Bahkan, dalam konteks non keagamaan pun, kepemimpinan perempuan masih menjadi sebuah tantangan. Resistensi terhadap gerakan perempuan juga ditengarai mulai bermunculan di beberapa negara.
Oleh
Alissa Wahid
·4 menit baca
Pikniknya kurang jauh, demikian ungkapan yang sekarang sering muncul di media sosial. Kalimat ini ditujukan untuk mengomentari individu yang berpikir sempit, terutama terhadap kelompok yang berbeda. Guyonan ini menekankan bahwa kurang piknik menyebabkan kita kurang bergaul dan kurang pengalaman berinteraksi dengan kultur yang beragam, lalu berujung pada pikiran hitam putih us versus them (kita lawan mereka).
Akhir Januari 2023, saya beruntung mendapat kesempatan piknik yang cukup jauh. Di Vatikan, saya berjumpa dengan sekitar 30 pakar perempuan dari berbagai agama di dunia. Kami berkumpul atas undangan Dicastery for Interreligious Dialogue dan World Union of Catholic Women’s Organisations. Acaranya bertajuk ”Women Building a Culture of Encounter Interreligiously: an International Conference to Share, Listen, and Network”.
Selain agama-agama besar dunia, seperti Katolik, Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Yahudi, acara ini juga menghadirkan agama Tao, Jain, Zoroastrian, Shinto, Shikh, dan lain-lainnya. Bahkan, agama adat, seperti African Traditional Religion, pun ikut berbagi.
Sesuai tajuk acaranya, para peserta berbagi pandangan keagamaan dan pengalaman membangun kerja-kerja lintas iman di tempatnya masing-masing. Diskusi pun mengalir tentang perjumpaan lintas iman, tentang perempuan dalam agama-agama, dan tentang kepemimpinan perempuan secara umum. Tiga tema yang masing-masing penting dan berat, tetapi kali ini disatukan dalam satu pembahasan.
Di satu sisi, kita sering kali menganggap perjumpaan lintas iman sebagai sesuatu yang lumrah saat ini. Migrasi dan mobilitas membuat masyarakat semakin beragam, baik dari perdesaan menuju perkotaan maupun antarnegara. Karena itu, perjumpaan lintas iman hampir tidak bisa dihindari.
Namun, di sisi yang lain, kita melihat tren meningkatnya cara pandang keagamaan yang eksklusivistik. Apalagi ketika agama berkelindan dengan kekuasaan, maka eksklusivisme beragama bertemu mayoritarianisme (populisme) berbasis agama akan berujung pada diskriminasi dan intoleransi kepada kelompok minoritas, atau bahkan ekstremisme dengan kekerasan atas nama agama.
Mobilitas yang mendorong keberagaman masyarakat justru berdampak meningkatnya rasa tidak aman akan masa depan (pengikut) agama mayoritas setempat. Globalisasi dianggap memicu sikap defensif dan dorongan kembali pada keberagaman yang puritan.
Gus Dur pun membahas hal ini dalam tulisannya terkait Romo YB Mangunwijaya. Menurut dia, toleransi di Indonesia masih didominasi oleh toleransi permukaan, di mana orang menolerir kehadiran kelompok lain tanpa sungguh-sungguh ingin membangun hidup bersama.
Maka, budaya perjumpaan lintas iman untuk mendalami kehidupan bersama menjadi sebuah agenda penting yang perlu ditumbuhkan secara sengaja menjadi koeksistensi sejati, bukan hanya sekadar koeksistensi dangkal. Ibaratnya, bukan sekadar hidup bertetangga, melainkan perlu rukun tetangga.
Paus Fransiskus menekankan hal ini dalam konsep Fratelli Tutti yang disampaikan dalam Ensiklik Kepausan tahun 2020. Paus Fransiskus memandang bahwa dialog lintas iman tidak hanya sekadar mendiskusikan pemahaman keagamaan dan kebenaran sejati, tetapi justru perlu berakar pada perjumpaan para pemeluk agama-agama untuk membangun peradaban dan kemanusiaan.
Bagi Paus Fransiskus, budaya perjumpaan akan menjadi penyeimbang bagi kultur keacuhan (culture of indifference) yang saat ini makin menebal. Selaras pandangan Robert Putnam, watak egosentris yang semakin berkembang seiring meningkatnya individualisme membuat komunitas menjadi lebih rentan konflik karena menipisnya generalized reciprocity (kesalingan yang berlaku umum).
Konferensi ini juga membahas topik penting dan sensitif seputar perempuan dalam agama. Walaupun belum dapat mendobrak dominasi laki-laki dalam kepemimpinan agama-agama dan bahkan kadangkali menimbulkan resistensi, kehadiran perempuan dalam organisasi-organisasi keagamaan terus meningkat. Suara, perspektif, dan pengalaman perempuan pun semakin mewarnai kehidupan keberagamaan, walaupun masih jauh dari ideal.
Dalam dokumen Persaudaraan Sekemanusiaan (Human Fraternity) yang diluncurkan oleh Paus Fransiskus dan Syekh Ahmed Thayyeb sang Imam Akbar Al-Azhar pada tahun 2019, peran dan kebutuhan perempuan ditekankan secara khusus, dengan semangat memerdekakan kaum perempuan dari pengondisian sosial dan historis yang berlawanan dengan prinsip dasar agama-agama dan martabat kemanusiaan.
Aspek lain yang juga cukup dominan dibahas dalam perjumpaan perempuan lintas iman di Vatikan ini adalah tentang kepemimpinan perempuan. Bahkan, dalam konteks non-keagamaan pun, kepemimpinan perempuan masih menjadi sebuah tantangan. Resistensi terhadap gerakan perempuan juga ditengarai mulai bermunculan di beberapa negara, bahkan menjadi sentimen dalam kontestasi kekuasaan. Stigma tentang perempuan sebagai pemimpin terus dikumandangkan untuk kepentingan politik.
Ini tidak terlepas dari meningkatnya ultrakonservatisme beragama. International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) menjabarkan salah satu indikator ekstremisme adalah perlakuan yang buruk kepada perempuan dan anak. Semakin tinggi skor ekstremisme, semakin besar kejahatan terhadap perempuan.
Maka, perjumpaan lintas iman menjadi krusial untuk saling bertukar pengalaman dan saling menguatkan perjuangan para pemimpin perempuan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Forum Pemimpin Perempuan seperti dalam konferensi ini akan menjadi piknik yang berdampak besar pada transformasi peradaban kita.
Puncak acara konferensi ini tentulah perjumpaan dengan Paus Fransiskus. Tokoh yang melahirkan dua pandangan yang menjadi salah satu panduan gerakan global: Fratelli Tutti dan Laudato Si. Dalam pidatonya, Paus menekankan bahwa upaya mewujudkan perdamaian harus semakin banyak melibatkan perempuan, karena perempuanlah yang memberkahi dunia dengan kasih sayang dan kehidupan: sejatinya, perempuan adalah jalan menuju perdamaian.