Akankah Inflasi Pangan Mereda?
Inflasi pangan dunia 2023-2024 kemungkinan tetap tinggi jika ”business as usual”. Karena itu, perlu disiapkan dengan matang mulai dari upaya agar produksi pangan terjaga, stok pangan memadai, hingga mekanisme intervensi.
World Economic Forum Davos 2023 mengingatkan, satu dari sepuluh risiko global yang masih akan menghantui pada 2023 hingga jangka menengah adalah risiko inflasi pangan.
Dilihat dari Indeks Harga Pangan yang dikeluarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), harga pangan dunia memang telah menurun. Harga telah kembali pada tingkat sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Namun, tingkat harga ini masih di atas harga sebelum pandemi Covid-19. Tingkat harga tinggi ini terjadi untuk semua subkomoditas, seperti umbi-umbian (sereal), daging, susu, minyak sayur, dan gula.
Peta inflasi makanan global yang dikeluarkan Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan mayoritas negara di dunia masih mengalami inflasi pangan di atas 5 persen. Hanya China, India, dan beberapa negara Afrika yang angkanya bisa dikendalikan di bawah 5 persen.
Di Indonesia, inflasi pangan mencapai 5,8 persen pada 2022. Kelompok komoditas pangan yang bergejolak juga masih meningkat harganya sebesar 5,6 persen dan masih merupakan penyumbang terbesar inflasi headline, di luar inflasi barang administrasi yang berkaitan dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak.
Baca juga: Awali 2023, Inflasi Kian Melandai
Penyebab tingginya inflasi pangan adalah elastisitas permintaan pangan yang relatif rendah akibat tidak banyaknya substitusi untuk jenis komoditas pangan ini. Setiap disrupsi produksi, baik akibat penyakit maupun bencana alam, akan mendorong kenaikan harga yang cukup besar. Keadaan ini diperburuk oleh fakta hambatan terutama nontarif yang tinggi pada hampir semua negara sehingga respons suplai terhadap guncangan produksi ini tak bisa berjalan secara efektif.
Perkembangan stok pangan
Apakah harga pangan yang masih tinggi akan bisa menurun mengikuti tren penurunan sepanjang paruh kedua 2022?
Bagaimana keadaan pangan global dan nasional hingga akhir 2022? Stok berperan karena ketersediaan pangan di pasar tak hanya ditentukan oleh produksi, tetapi juga kondisi stok komoditas tersebut. Misalnya, pada saat stok tinggi, ketersediaan komoditas bisa meningkat karena produsen akan melepaskan stok untuk menjaga likuiditas sehingga harga bisa turun dengan produksi tertentu.
Sebaliknya, jika stok rendah, permintaan akan suatu komoditas meningkat karena bukan hanya untuk memenuhi konsumsi langsung (direct and current consumption), melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan menjaga stok minimum pada tingkat konsumen atau pedagang.
Berdasarkan data Departemen Pertanian AS (USDA), Januari 2023, stok global untuk komoditas pangan pokok cenderung menguat karena stoknya sama atau cenderung menurun. Stok global beras menurun dari 52,5 hari penggunaan menjadi 44 hari pada 2022/ 2023. Begitu pula dengan gandum yang menurun dari 68,8 hari (2020/2021) menjadi 57,9 hari (2022/2023).
Untuk gandum, produksi Ukraina akan mengalami penurunan karena penanaman selama musim semi turun 40 persen dari keadaan 2022 dan perang yang berkelanjutan akan berdampak signifikan pada penanaman musim dingin. Jika tidak dikompensasi dengan kenaikan produksi di negara lain, stok global gandum akan turun lagi.
Dalam kasus beras di Indonesia, saya menduga kenaikan harga beras selama musim paceklik (Desember-Februari 2023) bisa berlanjut. Produksi selama musim panen 2023 yang diramalkan sedikit lebih baik dibandingkan 2022 tak akan menurunkan dan menormalkan harga beras karena stok di Perum Bulog dan kemungkinan di masyarakat pun rendah.
Jadi, kenaikan produksi selama musim panen besar Maret-April 2023 akan langsung terserap untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ataupun akumulasi stok. Semakin agresif Bulog melakukan pembelian, harga gabah dan beras akan tetap bertahan tinggi. Akibatnya, jika kita biasanya akan melihat harga pangan defleksi selama musim panen, tahun ini bisa jadi inflasi pangan akan positif.
Komponen pangan lain yang cukup besar dalam Indeks Harga Konsumen adalah tepung terigu dan mi instan. Kenaikan harga gandum akan juga menyebabkan inflasi komoditas tinggi.
Produksi selama musim panen 2023 yang diramalkan sedikit lebih baik dibandingkan 2022 tak akan menurunkan dan menormalkan harga beras karena stok di Bulog dan kemungkinan di masyarakat pun rendah.
Harga pupuk memang telah turun dari harga puncaknya, tetapi masih tinggi meski harga gas sudah turun mendekati harga normal. Kendala dari suplai potash, termasuk larangan impor dari Belarus, mendorong harga pupuk tetap tinggi.
Harga input pupuk yang tinggi tentu akan menekan keuntungan usaha tani. Respons yang normal adalah intensitas pupuk diturunkan. Akibatnya, produktivitas (yield), khususnya beras, gandum, dan jagung, menurun. Untuk beras, penurunan produksi global 2022 dan prospek penurunan stok telah mendorong kenaikan harga beras di future market.
Dalam konteks Indonesia, keluhan petani terhadap kelangkaan pupuk sering terdengar walau tak jelas apakah yang dikeluhkan petani itu berkaitan dengan ketersediaan pupuk bersubsidi atau pupuk secara keseluruhan. Bukti anekdotal menunjukkan, akibat harga pupuk yang tidak bersubsidi yang sangat mahal dan ketersediaan pupuk yang bersubsidi terbatas, petani, terutama petani marjinal yang tak memiliki modal kerja, mengurangi intensitas penggunaan pupuk.
Akibatnya, hal itu bisa menurunkan produksi gabah dan beras pada musim panen besar Maret-April 2023, di bawah ramalan Badan Pusat Statistik. Kalau ini terjadi, inflasi harga pangan akan tetap tinggi pada 2023.
Cuaca dan dampak iklim
Perubahan iklim telah menyebabkan cuaca kian tak beraturan dan berfluktuasi. Cuaca termasuk intensitas hujan merupakan faktor yang menentukan dalam produksi pangan. Sepanjang 2022, cuaca kering melanda bumi bagian barat dan memengaruhi produksi pangan di Argentina dan beberapa negara di Afrika.
Sementara itu, intensitas hujan relatif tinggi di Australia sebagian menguntungkan produksi pangan dan di beberapa daerah di Australia telah menyebabkan banjir. Menurunnya stok global ini tak terlepas dari penurunan produksi pangan dunia yang berhubungan dengan perubahan iklim ini.
Pola yang tak beraturan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang 2023 dan ke depan, baik di tataran global maupun domestik. Di Indonesia, BMKG telah meramalkan akan terjadi perubahan besar kondisi iklim sepanjang 2023/2024. Cuaca yang menguntungkan (mild La Nina) sepanjang 2022 diperkirakan berubah menjadi El Nino di beberapa wilayah Indonesia.
Di luar persoalan penggunaan pupuk, perubahan cuaca ini diperkirakan tak akan memengaruhi produksi gabah di musim panen besar Maret-April 2023 karena padinya telah ditanam sejak akhir 2022. Yang mungkin terpengaruh adalah produksi setelah musim panen Maret-April 2023. Karena itu, perencanaan produksi, mulai dari kesiapan sistem irigasi hingga ketersediaan pupuk, perlu dipersiapkan dengan matang.
Uraian di atas menunjukkan bahwa inflasi pangan dunia 2023 dan 2024 kemungkinan tetap tinggi jika kita business as usual.
Asimetri harga
Penurunan harga pangan di dunia tak selamanya akan segera ditranslasikan dalam bentuk penurunan harga pangan di pasar domestik karena pengalaman empiris menunjukkan passthrough coefficient harga pangan dunia terhadap harga lokal cenderung rendah. Harga di pasar lokal baru turun setelah harga global turun dalam waktu yang lama. Passthrough coefficient ini juga asimetri. Saat harga global naik, harga lokal naik secara cepat, tetapi tak berlaku saat harga turun (Martin dan Minott, 2022).
Uraian di atas menunjukkan bahwa inflasi pangan dunia 2023 dan 2024 kemungkinan tetap tinggi jika kita business as usual. Karena itu, mulai dari upaya agar produksi pangan tetap terjaga, stok pangan memadai, hingga mekanisme intervensi pasar efektif perlu disiapkan dengan matang. Kita perlu belajar dari pengalaman intervensi minyak goreng yang kurang efektif.
Terakhir, perlu disiapkan anggaran yang memadai, baik untuk menjaga produksi pangan maupun intervensi di pasar. Beban fiskal penanganan inflasi pangan diperkirakan akan meningkat, tetapi efek positifnya akan tinggi.
Mohamad Ikhsan, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia