Persidangan kasus Ferdy Sambo boleh jadi merupakan pengadilan terbesar abad ini. Babak pertama telah berakhir, tetapi masih ada tahap berikutnya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ketukan palu ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 15 Februari 2023, untuk sementara menyudahi perdebatan di persidangan. Wajar ada pro dan kontra. Putusan majelis hakim itu menjungkirbalikkan tuntutan jaksa penuntut umum.
Ini tentunya harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh terhadap institusi kejaksaan. Bagaimana rasa keadilan jaksa penuntut umum bisa amat berbeda dengan rasa keadilan majelis hakim dalam sebuah persidangan yang sama? Memeriksa kasus di tempat yang sama, orang yang sama, saksi yang sama, tetapi rasa keadilan bisa berbeda.
Terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal hukumannya diperberat oleh majelis hakim. Sambo dari tuntutan seumur hidup menjadi vonis mati, Putri dari tuntutan 8 tahun menjadi 20 tahun penjara, Kuat dari 8 tahun menjadi 15 tahun, dan Ricky dari 8 tahun menjadi 13 tahun. Adapun terdakwa penguak fakta, Bharada Richard Eliezer, dihukum paling ringan, yakni 18 bulan penjara, dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Eliezer 12 tahun penjara.
Vonis hakim itu sejalan dengan rasa keadilan publik. Keadilan publik memang terkoyak-koyak dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Eliezer 12 tahun penjara. Pihak kejaksaan menyebut Eliezer adalah eksekutor. Padahal, Eliezer adalah penguak fakta.
Tanpa keberanian dan kejujuran Eliezer, tidak mungkin ada persidangan terbesar abad ini yang mendapatkan sorotan publik begitu luas. Eliezer mengakui dirinya menembak atas perintah Sambo. Ia meminta maaf. Presiden Joko Widodo sampai empat kali bersuara, publik tergerak, akademisi yang selama ini tertidur tergerak, untuk memperjuangkan kebenaran, memperjuangkan keadilan yang justru kian langka.
Vonis mati terhadap Sambo bisa saja memenuhi rasa kegeraman publik. Kegeraman atas perintah penembakan oleh Sambo kepada Eliezer, kegeraman atas rekayasa untuk menutupi perkara. Namun, vonis mati tetap mengganjal dari perspektif hak asasi manusia kendati konstitusionalitas hukuman mati beberapa kali masih dibenarkan Mahkamah Konstitusi.
Bagi Sambo, Putri, Kuat, dan Ricky terbuka upaya hukum untuk banding, kasasi, peninjauan kembali, bahkan sampai grasi. Khusus untuk vonis mati, masih ada celah melalui pemberlakuan KUHP yang memberikan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati. Publik masih menantikan reaksi jaksa.
Hasil akhir menyampaikan sebuah pesan akan hadirnya kejujuran di atas berbagai kepentingan. Namun, untuk kejujuran, butuh perjuangan dan pengorbanan. Apa pun yang terjadi, setialah pada nilai kejujuran yang kian langka. Hasil akhir masih memunculkan tanya, sebenarnya apa motif pembunuhan Yosua, lalu perbaikan apa di tubuh kepolisian.