungan Menlu ke Fiji dan Kepulauan Solomon pada September 2022. Pernyataan ini menjadi penting di tengah upaya Pemerintah RI meningkatkan peranannya di kawasan Pasifik.
Sekalipun demikian, pertanyaan utama yang diajukan adalah seberapa jauh kita, yang selama ini mengidentifikasi sebagai bangsa Asia, menempatkan dan memahami Pasifik di Indonesia? Sejauh mana kita memahami Pasifik menentukan seberapa kuat klaim di atas dalam interaksi regional kita di kawasan tersebut.
Baca juga : Modalitas Indonesia Kuat untuk Kelola Isu Kawasan
Literasi Pasifik
Katerina Teaiwa, pengajar terbaik di Australia tahun 2021 asal Fiji, menyoroti bahwa pemahaman tentang Pasifik masih direproduksi melalui visi kolonialiasme pembangunan.
Pasifik masih dilihat sebagai ”surga” yang berada dalam berbagai persoalan (paradise in crisis) dan membutuhkan bantuan yang berdampak pada ketergantungan kawasan ini terhadap donatur-donatur internasional dalam jangka panjang. Menurut dia, cara pandang ini harus diganti menjadi solidaritas kawasan (solidarity in paradise) untuk menekankan Pasifik sebagai mitra sejajar dengan berbagai nilai dan kepentingan yang harus dihargai pula.
Senada dengan Teaiwa, Greg Fry dalam bukunya, New Pacific Diplomacy (2019), menekankan peran negara-negara kepulauan Pasifik yang tidak lagi menjadi ”korban” dalam persaingan kekuatan global dan regional, tetapi aktor kunci melalui solidaritas bersama untuk menentukan agenda-agenda regional yang krusial di pentas global.
Ide dan kepentingan Pasifik berdasarkan semangat konsensus, inklusivitas, dan saling menghormati (Pacific Way) harus terlihat melalui keberadaan negara-negara itu dalam kontestasi global dan dalam forum regional dan internasional.
Hal ini, misalnya, terlihat dari pernyataan Perdana Menteri Papua Niugini (PNG) James Marape pada Desember 2022 yang menolak keterlibatan PNG dalam kompetisi negara-negara besar di kawasan tersebut, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan China. Marape mengisyaratkan kebebasan negara-negara Pasifik untuk berinteraksi dengan banyak negara tanpa perlu dipengaruhi oleh dominasi dan kepentingan negara-negara tertentu.
Dengan pandangan berbasis solidaritas, para pemimpin di luar wilayah Pasifik tidak akan mengalami kebingungan dalam memproyeksikan kebijakan dan hubungan dengan berbagai aktor di wilayah tersebut. Namun, selama dua dekade terakhir, Pasifik belum menjadi diskursus penting baik dalam pembuatan kebijakan maupun kajian keilmuan di Tanah Air.
Sangat minimnya lembaga kajian Pasifik dan keahlian terkait Pasifik di antara para ilmuwan Indonesia berdampak pada terbatasnya pemahaman dan pembicaraan terkait situasi di Pasifik dan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat Pasifik.
Pusat Studi Indo-Pasifik Universitas Cenderawasih, Jayapura, yang dibentuk di tahun 2021 juga belum memiliki pola kajian komprehensif terkait Pasifik. Minimnya pemahaman Pasifik juga berdampak pada kebijakan luar negeri Indonesia di wilayah tersebut.
Sejauh ini, kebijakan yang dilakukan Pemerintah Indonesia tidak didasarkan pada kajian strategis yang mendalam terkait peranan dan dampak kehadiran Indonesia di Pasifik, selain pada jargon-jargon Pasifik, internasionalisasi masalah Papua, bantuan pembangunan yang terbatas, dan perdagangan di wilayah tersebut.
Universitas-universitas di Indonesia seharusnya memiliki perhatian khusus terhadap dinamika regional di Pasifik. Selain pada isu geopolitik terkait kompetisi negara-negara besar yang akan berpengaruh terhadap stabilitas kawasan baik Pasifik maupun Asia Tenggara, isu-isu strategis lain, seperti perubahan dan pendanaan lingkungan, masyarakat adat, pelestarian ekosistem maritim, dan juga potensi pariwisata, seharusnya menjadi perhatian di tingkat pendidikan tinggi.
