Jika NU dan Muhammadiyah dapat kita anggap sebagai representasi umat Islam di Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa corak sosialitas yang berkembang di tubuh umat saat ini cukup kondusif bagi tegaknya demokrasi.
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
·3 menit baca
Dalam beberapa tahun terakhir ini, sejumlah ahli mengungkapkan kecemasan tentang sebuah ”gejala global” yang mereka sebut democratic backsliding, kemunduran demokrasi. Demokrasi mengalami momentum musim semi dan ekspansi sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir tahun 1980-an untuk kemudian mengalami stagnasi secara global sejak pertengahan 2000-an. Gejala kemunduran ini, sebagaimana diulas oleh Rizal Sukma di kolom ini (Kompas, 22/12/2022), juga terjadi di Tanah Air.
Saya tidak akan mengulas tema itu di kolom ini. Apa yang ingin saya kemukakan di sini justru upaya-upaya untuk merawat demokrasi yang dilakukan oleh pelbagai pihak di Indonesia, terutama oleh kalangan umat Islam. Salah satu pertanyaan yang sering diperdebatkan dalam dua dekade terakhir ini, terutama di kalangan masyarakat Barat, adalah: apakah Islam compatible atau sesuai dengan demokrasi?
Jika melihat pengalaman Muslim Indonesia, jawaban atas pertanyaan ini sudah amat jelas: mayoritas umat Islam tidak melihat adanya kontradiksi antara ajaran Islam dan demokrasi. Salah satu vibrancy atau kekuatan demokrasi di Indonesia, antara lain, dimungkinkan karena dukungan yang amat besar dari umat Islam.
Ketahanan demokrasi mensyaratkan tidak saja proses-proses prosedural seperti pemilu, supremasi sipil, partai politik yang dipercaya publik, parlemen serta peradilan yang independen, dan lain-lain. Syarat-syarat prosedural semacam ini jelas amat penting. Namun, yang tak bisa dilupakan juga ialah syarat-syarat kultural; apa yang oleh Jeffrey Stout dalam Democracy and Tradition (2003) disebut sebagai ”democratic sociality”.
Syarat-syarat kultural bagi terjaganya demokrasi ini mencakup banyak hal: pandangan budaya, pemahaman keagamaan, tradisi, nilai-nilai yang mendasari sosialitas atau pergaulan dalam masyarakat, sikap terhadap kelompok minoritas, dan sebagainya. Jika sosialitas yang berkembang dalam sebuah masyarakat berwatak demokratis, kita berharap bahwa demokrasi bisa bertahan dengan kokoh di sana.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Ketua Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri membacakan hasil dari Muktamar Internasional Fikih peradaban I saat acara puncak resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Selasa (7/2/2022). Kegiatan dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Di sini kita patut bertanya: bagaimana corak ”sociality” yang berkembang di Indonesia, terutama di kalangan komunitas Muslim? Apakah berwatak demokratis atau tidak? Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini tidaklah hitam-putih. Namun, saya melihat, corak sosialitas yang dominan di kalangan umat Islam di Indonesia cukup kondusif untuk merawat demokrasi.
Hal ini tampak, misalnya, dalam paham keagamaan mayoritas umat Islam di Indonesia. Jika Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dapat kita anggap sebagai representasi umat Islam di Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa corak sosialitas yang berkembang di tubuh umat saat ini cukup kondusif bagi tegaknya demokrasi. Jika mau diringkaskan, pandangan keagamaan yang dominan di dalam dua ormas ini dicirikan oleh tiga fondasi penting: tradisi, keindonesiaan, dan kemodernan.
Yang dimaksud dengan tradisi di sini ialah suatu paham keagamaan yang melihat bahwa konteks budaya lokal sangat penting dalam penghayatan dan praktik keagamaan. Berdasarkan pengalaman di sejumlah negeri Muslim, kelompok-kelompok yang terlalu terobsesi dengan ”puritanisme keagamaan” umumnya cenderung sulit untuk beradaptasi dengan kultur demokrasi.
Apa yang disebut keindonesiaan di sini ialah paham yang tak menganggap adanya kontradiksi antara kebangsaan dan keislaman. Dua hal ini bisa berjalan serentak tanpa saling menafikan. Kelompok-kelompok yang cenderung bersikap antagonistik terhadap bentuk negara bangsa umumnya juga memiliki sikap yang negatif terhadap demokrasi.
Sementara itu, apa yang saya sebut sebagai kemodernan ialah sikap terbuka terhadap perubahan-perubahan sosial yang muncul dalam era modern. Kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung antagonistik terhadap modernitas biasanya juga memiliki sikap yang kurang bersahabat dengan demokrasi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Peserta muktamar atau muktamirin meninggalkan ruangan seusai upacara penutupan Muktamar 48 Muhammadiyah dan Aisyiyah di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Jawa Tengah, Minggu (20/11/2022). Muktamar ditutup Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Tiga fondasi paham keagamaan yang membentuk sosialitas umat Islam di Indonesia ini menjadi penopang penting bagi tegaknya kultur demokrasi di Indonesia. Inilah sumbangan penting umat Islam dalam merawat demokrasi di negeri ini. Di tengah-tengah riuh-rendahnya dinamik politik menjelang pemilu tahun depan, mungkin banyak yang tidak lagi melihat aspek-aspek kultural semacam ini.
Dengan mengungkap kembali hal-hal ini, saya hendak menunjukkan bahwa kekuatan demokrasi di negeri ini ditopang oleh faktor-faktor intangible dan jarang disorot dalam perdebatan di publik. Faktor-faktor ini berakar pada coral sosialitas yang berkembang dalam tubuh umat Islam—”umat politik” terbesar di negeri ini.