Persoalan sampah sebangun dengan sejarah kehidupan manusia sebagai produsen sampah. Selama manusia tidak menyadari sampahnya dan tidak berniat membersihkan diri dari lumuran ”sampah”, maka sampah akan membentuk peradaban ”manusia sampah”.
Secara umum sampah berasal dari alam (daun, tangkai, bunga, buah, pohon kering) dan aktivitas manusia (plastik, kertas, seng, karet, selulosa, sisa makanan). Sampah yang tidak diurus mencemari lingkungan, mengganggu kesehatan, banjir, kotor, merusak etika dan estetika.
Sampah bukan alam berasal dari aktivitas rumah tangga, dikumpulkan, lalu diangkut berkala oleh petugas sampah. Dari sini persoalan muncul, sampah tidak dipilah sesuai jenisnya, petugas mengangkut tidak disiplin. Ada yang membuang sampah ke selokan, memicu banjir saat hujan. Ada yang berinisiatif membuang ke TPS, tetapi mayoritas mengandalkan petugas sampah.
Masih banyak perilaku membuang sampah sembarangan, mirisnya dianggap perilaku lumrah, kalau diingatkan tidak malu justru marah. Kesannya jika sampah sudah keluar dari rumah, bukan tanggung jawab pemilik rumah, tetapi sepenuhnya tanggung jawab petugas sampah, toh sudah membayar.
Kita ingat tahun 2005 TPA di Leuwigajah, Cimahi, longsor dan menimbulkan korban. Waktu itu ITB berhasil membuat alat pengolah sampah yang aman dan ditawarkan kepada pemerintah, tetapi ditolak.
Dalam rubrik Analisis Budaya, Linda Christanty melalui ”Suara dari Desa” (Kompas, 21/1/2023) mengulas warga Desa Jatipuro, Klaten, Jateng, yang secara swadaya berhasil mengolah sampah hingga berdaya guna. Keberhasilan tidak diperoleh sekejap, tetapi melalui proses panjang, konsisten, dan kerja sama.
Mereka berharap kepala daerah setempat mendukung dengan membeli produk olahannya, menggunakan dana desa yang mencapai Rp 1 miliar. Jika harapan ini dieksekusi, dana desa betul-betul untuk menyejahterakan semua warga desa.
Contoh positif itu bisa diterapkan di perkotaan. Lahan kota sempit, tetapi penduduknya padat. Jelas dampaknya adalah produksi sampah berlimpah yang perlu penanganan. Semua aktivitas menghasilkan sampah. Ini mesti disadari dan pelaku harus bertanggung jawab. Jangan mau enaknya, tetapi abai akibatnya.
Mengelola sampah mulai dari rumah tangga, anak-anak bisa diajarkan sejak dini. Ada ungkapan bagus, kebersihan merupakan bagian dari iman.
Yes SugimoJl Melati Raya E22/62 Melatiwangi Cilengkrang,Bandung 40616
Menunggu Keadilan
Saya mantan istri pegawai negeri sipil (PNS) Lalu Hamdani Husnan (LHH). Ia dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mataram.
Sampai saat ini, pembagian gaji saya selaku bekas istri PNS dari atas nama LHH belum juga beres dari Universitas Mataram, padahal saya telah menunggu beberapa tahun.
Saya telah melapor ke Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) 19 Desember 2017. Laporan ditindaklanjuti Ombudsman perwakilan NTB dengan menyurati Dekan FEB Universitas Mataram, 5 Februari 2018. Isinya permintaan keterangan kepada Dekan FEB Unram perihal permohonan penyelesaian pembagian gaji bekas istri PNS atas nama LHH.
Kemudian muncul Surat Ombudsman 12 Februari 2018, berisi kesepakatan para pihak menunggu hasil koordinasi FEB dengan rektorat terkait pendapatan LHH. Namun, hingga saat ini belum ada penyelesaian pembagian gaji.
Saya hidup dengan tiga anak LHH, yang setelah perceraian hidup tanpa bantuan moril ataupun materiil dari LHH. Komunikasi pun terputus.
Upaya saya didasari oleh Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 8/SE/1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. PNS yang akan bercerai wajib memperoleh izin tertulis dari pejabat.
LHH menggugat cerai saya pada 3 Oktober 2011 di Pengadilan Agama tanpa menggunakan izin pejabat. Ia pernah ditanya majelis hakim, tetapi LHH menyatakan sanggup menanggung segala risiko agar sidang bisa dilanjutkan.
Atas gugatan cerai itu, saya sudah melapor ke FEB tentang pembagian gaji PNS yang bercerai, sesuai PP Nomor 10 Tahun 1983.
Leni SundaniPNS, Jalan Nuri Monjok Baru, Kota Mataram, NTB