Universitas-universitas di Indonesia seharusnya memiliki perhatian khusus terhadap dinamika regional di Pasifik.
Sebagai sesama wilayah maritim, isu-isu ini sangat relevan dengan berbagai kajian yang dilakukan sejumlah universitas di Indonesia. Perhatian terhadap isu-isu tersebut hilang dalam diskursus akademik, baik dalam produk ilmiah maupun produk populer di media massa dan digital. Berbeda dengan kajian ASEAN, Afrika, dan Uni Eropa, kajian terkait Pasifik hampir tak pernah muncul dalam bahan-bahan pengajaran di universitas-universitas di Indonesia.
Hal lain terlihat dari sangat terbatasnya buku-buku terkait Pasifik yang tersedia di perpustakaan besar di negara ini.
Setali tiga uang, para ilmuwan Indonesia juga memiliki keterbatasan terkait wilayah dan masyarakat Pasifik, meski sebagian mereka pernah mengenyam pendidikan di Australia dan Selandia Baru, dua negara pusat kajian Pasifik terkemuka di dunia selain Hawaii dan Fiji.
Minimnya pengajaran, kajian, dan keahlian terkait Pasifik mempertegas retorika sebagai bagian dari bangsa Pasifik, tetapi tak memiliki literasi Pasifik memadai. Para pemangku kepentingan lain, seperti diplomat dan wartawan, juga perlu meningkatkan lagi diskursus terkait Pasifik. Pemahaman tentang kawasan dan masyarakat Pasifik masih berfokus pada interaksi formal dan minim interaksi informal.
Sebagai kawasan maritim dengan nilai kultural begitu tinggi, masyarakat Pasifik membangun komunikasi berdasarkan interaksi sosial dan kultural. Ini terlihat dari pengaruh aktor-aktor non-negara yang banyak terlibat dalam advokasi lingkungan, dampak nuklir, ketahanan ekosistem maritim, ataupun perlindungan kelompok masyarakat rentan di Pasifik.
Layaknya keterlibatan aktif dengan aktor-aktor non-negara di ASEAN, para diplomat RI perlu melakukan upaya serupa dengan kelompok masyarakat sipil yang cukup berpengaruh di Pasifik, seperti Pacific Network on Globalisation (PANG), Pacific Islands Association of Non-Governmental Organisations (PIANGO), Pacific Regional NGOs (PRNGO), dan Pacific Women’s Network Against Violence Against Women.
Interaksi informal dengan kelompok-kelompok tersebut tanpa apriori tertentu akan membantu memahami sejauh mana peran dan keterlibatan Indonesia berdampak pada kawasan dan masyarakat Pasifik.
Keterlibatan media juga menjadi penting dalam membangun diskursus Pasifik. Sejauh ini, pemberitaan Pasifik juga masih terbatas pada isu Papua, geopolitik, dan bencana alam. Hanya segelintir media, seperti tabloid Jubi di Papua, yang secara konsisten dan khusus menyediakan rubrik Pasifik untuk memberitakan dinamika sosial, politik, budaya, ekonomi, dan keamanan di kawasan itu.
Hal ini menunjukkan kurangnya minat masyarakat Indonesia secara umum untuk mengetahui perkembangan kawasan Pasifik yang secara geografi sangat dekat dengan Indonesia.
Klaim dan diskontinuitas
Dalam dua dekade terakhir, pernyataan sebagai bagian dari bangsa Pasifik masih bermasalah akibat klaim lemah terkait komposisi demografi Melanesia di wilayah Indonesia dan ketidakberlanjutan peranan Indonesia di Pasifik. Dalam riset kami (Wangge & Lawson, 2023), klaim 11 juta penduduk Melanesia yang mewakili kedekatan Indonesia dengan Pasifik perlu dipertanyakan.
