Sebagai bentuk penyimpangan norma moral, laksisme terekspresikan dalam perilaku sosial yang menginginkan serba ”instan”, memilih jalan pintas meskipun harus melanggar aturan. Sekecil apa pun, ini harus diberantas.
Oleh
ADJIE SURADJI
·3 menit baca
Film dokumenter American Factory (2019) dengan produser Barack dan Michelle Obama, disutradarai Steven Bognar dan Julia Reichert, berkisah tentang sebuah perusahaan Amerika yang bangkrut. Perusahaan tersebut kemudian diakuisisi oleh perusahaan China, yang berinvestasi dan membawa budaya kerja keras ke Amerika.
Budaya kerja keras China tak cocok dengan budaya kerja Amerika yang menyukai suasana santai, tetapi banyak tuntutan. Tipikal pekerja China yang keras dapat dianalogikan; satu pekerja China dapat menyelesaikan tiga pekerjaan pekerja Amerika. Artinya, produktivitas tenaga kerja China jauh lebih tinggi ketimbang pekerja lokal (Amerika).
Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan ketegangan dan perselisihan pemicu bentrokan antar-tenaga kerja. Kemudian lahirlah berbagai bentuk narasi bersifat menghasut (provokatif) secara terbuka, mengarah ke rasisme sosial, dan kekerasan yang melawan hukum.
Alur cerita dalam skenario film American Factory memiliki kemiripan dengan kasus insiden dalam bentrokan di tambang nikel PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah (14/1/2023).
Bentrokan pekerja tambang nikel PT GNI dipicu oleh demo mogok kerja pekerja lokal (Indonesia) terkait persoalan yang masih dalam perundingan. Pekerja lokal menuntut loyalitas, dengan memaksa tenaga kerja China ikut bergabung mogok kerja. Namun, sebagai tenaga kerja yang memiliki budaya kerja keras—para pekerja China menolak ajakan mogok kerja tersebut. Dan, perselisihan yang berujung bentrokan pun tak terhindarkan.
Secara umum, stabilitas keamanan dan ketertiban Indonesia masih lebih baik dibanding dengan beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara. Hanya, atmosfer politik menjelang Pilpres 2024 berkontribusi memanaskan situasi, dan dimanfaatkan oleh elite politik oposisi pembenci pemerintah, atau pihak asing yang kecewa dengan kebijakan Presiden Joko Widodo terkait ”larangan ekspor” bijih nikel (bahan mentah).
Berbagai narasi politik provokatif, seperti ”China menjajah Indonesia”, tentara China masuk ke Indonesia menggunakan maskapai penerbangan Lion Air, dan yang lain muncul dan beredar di ruang publik secara terbuka.
Keterbukaan arus informasi global ditengarai juga berdampak pada kemunduran ( decline) budaya kerja.
Budaya kerja adalah falsafah yang didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pendorong untuk dibudayakan oleh suatu kelompok bangsa, yang mencerminkan sikap, perilaku, dan tindakan yang terekspresikan dalam diri setiap pekerja.
Dan, insiden yang terjadi di Morowali Utara sekaligus mencerminkan budaya kerja bangsa Indonesia yang disinyalir sudah terdegradasi, terkontaminasi virus (kepentingan) politik, sehingga menjadikan iklim kerja para pekerja menjadi tak sehat.
Keterbukaan arus informasi global ditengarai juga berdampak kepada kemunduran (decline) budaya kerja. Tiga hal penting yang senantiasa digunakan sebagai prinsip bekerja, yaitu semangat gotong royong, saling menghargai, dan musyawarah antarpekerja untuk membangun iklim kerja kondusif dan tujuan lebih terarah—mulai ditinggalkan. Realitasnya, kalah oleh narasi politik praktis yang dibangun oleh para oposan.
Politisasi
Dalam teori sosial, para pekerja atau kaum buruh merupakan elemen massa yang bisa dijadikan sebagai salah satu kekuatan politik. Dan, Karl Mark (1818-1883) adalah orang pertama yang menyatakan bahwa buruh harus menjadi subyek dari revolusi untuk mengubah tatanan dunia menuju sosialisme (The Concept of Social Class in Contemporary Marxist Theory, Massimo Modonesi/Editor, Alfonso Galileo García Vela/Editor, 2022).
Era keterbukaan politik merupakan momentum bagi para buruh untuk merepresentasikan aspirasi politiknya dalam upaya meningkatkan posisi tawar. Tampilnya kaum buruh dalam kontestasi politik formal di Indonesia (Pemilu 1999, 2004, dan 2009) menjadi penanda eksistensi kekuatan politik berbasis kaum buruh di Indonesia.
Selain nilai positif, politik juga menjadi instrumen utama yang melahirkan kebencian, intoleransi, konflik, bahkan hingga perang. Politik bisa merusak segala bentuk kaidah kehidupan (The Theology of Unity, Muhammad Abduh; 1898).
Bentrok antarpekerja seperti di Morowali Utara atau kegaduhan yang melibatkan kaum buruh yang terjadi dalam wilayah Indonesia (demo kaum buruh) sering dilatari kepentingan politik.
Dalam kajian akademis, insiden semacam ini bisa disebut sebagai laksisme atau pendirian yang menyimpang dalam pelaksanaan norma moral, kaidah, atau etika kerja dalam kehidupan sosial. Laksisme bisa terjadi secara individu, yaitu; korupsi, atau dalam komunitas secara kolektif seperti terjadi pada dunia para pekerja (kaum buruh).
Sebagai bentuk penyimpangan norma moral, laksisme terekspresikan dalam perilaku sosial yang menginginkan serba ”instan”, memilih jalan pintas, meskipun harus melanggar aturan (norma hukum). Korupsi yang lahir dari kesadaran praktis yang belakangan menjadi primadona banyak ”oknum” penyelenggara negara di Indonesia merupakan bentuk laksisme individu yang mengerikan.
Laksisme, sekecil atau sesederhana apa pun, tak boleh dibiarkan. Pembiaran berpotensi menjadikan kebiasaan (habit), baik individu atau secara umum (common habit). Penyimpangan norma moral yang semula hanya bersifat individu, berpotensi menjadi penyimpangan secara kolektif (komunitas).
Kemudian berlaku adagium; ”Norma moral suatu bangsa sangat menentukan kebenaran dan kesalahan sosial dalam dinamika kehidupan bangsa tersebut (The Elements of Moral Philosophy; James Rachels, 1986). Artinya, jika praktik laksisme dibiarkan, akan menjadi bencana bagi suatu bangsa.
Penegakan hukum dalam arti sebenar-benarnya adalah conditio sine qua non—syarat mutlak, bagi eksistensi suatu negara. Orang bijak bilang; ”Selama masih ada praktik laksisme atau penyimpangan norma moral, kaidah, atau etika kerja dalam kehidupan sosial, jangan harap ada negara!”
Penting untuk dimengerti, dan dipahami, bahwa penyimpangan dalam bentuk praktik laksisme tak bisa diselesaikan dengan imbauan untuk membangun kesadaran reflektif. Perlu proses panjang untuk mengubah laksisme menjadi rigorisme (nilai kepatuhan dan ketaatan pada hukum atau aturan). Laksisme adalah virus mengerikan yang gampang bermutasi dan sulit dideteksi.
Virus laksisme harus diberantas. Persoalannya bukan hanya pada budaya kerja kaum buruh semata, tetapi untuk menjaga harkat dan martabat—dalam konteks berbangsa dan bernegara.
”Tahukah engkau, siapa yang akan mendatangkan bencana bagi bangsamu? Mereka adalah orang yang tak pernah menyebar benih, tak pernah menyusun batu bata, dan tak pernah menenun kain! Mereka adalah orang yang menjadikan politik sebagai mata pencarian!” (The Wanderer; Kahlil Gibran, 1932).
Dan, Kahlil Gibran benar!
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan