”Omnibus law” sektor keuangan memberikan status legal tender atas rupiah digital. Bentuk digital rupiah masuk dalam konstruksi mata uang. Yang perlu dipertimbangkan kemudian kesiapan penerima pembayaran rupiah digital.
Oleh
KRISTIANUS PRAMUDITO ISYUNANDA
·4 menit baca
Henry Dunning Macleod, ekonom yang juga berprofesi sebagai pengacara asal Skotlandia, memperkenalkan keunikan status kepemilikan atau properti dari uang pada tahun 1800-an.
Ia menyatakan, ”the property in money passes by delivery” (properti atas uang berpindah melalui perpindahan tangan). Mayoritas kita di masa ini menganggap currency sebagai suatu benda, yakni uang di dompet kita. Dari perspektif Macleod, currency dengan kata dasar current dalam etimologi Inggris kuno digunakan sebagai kata sifat, bukan kata benda.
Diskursus konsep hukum atas keberadaan uang masih kerap dipandang sebagai faktor minor dan terabaikan (taken for granted). Padahal, Robert Jackson Jr, seorang teknokrat otoritas pasar modal Amerika Serikat, pernah menyebut bahwa sistem uang negara adalah pilihan hukum (legal choice).
Ketika popularitas uang kripto dan permintaan transaksi digital meningkat, keberadaan central bank digital currency (CBDC) menjadi keniscayaan.
Mayoritas bank sentral di dunia mengantongi agenda pengeluaran CBDC. China tampak ambisius dengan proyek digital yuan (e-CNY) yang diuji coba di beberapa provinsi mulai September 2022. Majalah The Economist menyebut ada potensi percobaan e-CNY diperluas secara nasional tahun ini. Bank Indonesia pun telah meluncurkan pedoman kebijakan high-levelrupiah digital dalam Proyek Garuda.
Nomenklatur mata uang
Makna currency telah bergeser menjadi kata benda dan mengandung identitas kebangsaan dari uang. Currency pun dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai mata uang.
Macleod dalam bukunya, The Elements of Economics (1881), tegas keberatan dengan pergeseran makna itu, bahkan menyatakan bahwa menyebut uang sebagai currency adalah barbar. Baginya, yang benar adalah currency of money (sifat segera dari uang).
Denotasi currency versi Macleod bermakna bahwa pemegang awal kehilangan jus vindicandi (hak pengembalian) seketika uang berpindah tangan, baik karena dibelanjakan maupun ditemukan orang lain saat terjatuh di jalan. Dengan kata lain, pemegang yang baru memiliki currency secara seketika atau saat itu juga (current).
Dalam perkembangannya, konstruksi hukum sangat menentukan apakah suatu benda dapat disebut currency.
Rupanya, tak semua instrumen yang disebut punya sifat currency adalah uang. Para yuris common law Inggris di era 1700-an memberikan status currency bagi berbagai instrumen keuangan baru, seperti surat utang dan wesel. Menariknya lagi, tidak semua jenis uang dapat diberikan sifat itu sekalipun berlabel currency.
Sebut saja crypto currency (uang kripto) yang nilainya dapat berfluktuasi liar.
Menurut Undang-Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, mata uang Indonesia adalah rupiah. Pengertian itu memberikan label semantik ”mata uang” atau ”rupiah” murni sebagai benda. Ini sah saja.
Namun, dalam menggarap CBDC, kesadaran linguistik Macleod atas currency dapat memperkuat desainnya, misalnya dalam asesmen derajat verifikasi properti atas token CBDC retail. Konteks kebaruan tentunya diperlukan. Pada era Macleod belum dikenal catatan (ledger) dalam teknologi rantai blok (blockchain) yang dapat menyempurnakan dudukan kepemilikan dari currency.
Uang dan ”legal tender”
Omnibus law sektor keuangan memasukkan rupiah digital yang belum terakomodasi UU Mata Uang menjadi salah satu macam rupiah yang merupakan alat pembayaran yang sah.
Seperti rupiah kertas dan logam, BI menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang mengelola rupiah digital, termasuk penerbitannya. Terhadap ketiga macam rupiah itu, berlaku hukum legal tender, yaitu larangan menolak alat pembayaran yang sah.
Layaknya Macleod yang menggugat akurasi pemaknaan currency, JP Koning, blogger yang populer dengan blog Moneyness, bergabung dengan David Birch dalam mengkritisi penggunaan ceroboh label legal tender. Koning dan Birch sepakat bahwa penegakan hukum legal tender hanya berlaku bagi penyelesaian utang, bukan untuk transaksi sehari-hari.
Keduanya berpendapat hukum legal tender bertujuan melindungi debitor agar tidak diminta membayar utang dengan media langka sehingga dapat menyeret dirinya bangkrut. Di sisi kreditor, hukum legal tender melindungi agar debitor tak menyelesaikan utang dengan medium yang menyulitkan.
Koning memberi contoh hukum Kanada, di mana koin 5 sen adalah legal tender, tetapi hanya hingga jumlah akumulasi 5 dollar Kanada. Artinya, penggunaan koin 5 sen untuk pembayaran kewajiban di atas 5 dollar dapat ditolak karena akan menyulitkan penerima pembayaran.
Legal tender sering dimaknai dengan pengertian alat pembayaran yang sah menurut hukum. Implikasinya, menjadi haram di mata hukum menolak legal tender. UU Mata Uang mengatur hal serupa. Faktanya, banyak gerai yang hanya menerima pembayaran nontunai.
Dengan kata lain, gerai yang memberlakukan kebijakan itu menolak penggunaan rupiah kertas dan logam. Di era pengembangan ekonomi digital dan nontunai, kondisi tersebut seyogianya dipandang dapat diterima sepanjang denominasi pembayarannya tetap rupiah.
Denotasi legal tender versi Koning dan Birch pun dapat bermanfaat dalam menjamin koeksistensi rupiah digital dengan rupiah kertas dan logam, serta instrumen pembayaran berdenominasi rupiah, seperti uang elektronik. Tingkat kesiapan penerima pembayaran perlu dipertimbangkan dalam memaknai status legal tender rupiah digital.
Kita mengenal kategori uang kartal dan giral sejak di bangku sekolah. Tak sulit membedakan keduanya. Bicara legal tender, rupiah digital yang diterbitkan bank sentral condong bersifat kartal. Namun, kebaruan fitur teknologi yang melandasi desain rupiah digital bisa melahirkan kategori tersendiri, beririsan antara sifat kartal dan giral.
Omnibus law sektor keuangan memberikan status legal tender atas rupiah digital. Bentuk digital dari rupiah pun masuk dalam konstruksi mata uang. Ke depan, pemaknaan status currency dan legal tender dapat menentukan keluaran pilihan model rupiah digital, terutama bagi klasifikasi rupiah digital dengan kategori ritel.