Jumlah itu menggabungkan orang asli Papua (OAP), Maluku, dan NTT dengan pendatang yang cukup lama berdomisili di tiga wilayah itu. Dari tiga wilayah tersebut, hanya OAP yang sedari awal mengidentifikasikan dan mempraktikkan budaya dan identitas Pasifik. Ikatan kultural, historis, dan emosional juga menjadi dasar solidaritas dan simpati masyarakat Pasifik secara khusus terhadap kondisi di Papua. Sementara Maluku dan NTT bertumbuh dalam pengaruh budaya Melayu yang cukup kuat.
Dalam dua dekade terakhir, pernyataan sebagai bagian dari bangsa Pasifik masih bermasalah akibat klaim lemah terkait komposisi demografi Melanesia di wilayah Indonesia dan ketidakberlanjutan peranan Indonesia di Pasifik.
Hal lain yang membatasi proyeksi kepentingan Indonesia terkait Pasifik sejauh ini adalah diskontinuitas dalam membangun interaksi di kawasan Pasifik. Pada awal tahun 2000-an, Indonesia menginisiasi Forum Kerja Sama Selatan-Selatan yang akhirnya tidak berjalan. Festival Kultural Melanesia Indonesia (Melindo) tahun 2015 dan Forum Indonesia Pacific Parliamentary Partnership tahun 2018 adalah contoh lain dari inisiatif Indonesia yang tidak berkelanjutan.
Inisiatif-inisiatif itu awalnya merupakan upaya Indonesia memahami dan terlibat dalam dinamika regional di Pasifik. Namun, terbatasnya minat, komitmen, dan koordinasi di antara sejumlah pemangku kepentingan berakibat pada hilangnya momentum untuk meningkatkan peran serta dan kehadiran Indonesia di kawasan itu.
Patut ditunggu keberlanjutan inisiatif perdana Indonesia-Pacific Development Forum yang baru diluncurkan awal Desember 2022 dan proyeksi ASEAN Outlook on the Indo Pacific di Pasifik, di bawah keketuaan Indonesia tahun 2023.
Signifikansi Papua
Peranan Indonesia di wilayah Pasifik harus diakui cukup terlambat dibandingkan keterlibatan negara kita di wilayah Timur Tengah dan Afrika.
Keterlibatan Indonesia di Pasifik meningkat seiring dengan menguatnya dukungan negara-negara Pasifik terhadap persoalan hak asasi dan politik di Papua. Terutama, setelah diakuinya United Liberation Front for West Papua (ULMWP) sebagai peninjau (observer) dan Indonesia sebagai anggota asosiasi (associate member) di forum Melanesian Spearhead Group pada 2015.
Sejumlah kebijakan mulai ditingkatkan, seperti dibentuknya festival kultural Melindo, program Pacific Exposition, hingga Indonesian Aid dengan memprioritaskan negara-negara Pasifik sebagai penerima bantuan dana pembangunan.
Di pihak lain, salah satu perhatian utama negara-negara di Pasifik, khususnya melalui Pacific Island Forum (PIF), adalah keterbukaan Pemerintah RI untuk menerima kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua. Sama seperti sejumlah persoalan HAM di Myanmar dan Palestina, permasalahan Papua tak lagi jadi ”ranah domestik” wilayah Indonesia, tetapi sudah menjadi perhatian utama global, termasuk Pasifik.
Sama seperti sejumlah persoalan HAM di Myanmar dan Palestina, permasalahan Papua tak lagi jadi ’ranah domestik’ wilayah Indonesia, tetapi sudah menjadi perhatian utama global, termasuk Pasifik.
Resistensi Indonesia untuk merespons positif permintaan PIF terkait kehadiran Komisi Tinggi HAM PBB justru akan semakin mempertebal tembok pemisah pemahaman kita dengan keprihatinan masyarakat Pasifik dan penolakan komunitas Pasifik terhadap klaim Indonesia sebagai bagian dari keluarga Pasifik.
Memahami wilayah Pasifik harus didukung dengan kemampuan literasi Pasifik yang baik, bukan hanya untuk memproyeksikan kebijakan luar negeri dan keberadaan sejumlah penduduk yang memiliki kedekatan kultural dan ras. Perlu kesadaran kolektif bahwa Pasifik adalah wilayah strategis yang memiliki persoalan-persoalan sama sebagai kawasan negara kepulauan dan berkembang.
Hipolitus Wangge, Peneliti Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT