Pembangunan merupakan keniscayaan. Skenario mitigasi dalam perencanaan penggunaan lahan memungkinkan pembangunan dapat berjalan tanpa harus memberikan dampak lingkungan di kemudian hari.
Oleh
MUSNANDA SATAR
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Pembangunan kerap kali dituding sebagai sumber utama rusaknya ekosistem yang mengakibatkan terlepasnya emisi karbon dan hilangnya habitat bagi kekayaan aneka ragam hayati. Upaya menyelaraskan kebutuhan ekologi dan pembangunan ini selalu menjadi isu hangat yang memenuhi ruang-ruang diskusi. Pemerintah Indonesia tengah memprioritaskan upaya menekan emisi karbon dan menahan laju pemanasan global lewat berbagai strategi.
Salah satu strategi Indonesia mencapai nol emisi karbon (net zero emission) adalah menginisiasi FOLU Net Sink 2030 yang merupakan pencanangan pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Pada September 2022, Indonesia juga menaikkan target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan global pada 2030.
Keseriusan pemerintah dalam mendorong pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan keselarasan fungsi ekologi dan kesejahteraan manusia juga dibuktikan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 mengenai Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan pada 16 Januari 2023. Kehadiran kebijakan terbaru ini menggarisbawahi eratnya kaitan antara kelestarian keanekaragaman hayati dan kebijakan penurunan emisi. Perubahan iklim adalah sumber utama hilangnya keanekaragaman hayati; di sisi lain, keanekaragaman hayati adalah bagian dari solusi mitigasi perubahan iklim.
Perjalanan mencapai kondisi emisi nol perlu diikuti dengan alokasi lahan yang selektif dan terkontrol untuk pembangunan. Dalam konteks alokasi lahan, pendekatan Development by Design (DbD) atau pembangunan yang terancang dapat menghasilkan skenario mitigasiavoid, minimize/restore, dan offset yang sejalan dengan kebijakan umum sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) menuju Net Sink dan Inpres Nomor 1 Tahun 2023.
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono dan Mission Director USAID Indonesia Jeffrey P Cohen saat menandatangani kerja sama dukungan FOLU Net Sink 2030 di Kantor KLHK, Jakarta,Jumat (20/5/2022).
Skenario mitigasi alih fungsi lahan
Pendekatan DbD pada prinsipnya mengintegrasikan perencanaan konservasi dengan prediksi pembangunan. Pendekatan ini memadukan perencanaan tingkat lanskap dengan hierarki mitigasi, yaitu menghindari (avoid)—terutama untuk kawasan hutan alam yang tidak boleh dikonversi—meminimalkan (minimize), memulihkan (restore), dan mengganti/menyeimbangkan (offset). Hierarki mitigasi ini tidak lain untuk membuat perencanaan penggunaan lahan yang lebih tepat.
Pendekatan DbD dapat berkontribusi secara langsung pada penerapan kebijakan FOLU Net Sink 2030. Di antaranya, dalam upaya mempertahanan hutan alam yang tersisa, dapat didukung dengan skenario avoid, yaitu kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi dan nilai cadangan karbon tinggi perlu diidentifikasi dan ditetapkan sebagai avoid area dari alih fungsi lahan.
Untuk efisiensi penggunaan lahan dan optimalisasi lahan tidak produktif, digunakan skenario minimize/restore. Kegiatan intensifikasi (pemanfaatan lahan secara intensif) dapat meminimalkan dampak dan kawasan terdegradasi dapat dipulihkan (restore). Mitigasi restore tentu memerlukan waktu panjang. Sektor hutan industri, misalnya, yang selama ini memiliki siklus tanam tebang dalam kurun lima tahun, memerlukan solusi pemilihan jenis (spesies) hutan industri yang mempunyai daur (usia tebang) sampai 30 tahun sehingga efektif menyimpan dan menyerap karbon.
Perubahan iklim adalah sumber utama hilangnya keanekaragaman hayati; di sisi lain, keanekaragaman hayati adalah bagian dari solusi mitigasi perubahan iklim.
Sementara dari sisi pengembangan kebijakan fiskal untuk sektor FOLU, dapat digali lebih jauh dengan skenario offset, yaitu kegiatan pembukaan lahan hutan tanpa kajian area dengan nilai konservasi tinggi perlu dikenakan offset, yang antara lain terkait fiskal sebagai dukungan pendanaan konservasi.
Kajian berbasis lanskap
Hasil kajian pendekatan DbD di Kalimantan Timur (Kaltim) yang dilakukan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (2018) mengungkapkan, area seluas 4,5 juta hektar (35 persen dari total wilayah Kaltim) yang menyimpan 55 persen cadangan karbon Kaltim direkomendasikan sebagai wilayah avoid. Artinya, harus dihindari untuk dikonversi (alih fungsi lahan) dan dijadikan portofolio konservasi, tetapi tidak mesti dijadikan kawasan konservasi.
Skenario minimize dan restore dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV). Tutupan lahan dengan nilai konservasi tinggi yang terdegradasi dikalkulasikan sekitar 37 persen dari luas wilayah Kaltim, sementara kawasan dengan nilai konservasi tinggi yang sudah terbuka dan sesuai untuk pembangunan sekitar 27 persen dari luas wilayah Kaltim.
DOK. YAYASAN KONSERVASI ALAM NUSANTARA
Hasil kajian pendekatan Development by Design di Provinsi Kalimantan Timur, 2018.
Skenario mitigasi disusun dengan berdasarkan hasil analisis data spasial utama, berupa tutupan hutan alam, habitat spesies kunci, tata ruang, serta kajian Indeks Tekanan Manusia (ITM) yang mengukur tingkat pembangunan yang ada. Khusus mengenai distribusi spesies, kajian ini menggunakan spesies orangutan yang peta habitatnya tersedia melalui kajian PHVA tahun 2016.
Pendekatan DbD dengan hierarki mitigasi ini juga digunakan pada sektor perkebunan sawit di Kaltim dan telah menghasilkan Surat Keputusan Gubernur Kaltim tahun 2022 yang menyebutkan 465.000 hektar area bernilai konservasi tinggi di dalam areal hak guna usaha tidak perlu seluruhnya dikonversi menjadi kebun.
Kajian serupa juga dilakukan di Kalimantan Barat (Kalbar) pada 2021, hasil kerja sama YKAN dengan Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan, Universitas Mulawarman, dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Sedikit berbeda dengan metodologi penelitian di Kaltim, kajian di Kalbar menambahkan aspek analisis data spasial kajian jasa lingkungan hidup.
Skenario mitigasi avoid, misalnya, diturunkan melalui kriteria wilayah yang memiliki hutan dengan kategori ITM rendah dan memiliki jasa lingkungan tinggi di wilayah hutan lindung, kawasan suaka alam, taman nasional, di area habitat orangutan maupun di kawasan gambut, dan hutan di dalam area kemiringan lereng lebih dari 40 persen.
Berdasarkan data spasial, hasil kajian merekomendasikan skenario mitigasi avoid pada kawasan seluas 4,1 juta hektar atau mencakup 28 persen dari daratan Kalbar. Wilayah ini bukan hanya mencakup kawasan hutan, tetapi juga kawasan yang masih berhutan di area penggunaan lain (APL) seluas 112.000 hektar karena sejatinya tidak seluruh APL dapat dibangun. Kawasan yang harus dihindari sebagian besar di kawasan konservasi dan kawasan lindung, kemudian disusul di kawasan hutan produksi dan APL.
DOK. YAYASAN KONSERVASI ALAM NUSANTARA
Hasil kajian pendekatan Development by Design di Provinsi Kalimantan Barat, 2021.
Sementara skenario minimize sebagian besar berada di kawasan gambut (terletak di wilayah barat) dan di bagian bagian utara, tepatnya di Kapuas Hulu, yang merupakan hutan dataran rendah dan sumber air Provinsi Kalbar.
Skenario restore perlu diterapkan di kawasan konservasi dan lindung dengan luasan mencapai hampir setengah juta hektar, dan kawasan ini perlu dikembalikan fungsinya karena memiliki jasa lingkungan tinggi. Sebagian merupakan kawasan gambut dan kawasan dengan derajat kelerengan tinggi, sisanya merupakan kawasan terbangun yang didominasi perkebunan.
Skenario mitigasi dalam perencanaan penggunaan lahan ini menggarisbawahi bahwa pembangunan dapat berjalan tanpa harus memberikan dampak lingkungan di kemudian hari. Karena pembangunan adalah keniscayaan, seiring derap peradaban.
Namun, tidak berarti seluruh wilayah di muka Bumi harus berserah diri kepada upaya ekspansi. Kemampuan untuk memilah area garapan, dilindungi, dan menerapkan pengelolaan berkelanjutan dengan mengedepankan kolaborasi bersama berbagai pihak kepentingan menjadi modal untuk mewujudkan keselarasan antara kesejahteraan manusia dan alam yang lestari.