Resesi Dunia 2023, Seberapa Parah?
Dari sejumlah indikator, sampai awal Februari 2023 telah terjadi perbaikan ekonomi dunia yang bergejolak sejak 2022. Ekonomi dunia tahun 2023 tidak seburuk seperti banyak diperkirakan orang. Resesi dunia dapat dihindari.
Seberapa parah resesi ekonomi dunia 2023? Pertanyaan ini muncul karena adanya kekhawatiran sedemikian besar terhadap perekonomian dunia yang baru pulih dari pandemi Covid-19.
Tidak mudah memperkirakan. Namun, dengan melihat dinamika penting yang terjadi, langkah yang ditempuh, terutama oleh negara penentu, kita akan mendapatkan gambaran keparahan resesi global dan pemulihannya.
Tidak ada ambang yang secara formal definitif berapa pertumbuhan ekonomi dunia dapat dikatakan mengalami resesi. Namun, konsensus yang disepakati lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), dan banyak ekonom terkemuka, menyatakan bahwa apabila pertumbuhannya kurang dari 2,5 persen, ekonomi dunia dapat digolongkan berada dalam resesi.
Laporan IMF, World Economic Outlook, Oktober 2022, memperkirakan ekonomi dunia 2023 hanya tumbuh 2,7 persen. Dengan perkiraan ini, IMF dan banyak ekonom menyebut 2023 sebagai feel like recession. Pada Januari 2023, IMF merevisi pertumbuhan ekonomi dunia ke atas, menjadi 2,9 persen, disertai berbagai indikator makro lain.
Baca juga: “Overthinking" Resesi
Meski lebih tepat disebut perlambatan ekonomi, kondisi ekonomi dunia cukup berat. Cukup jauh dari tren jangka panjang, yaitu rata-rata sekitar 3,8 persen. Perlambatan ekonomi juga disertai dengan harga tinggi sehingga sulit dilakukan langkah kontrasiklikal yang kuat untuk mendorong perekonomian dunia.
Lebih ringan
Resesi global berbeda dengan resesi suatu negara. Ekonomi AS, misalnya, dikatakan mengalami resesi jika mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) terhadap triwulan sebelumnya selama dua triwulan berturut-turut. Itu pun baru bersifat technical recession. Resesi yang lebih luas jika penurunannya signifikan, berpengaruh besar terhadap sektor-sektor penting seperti industri, perdagangan, serta lapangan kerja. Belum tentu bahwa suatu negara yang mengalami resesi mengalami kontraksi pertumbuhan sepanjang tahun berjalan.
Kalaupun disebut resesi global, kondisi ekonomi dunia 2023 diperkirakan lebih ringan dibandingkan krisis sebelumnya. Yang paling dekat adalah resesi sebagai dampak langsung dari pandemi Covid-19. Tahun 2020, ekonomi dunia terkontraksi 3,0 persen. Sedikit agak jauh ke belakang adalah resesi ekonomi dunia 2009 yang terjadi karena krisis keuangan global tahun 2008.
Pada 2009, ekonomi dunia mengalami kontraksi 0,1 persen. Ekonomi Indonesia dapat tumbuh 4,7 persen dan rebound 6,4 persen pada 2010. Dengan proyeksi IMF tahun 2023 tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 5 persen bukanlah hal yang sulit.
Secara ringkas, probabilitas terjadinya resesi global yang parah tidak besar. Namun, seperti tulisan saya di Kompas (6/5/2022), gejolak ekonomi dunia dapat berdampak cukup besar pada kawasan tertentu karena tingginya inflasi akibat gangguan rantai pasok ketika permintaan global pulih serta konflik terbuka antara Rusia dan Ukraina.
Situasi saat ini
Sampai awal Februari 2023 telah terjadi perbaikan terhadap ekonomi dunia yang bergejolak sejak 2022. Harga berbagai komoditas menurun karena ekspektasi perlambatan ekonomi dunia meski masih di atas sebelum pandemi.
Inflasi mulai terkendali di sejumlah negara besar. Pertumbuhan ekonomi sampai triwulan IV-2022 di sejumlah negara dan kawasan relatif stabil. Perlambatan moderat terjadi di beberapa negara. Kontraksi tentu saja juga terjadi di Rusia dan Ukraina.
Langkah global penting selanjutnya adalah menormalkan inflasi, antara lain, melalui kenaikan suku bunga.
