Sepertinya saya harus meminta maaf kepada Tim Investigasi Harian Kompas. Meski investigasi fenomena perjokian di dunia akademik Tanah Air dilakukan secara serius, saya justru membacanya sambil tertawa.
Betapa banyak akademisi kita yang sudah menjadi budak jabatan dan embel-embel kehormatan. Menjadi guru besar berpamrih ekonomi dan status akademik.
Membaca koran Kompas edisi Jumat (10/2/2023) mengingatkan saya pada salah satu obrolan dengan Bandung Mawardi (penulis dan pengarsip). Ia bertanya ada berapa nama guru besar yang saya ketahui. Saya hanya mampu menyebut kurang dari 10 nama.
Tentu saya salah karena masih kurang membaca. Namun, kesalahan yang lebih besar ialah banyak calon guru besar dan guru besar yang tidak memiliki tulisan untuk dibaca masyarakat awam. Mereka menerbitkan tulisan di jurnal nasional dan internasional, yang untuk membacanya malah harus membayar mahal. Masyarakat jadi tidak mengenal para guru besar dan keahliannya.
Fenomena ini berbeda dengan para guru besar pada masa lalu. Sebagai akademisi, mereka aktif menuliskan gagasannya di koran, majalah, dan buku. Mereka menjadi akademisi untuk mengangkat derajat masyarakat. Maka, ketika mereka diangkat menjadi guru besar, masyarakat bertepuk tangan dan mengatakan, ”Dia pantas menjadi guru besar.” Perbandingan ini jelas simplifikasi, tetapi saya kira cukup untuk jadi bahan refleksi.
Laporan investigasi harian Kompas edisi Jumat (10/2) mengungkap betapa gelar kehormatan sebagai guru besar banyak memperdaya akademisi. Guru besar adalah cita-cita nomor wahid. Mendidik dan mengangkat derajat masyarakat malah sabar mengantre.
Bagaimana para calon guru besar dan guru besar ini mendidik masyarakat jika mereka tidak jujur membedakan benar dan salah dalam kerja akademik?
Moch Ferdi Al QadriSarjana Pendidikan Agama Islam, Masjid Baitul Atiiq,Ngabeyan, Kartasura, Sukoharjo
”Bulik” Masih Ada
”Ke Mana ’Bibi’?” yang ditulis TK Somantri (Kompas, 10/1/2023) menarik.
Saya setuju bahwa seharusnya kata-kata baru hasil reka cipta pencinta bahasa Indonesia bisa memperkaya kosakata tanpa menghapus kata lama sinonimnya.
Meredup lalu menghilangnya sebutan bibi tak perlu terlalu diratapi. Kalau itu kemauan mayoritas pengguna BI, biar sajalah. Dalam hal kosakata, mereka sang raja. Mau jadi sebutan untuk asisten rumah tangga, biar saja.
Di ”Jawa” (setidak-tidaknya Jateng) bulik masih hidup, kok. Begitu pula paklik, budhé, yangti, dan yangkung.
L WilardjoKlaseman, Salatiga