Jumlah penduduk miskin pada September 2022 bertambah sebanyak 0,2 juta orang ketimbang Maret 2022. Angka kemiskinan yang meningkat dan masih adanya ketidakpastian global mengharuskan pemerintah selalu siap dan waspada.
Oleh
LILI RETNOSARI
·4 menit baca
Belum lama ini, Badan Pusat Statistik merilis angka kemiskinan September 2022. Angka itu mengalami kenaikan 0,03 persen poin menjadi 9,57 persen dibandingkan kondisi Maret 2022 yang 9,54 persen.
Meski hanya terlihat meningkat sedikit, tetapi jika kita lihat angka absolutnya, jumlah penduduk miskin pada September 2022 bertambah sebanyak 0,2 juta orang dibandingkan Maret 2022. Peningkatan ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.
Di daerah perkotaan, jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 0,16 juta orang, sedangkan di perdesaan bertambah 0,04 juta orang. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bersama. Sebab, setelah angka kemiskinan berhasil ditekan pasca-kenaikan akibat pandemi Covid-19, pada September 2022 justru meningkat lagi.
Jika kita telaah, pada September 2022, memang terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak. Harga BBM jenis pertalite naik 30,72 persen, solar 32,04 persen, dan pertamax nonsubsidi 16 persen.
Adanya penyesuaian harga BBM 3 September 2022 melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 218.K/MG.01/MEM.M/ 2022 itu tentu memberikan dampak ke berbagai hal, terutama masalah distribusi dan perubahan harga. Bahkan, tingkat inflasi September 2022 mencapai 5,95 persen (yoy).
Pada September 2022, mayoritas harga komoditas yang dikonsumsi penduduk miskin pun mengalami peningkatan, baik komoditas pangan maupun nonpangan. Beberapa komoditas pangan yaitu beras naik 1,46 persen, gula pasir 2,35 persen, tepung terigu 13,97 persen, telur ayam ras 19,01 persen, dan cabai merah 42,60 persen.
Meski hanya terlihat meningkat sedikit, tetapi jika kita lihat angka absolutnya, jumlah penduduk miskin pada September 2022 bertambah sebanyak 0,2 juta orang dibandingkan Maret 2022.
Sementara, selain BBM, komoditas nonpangan yang naik harganya adalah biaya kontrak rumah naik sebesar 0,97 persen dan elpiji 3 kilogram 1,58 persen. Adanya kenaikan harga ini tentunya berdampak terhadap tingkat konsumsi masyarakat, apalagi masyarakat miskin.
Komponen konsumsi rumah tangga pada produk domestik bruto (PDB) triwulan III-2022 hanya tumbuh 5,39 persen, melambat dibandingkan triwulan-II yang 5,51 persen. Meski ekonomi Indonesia triwulan III- 2022 tumbuh 5,72 persen (yoy) dan lebih tinggi dibandingkan triwulan I-2022 yang 5,01 persen, tetapi jika dibandingkan triwulan II-2022, pertumbuhan tersebut cenderung melambat, termasuk pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang justru turun 0,12 persen.
Jika kita lihat kondisi ketenagakerjaan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2022 tercatat 5,86 persen. Angka ini turun dibandingkan Agustus 2021 yang 6,49 persen. Selain itu, tren pekerja penuh juga meningkat dari 64,30 persen pada Agustus 2021 menjadi 68,46 persen pada Agustus 2022. Namun, pada Agustus 2022 masih terdapat 4,15 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi.
Di bidang pertanian, adanya penyesuaian harga BBM membuat biaya produksi pertanian mengalami peningkatan. Pada September 2022, Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) subsektor tanaman pangan dan perikanan tangkap mengalami peningkatan. Peningkatan ini terutama didorong kenaikan harga bensin, solar, dan ongkos angkut.
Hal lain yang terjadi pada September 2022 yakni turunnya upah buruh tani harian sebesar 1,99 persen dari Rp 52.494 pada Maret 2022 menjadi Rp 51.447 pada September 2022. Ditambah lagi, selama September 2022 juga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya seperti industri tekstil, alas kaki, dan perusahaan teknologi.
Berbagai hal di ataslah yang mungkin mendorong adanya kenaikan angka kemiskinan September 2022. Meskipun sebenarnya pemerintah juga sudah melakukan banyak upaya antisipasi untuk menjaga daya beli masyarakat, dampak kenaikan BBM dan inflasi yang terjadi masih lebih kuat.
Upaya antisipasi itu antara lain dengan pemberian kompensasi atas penyesuaian harga BBM berupa kenaikan bansos Rp 150.000 per bulan; subsidi upah Rp 600.000 per pekerja, serta subsidi transportasi angkutan umum ojek daring dan nelayan. Adanya perubahan harga yang terjadi, baik itu inflasi maupun deflasi, berpengaruh pada garis kemiskinan.
Hal ini karena dalam mengukur garis kemiskinan, selain melihat garis kemiskinan periode sebelumnya juga memperhitungkan perubahan harga tadi (inflasi/deflasi).
Garis kemiskinan
Jika kita ingat kembali, dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini mengacu pada ”Handbook on Poverty and Inequality” yang diterbitkan Bank Dunia.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Meskipun sebenarnya pemerintah juga sudah melakukan banyak upaya antisipasi untuk menjaga daya beli masyarakat, dampak kenaikan BBM dan inflasi yang terjadi masih lebih kuat.
Garis kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. GK terdiri dari GK makanan (nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang setara 2100 kilokalori/kapita/hari) dan GK non-makanan (nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan pokok non-makanan).
Pada September 2022, GK nasional adalah Rp 535.547/kapita/bulan. GK ini meningkat 5,95 persen dibandingkan Maret 2022. Sementara, pada September 2022, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,34 orang anggota. Hal ini berarti besarnya GK per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah Rp 2.324.274/rumah tangga miskin/bulan. Angka ini turun sebesar 2,99 persen dibanding kondisi Maret 2022 yang sebesar Rp 2.395.923/bulan.
Kemiskinan memang masih menjadi masalah krusial di banyak negara. Angka kemiskinan yang meningkat dan masih adanya ketidakpastian global di tahun ini mengharuskan pemerintah selalu bersiap dan waspada menghadapi berbagai tekanan ekonomi yang mungkin terjadi, termasuk inflasi. Perencanaan pengendalian kenaikan harga yang bisa saja terjadi dan memperkuat ekonomi dalam negeri jadi salah satu solusi.