Langkah global penting selanjutnya adalah menormalkan inflasi, antara lain, melalui kenaikan suku bunga. Perhatian tertuju pada Amerika Serikat karena kebijakan suku bunga AS berpotensi berpengaruh pada aliran modal dan ekonomi AS itu sendiri. Perkembangan terakhir menunjukkan, inflasi di AS dapat dikendalikan menjadi 6,5 persen pada Desember 2022 dari 9,1 persen pada Juni 2022.
Dua pandangan berbeda muncul terkait kenaikan suku bunga AS. Pertama, sebagian kalangan mengkhawatirkan kenaikan suku bunga yang agresif dapat mengakibatkan kontraksi ekonomi AS. Alasannya, inflasi saat ini lebih disebabkan oleh inflasi yang terkait dengan pandemi, kenaikan harga akibat pemulihan pasokan yang lebih lambat dari kenaikan permintaan.
Sebagian lain berpandangan, kebijakan suku bunga harus berperan dalam pengendalian inflasi. Apalagi, inflasi kali ini mengandung persistensi dari kebijakan moneter longgar sebelumnya dan keterlambatan The Fed menaikkan suku bunga.
Kebijakan moneter yang ketat dengan kenaikan suku bunga yang dramatis pernah dilakukan AS waktu menjinakkan inflasi akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an. Inflasi AS yang tinggi saat itu, hingga mencapai hampir 15 persen pada Maret 1981, antara lain, karena tingginya harga minyak mentah sehingga menuntut dinaikkannya suku bunga acuan hingga mendekati 20 persen. Langkah ini berhasil meski ekonomi AS harus mengalami kontraksi pada 1981 dan 1983.
Akhir 1983, inflasi AS bisa dikendalikan jadi 3,8 persen. Intinya adalah pentingnya kebijakan yang kredibel dan meyakinkan untuk membentuk jangkar yang kuat bagi stabilitas harga jangka panjang.
Seberapa agresif kenaikan suku bunga AS, Federal Funds Rate (FFR)? Perkembangan terakhir menunjukkan kenaikan FFR yang semakin kecil. Kenaikan berikutnya akan ditentukan perkembangan yang ada. Situasi yang ada, fundamental ekonomi AS masih cukup kuat.
Meski melambat, ekonomi masih tumbuh 1,0 persen (year on year) atau 2,9 persen (quarter to quarter) pada triwulan IV-2022. Keseluruhan 2022, ekonomi AS masih tumbuh 2,1 persen. Tingkat pengangguran yang masih rendah (3,4 persen, Desember 2022-Januari 2023) dan berbagai indikator lain menunjukkan ekonomi AS dapat terhindar dari resesi pada 2023.
Dampak kenaikan suku bunga belum terlalu besar bagi ekonomi AS. Artinya, kebijakan kenaikan suku bunga tetap dimungkinkan, tergantung seberapa cepat The Fed mencapai target inflasi 2 persen. Dengan inflasi mulai terkendali, kenaikan suku bunga tak akan sedramatis sebelumnya, tetapi tetap konsisten agar target inflasi tercapai tahun ini.
Ekonomi dunia tahun 2023 tidak seburuk seperti banyak diperkirakan orang.
Bisa dihindari
Meski ekonomi dunia 2023 dapat terhindar dari resesi, ada dua faktor lain yang dapat berpengaruh pada ekonomi dunia. Pertama, timbulnya krisis keuangan global, antara lain dipicu oleh aliran modal. Sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda akan adanya krisis yang membahayakan. Kesulitan memang dialami beberapa negara dengan ketahanan eksternal lemah dan utang, terutama luar negeri, yang besar.
Menguatnya mata uang dollar AS serta tingginya harga energi dan pangan mengakibatkan negara-negara itu mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban eksternalnya, tetapi sifatnya lokal dan tak akan memberi rembetan luas.
Kedua, konflik terbuka Rusia-Ukraina. Meskipun belum terlihat secara pasti resolusi dari konflik tersebut, sepanjang tak ada eskalasi yang luar biasa dan meluas, ekonomi akan menciptakan normalitas baru dengan meminimalkan pengaruhnya terhadap ekonomi dunia. Kawasan ekonomi yang awalnya terpengaruh oleh konflik itu akan mencari mekanisme baru untuk tetap tumbuh.
Ekonomi dunia tahun 2023 tidak seburuk seperti banyak diperkirakan orang. Ditambah dengan ekonomi China yang sudah mulai dilonggarkan, resesi ekonomi dunia bahkan dapat dihindari.
Bambang Prijambodo, Ekonom Senior, Mantan Deputi Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas