Koran Bekas Hari Ini dengan Berita Basi
Pergeseran telah mengingkari sejarah panjang kelahiran media bernama koran di Tanah Air. Ia tidak lagi berada satu barisan dengan rakyat, tetapi mengelompok ke dalam labirin kekuasaan.

Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas 1994-2022
Jika saya kebetulan tidak di rumah selama beberapa hari, koran di meja tetap terlipat rapi. Mbak Narti, asisten rumah tangga kami, selalu menumpuknya satu per satu berdasarkan hari pengantarannya. Ia tahu, jika kemudian saya kembali dari sebuah kota, hal pertama yang saya tanyakan: apakah koran tetap diantar? Sebab, dalam sepekan, loper koran kami selalu punya hari ”bolong”, di mana koran tidak diantar. Urutan harinya tiba-tiba ada yang melompat. Tak ada jaminan, koran dengan hari yang ”hilang” dalam tumpukan itu akan dilengkapi di kemudian hari.
Jika kebetulan ketemu di pagi hari dan saya tanyakan perihal mengapa kemarin ia tidak mengantar koran, dengan rileks Pak Loper berkata, ”Masih mau baca koran kemaren, Pak? Kan udah bekas!” Jawaban yang mengejutkan dan sebenarnya tidak profesional dari sisi pelayanan terhadap konsumen. Kalau saya berpikir hanya pada persoalan harga, di mana seharusnya saya menerima sesuai dengan apa yang dibayarkan, tentu perilaku loper semacam ini harus ”diprotes”.
Baiklah, mungkin suatu hari kelak akan saya lakukan protes. Tetapi, kata-kata Pak Loper tadi, membuka sebuah ”rahasia” yang kian nyata pada nasib penerbitan bernama koran. (Asal kau tahu, koran berasal dari bahasa Perancis, courant, yang artinya ’surat kabar yang dicetak di atas kertas dengan biaya rendah’. Oleh karena itu, mudah dibuang karena di sore hari kabar di dalamnya dianggap sudah basi).

Rahmad (53) berjualan koran dengan berkeliling Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (10/10/2021). Menurut Rahmad, kini pembeli koran kian sedikit dan pendapatannya turun drastis. Perkembangan media digital kini menjadi tantangan bagi media konvensional seperti surat kabar, tabloid, dan majalah.
Begitulah memang watak koran sejak dilahirkan pertama kali di kota Strasbourg, Jerman, tahun 1605 yang diterbitkan seorang penulis bernama Johann Carolus. Koran itu ia beri nama Relation aller Furnemmen und gedenckwurdigen Historien (kumpulan kisah terkenal yang patut diingat). Koran ini sering pula disebut dengan The Relation. Johann Carolus sebenarnya seorang penulis yang memperluas bisnisnya dengan membeli sebuah percetakan. Ia kemudian mencetak sendiri tulisan-tulisannya dan memberinya tulisan berupa berita.
The Relation tidak terbit secara berkala sebagaimana kita pahami dalam istilah koran seperti saat ini. Tak lama kemudian lahirlah Avisa Relation oder Zeitung atau Avisa, di kota Wolfenbuttel, Jerman, diterbitkan oleh Lucas Schulte tahun 1609. Koran terbitan Lucas sudah terbit secara periodik dan berisi berita-berita terbaru dari berbagai belahan dunia.
Mungkin berhubungan dengan penemuan mesin cetak dan teknologi pembuatan kertas yang belum berkembang baik, ukuran koran pertama-tama sebesar kertas kuarto. Oleh sebab itu, beberapa peneliti membedakan pengertian antara newsbook (publikasi berita mingguan dengan kertas kuarto) dengan koran yang pertama-tama berukuran tabloid.
Rupanya ukuran koran sebesar kertas kuarto itu juga yang pertama-tama sampai di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Sejarah mencatat koran berbahasa Melayu pertama dan sepenuhnya dikerjakan oleh wartawan-wartawan dan awak media pribumi bernama Medan Prijaji (MP) terbit tahun 1907 di Cianjur dan kemudian pindah ke Bandung. Koran ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, yang di kemudian hari dikenal sebagai ”Bapak Pers Indonesia”. Pertama-tama MP juga tidak terbit secara berkala, tetapi setelah beberapa tahun akhirnya terbit secara harian.

Pembawa acara saat membuka acara peresmian Jalan RM Tirto Adhi Soerjo di Kota Bogor, Jawa Barat, di saat bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Rabu (10/11/2021). Nama pahlawan nasional Indonesia ini diabadikan menjadi nama sebuah jalan, menggantikan nama jalan sebelumnya yang bernama Jalan Kesehatan. Penggunaan nama RM Tirto Adhi Soerjo menjadi nama jalan merupakan pertama kalinya di Indonesia. Tokoh yang bernama lengkap Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo ini berjasa dalam tonggak dunia sejarah jurnalisme di Indonesia, yaitu dengan mendirikan surat kabar Soenda Berita, Medan Prijaji, dan Putri Hindia di masa pergerakan.
Sejak awal diterbitkan oleh Johann Carolus sampai kemudian diaplikasikan oleh Tirto Adhi Soerjo di Hindia Belanda, sifat koran tak berubah. Koran selalu rentan terhadap pergerakan hari, karena ia sangat bergantung pada pergeseran peristiwa dan isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, ada predikat yang terdengar tragis dilekatkan pada koran, jika terlambat memuat sebuah peristiwa: berita basi! Seorang redaktur koran (zaman dulu) bisa teriak-teriak dari kubikalnya, ”Peristiwa kemarin kau tulis hari ini, itu sih cerita basi! Cari yang up to date dong….” Dan saya berada di antara banyak wartawan yang pernah mendapatkan teriakan semacam itu.
Jadi, jika diurut dari pemilik, redaktur, tim produksi, agency, loper, sampai pembaca sejak dahulu telah dicekoki opini bahwa koran hari ini hanya akan berisi berita basi jika wartawannya tidak produktif dan kreatif. Pengertian itu kemudian semakin menjadi-jadi setelah empat abad sejak kelahirannya pertama kali, ketika koran bahkan dianggap sebagai ”barang antik”. Ia ditumpuk di sebuah ”gudang tua” dan tak terurus, seperti tumpukan koran di meja teras rumah saya itu.
Disrupsi digital, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Clayton Christensen tahun 1997 dalam buku The Innovator’s Dilemma, telah benar-benar menjelma. Perubahan-perubahan mendasar dalam tata cara dan perilaku kita dalam memandang pasar, industri, dan budaya, yang didorong oleh inovasi dalam teknologi, telah mengubah segalanya. Bahwa perubahan yang terjadi pada dunia jurnalistik, tidak sebatas transformasi platform dari koran cetak menuju digital, tetapi disrupsi telah menggerus banyak hal dalam aktivitas peliputan, penyajian, dan cara mengonsumsi berita.
Sederhananya, berita yang singgah dalam ingatan pembaca tidak lagi berdasarkan hitungan hari, tetapi telah bergerak menjadi lebih singkat menjadi per detik. Bahkan, berita-berita itu tidak lagi diterima dan ”terbaca” melalui media arus utama, tetapi lewat kanal-kanal media sosial yang kian hari kian masif.

Era digital juga membawa perubahan pada koran cetak ke lembar digital yang dapat diakes melalui internet seperti Leonita (24) yang membuka e-paper harian Kompas saat santai di Polder Tawang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (27/6/2010).
Dampaknya dalam waktu sekejap, koran yang memiliki sejarah panjang seturut dengan penemuan mesin cetak di Jerman tiba-tiba bertumbangan. Banyak di antaranya yang kemudian benar-benar tutup sebagai perusahaan media. Data menunjukkan setidaknya terdapat lebih dari 40 perusahaan pers di Amerika Serikat tutup atau setidaknya berganti platform sejak angin digital itu berembus semakin kencang. Koran sebesar The New York Times juga harus mendesain ulang penyajian berita dan tatanan bisnisnya agar selamat dari badai digital tadi. Meski edisi korannya tetap terbit secara terbatas, perusahaan ini ”terpaksa” menyewakan sebagian gedungnya untuk tetap bisa terbit.
Kenyataan ini mengingatkan saya pada Tirto Adhi Soerjo, seorang pribumi yang menerbitkan koran di tengah-tengah rezim kolonialisme yang ganas dan menindas. TAS, begitu ia selalu menyingkat namanya, tak semata seorang jurnalis. Sejak ia mendirikan Medan Prijaji, telah tumbuh semacam kesadaran penggunaan bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca (bahasa pergaulan) pada waktu itu. Padahal, selama ini koran-koran yang terbit di Hindia Belanda selalu menggunakan bahasa Belanda. Kesadaran itu dipicu oleh koran-koran yang diterbitkan orang-orang keturunan Tionghoa di Hindia Belanda, yang juga telah menggunakan bahasa Melayu.
Pada TAS penggunaan bahasa Melayu menjadi berbeda, karena ia memang ingin membawa bangsa pribumi melek huruf dan melek hukum. Waktu itu, sangat biasa terjadi sengketa tanah atau dituduh mangkir membayar pajak pada rakyat. Pemerintah kolonial Belanda lalu dengan hukum-hukum yang mereka rancang sendiri menjatuhkan hukuman kerja paksa tanpa upah dengan tangan dan kaki dirantai. Posisi rakyat yang terjajah dan lemah setiap saat menghunjam dada TAS dengan pukulan-pukulan yang berat.

Sejarawan Ichwan Azhari menunjukkan koleksi koran kunonya, di Medan, Jumat (12/9/2014). Dia memburu koran-koran kuno sampai Jerman dan Belanda.
Oleh sebab itu, penggunaan bahasa Melayu adalah perlawanan pertama-tama media pribumi terhadap kesewang-wenangan kolonialisme. TAS memperlakukan MP sebagai media untuk propaganda untuk melawan ketidakadilan hukum, kemelaratan yang tak kunjung putus, serta kebodohan yang akut. Lewat tulisan-tulisannya di MP, ia membongkar berbagai skandal yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah kolonial.
Selain mengusut dan memberitakan kasus-kasus penyimpangan kekuasaan, termasuk korupsi, MP bergerak menjadi motor advokasi di bidang hukum. TAS melakukan pembelaan terhadap rakyat yang sedang terlilit masalah hukum dengan pemerintah. Bahkan, saat ia dibuang ke Telukbetung, Lampung, pada tahun 1910, TAS menulis kasus-kasus hukum yang dihadapi rakyat untuk kemudian dikirimkannya kepada media-media di Betawi.
Barangkali wilayah advokasi inilah yang terlupakan di masa kini. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang di Nusantara (dulu Hindia Belanda), media berperan besar sebagai mediator bagi rakyat dalam bernegosiasi dengan pemerintah mengenai berbagai ketidakadilan dan ketimpangan yang terus semakin menganga. Sejak era industri, media lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi daripada mengadvokasi kepentingan rakyat. Kecenderungan itu semakin jauh membawa media dalam ”kemiskinan” idealisme. Bahkan, pasti kau juga tahu, sekarang banyak media yang hanya ”mengabdi” untuk kepentingan partai politik. Bukan lagi sembunyi-sembunyi, melainkan secara terang-terangan menggunakan media sebagai alat kepentingan berkuasa.
Sejak era industri, media lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi daripada mengadvokasi kepentingan rakyat.
Pergeseran ini telah mengingkari sejarah panjang kelahiran media bernama koran di Tanah Air. Ia tidak lagi berada satu barisan dengan rakyat, tetapi mengelompok ke dalam labirin kekuasaan, yang alih-alih membela rakyat, tetapi sebaliknya menggunakan rakyat sebagai kedok kekuasaan. Saya merenung, bagaimana nanti jika media-media partisan ini berada dalam pusaran kekuasaan? Masih adakah independensi dalam membela nasib rakyat? Masih relevankah memakai frasa ”membela rakyat”, tetapi di belakang bermain api dengan kekuasaan?

Winda, mahasiswi Universitas Brawijaya, membantu proses digitalisasi koran di kompleks Museum Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/4/2019). Proses alih media dari bentuk cetak ke digital juga dilakukan terhadap ribuan dokumen dan transkrip kuno untuk menyelamatkan isi dari berbagai dokumen berharga yang telah berusia tua.
TAS menanggung risiko amat besar dari aktivitasnya dalam membela rakyat. Ia tidak hanya digugat terus-menerus, tetapi juga kemudian dibuang, di antaranya ke Lampung dan ke Ambon. Selain itu, ia seperti dikeroyok oleh pemerintah kolonial beserta para cecunguk bangsawan penjilat. Usaha medianya diembargo oleh para pemilik modal karena ancaman pemerintah kolonial. Mereka tidak mau lagi memasok dana, bahkan para pelanggan berhenti membaca MP. Dalam kondisi itu perlahan-lapan TAS terlilit utang yang besar sehingga MP kemudian menemui ajalnya. Tidak dibredel oleh pemerintah kolonial, tetapi dinyatakan pailit. Ini termasuk cara yang licik dalam membunuh aktivitas media massa, yang mengabdi kepada kepentingan publik.
Bukankah sejarah ini mengajarkan satu hal, bahwa sudut pandang media dalam membela rakyat tak boleh berhenti oleh karena kepentingan kekuasaan. Media boleh mati, tetapi kebenaran tak boleh surut. Barangkali itu prinsip yang kini sudah jarang kita temui dalam penerbitan media massa. Sampai akhir hayatnya pada usia 38 tahun, TAS tak mau menyerah. Ia memilih tiada dalam kesendirian, ketimbang berkompromi menghidupkan koran tetapi berada di bawah ketiak kolonialisme. Bukankah itu yang ia hindari sejak menabur benih-benih MP di sebuah kota kecil bernama Cianjur. Semangat independensi dengan membangun perusahaan percetakan sendiri dan melibatkan kaum pribumi tetap ia pelihara sampai benar-benar habis.
Kini, fungsi media telah mengalami degradasi: menjadi hanya semata-mata kepentingan ekonomi. Artinya, pendapatan baik lewat iklan maupun langganan menjadi pertimbangan yang utama. Dan, apabila kepentingan ini terganggu oleh beban biaya yang dianggap tinggi, termasuk biaya yang harus dikeluarkan untuk menggaji wartawan, maka tak segan bagian itulah yang harus diamputasi. Prinsipnya, jika tidak diamputasi, maka ia akan tumbuh menjadi kanker kronis, yang pada akhirnya akan mempercepat proses penutupan media massa bersangkutan.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua. Tetralogi karyanya dari Pulau Buru menampilkan karakter utama bernama Minke yang terinspirasi dari sosok Tirto Adhi Soerjo.
Cara pandang yang kapitalistik inilah yang lagi-lagi harus saya katakan telah mendegradasi fungsi media massa. Saya berpikir, jangan-jangan kejatuhan koran-koran di Tanah Air, tidak hanya karena disrupsi digital, tetapi juga karena selama puluhan tahun koran kita telah melupakan sejarah. Mereka terlalu asyik dengan keuntungan ekonomi sehingga melupakan hal-hal prinsipal seperti membela kepentingan rakyat yang ”tertindas”
Jangan-jangan kejatuhan koran-koran di Tanah Air, tidak hanya karena disrupsi digital, tetapi juga karena selama puluhan tahun koran kita telah melupakan sejarah.
Oleh sebab itu, barangkali jika para pemilik media massa, utamanya koran, kembali menjalankan fungsi advokasi dan menyajikan kisah-kisah perjuangan rakyat dalam memperoleh keadilan secara mendalam, setidaknya kejatuhannya bisa direm. Koran harus kembali pada dasar perjuangannya di masa lalu, dekat dan berbaur dengan rakyat, sembari menyerap segala aspirasi yang bukan tidak mungkin luput dari perhatian pemerintah. Jadi, tak akan ada cerita tentang koran bekas dan berita basi hari ini. Sebab, seluruh isi koran adalah cerita tentang kehidupan aktual rakyat dalam berhadapan dengan rezim yang memerintah.
Semoga saya tetap bangun pagi hari ini dan membuka koran dengan penuh gairah, karena isinya tak hanya berita, tetapi beragam cerita yang menyentuh rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa yang merdeka.