
Elektabilitas partai politik peserta Pemilu 2024 masih dinamis. Sejumlah perubahan masih mungkin terjadi hingga digelarnya pemilu pada 14 Februari 2024.
Hasil survei Litbang Kompas 25 Januari-4 Februari menunjukkan,urutan pertama dan kedua partai politik (parpol) dengan elektabilitas tertinggi diisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Urutan ini sama dengan urutan dalam survei yang digelar Kompas pada Oktober 2022.
Namun, perubahan terjadi, misalnya Partai Golkar yang kini di urutan ketiga dengan 9 persen menggeser Partai Demokrat yang berada di urutan keempat (8,7 persen), meski perbedaan elektabilitas kedua partai hanya 0,3 persen atau di dalam margin of error 2,83 persen. Elektabilitas Partai Nasdem juga melonjak dari 4,3 persen menjadi 7,3 persen.
Baca juga: Survei "Kompas": Elektabilitas Golkar Lampaui Demokrat
Tingkat elektabilitas itu tentu masih mungkin berubah hingga saat pemilu digelar. Ada banyak faktor yang memengaruhinya, seperti strategi kampanye dan sosok di internal partai, hingga pasangan capres dan cawapres serta caleg yang diusung pada pemilu. Jika sistem proporsional terbuka tetap digunakan, peran caleg semakin penting karena ada pemilih yang cenderung memilih caleg dibandingkan parpol.
Perubahan juga masih terjadi saat suara yang diperoleh parpol dikonversi menjadi kursi di lembaga legislatif. Sebagai contoh, 17.594.839 suara sah Partai Gerindra pada Pemilu 2019 dikonversi menjadi 78 kursi DPR RI, sedangkan Golkar mendapat 85 kursi dengan 17.229.789 suara sah di pemilu.
Berbagai hal itu tentu sudah dihitung dan sejumlah strategi disiapkan oleh parpol serta para kandidat untuk menghadapinya di pemilu. Strategi yang dipilih parpol serta para kandidat akan turut menunjukkan orientasi mereka pada pemilu: apakah hanya mengejar kekuasaan atau ada hal lain yang diperjuangkan, seperti memperkuat bangunan demokrasi dan cita-cita bersama.
Strategi yang dipilih parpol serta para kandidat akan turut menunjukkan orientasi mereka pada pemilu.
Orientasi itu sudah akan terlihat, misalnya, saat perekrutan caleg. Apakah parpol melakukannya secara transparan dengan memakai ukuran integritas serta kapasitas, atau hanya menjadikan tingkat popularitas dan kemampuan finansial sebagai ukuran utama? Lalu, apakah penentuan bakal capres dan cawapres hanya dengan pertimbangan elektabilitas atau ada pertimbangan lain, seperti kesamaan visi yang dapat dilihat dari rekam jejak? Kemudian, apakah janji serta program kerja parpol atau kandidat itu masuk akal dan selama ini sudah mereka perjuangkan?
Keberadaan parpol merupakan keharusan dalam demokrasi dan demokrasi yang sehat juga mensyaratkan adanya parpol yang sehat. Waktu hingga satu tahun ke depan adalah saat yang berharga bagi parpol dan para kandidat untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya guna menghadapi pemilu. Sebaliknya, bagi masyarakat, saat ini juga waktu yang tepat untuk mulai menilai mana parpol dan kandidat yang betul-betul dibutuhkan dan layak dipilih saat pemilu serta mana yang sebaliknya. Jangan sampai salah pilih karena dampaknya harus dibayar selama lima tahun.