Di tengah arus disrupsi teknologi AI, ”sekoci-sekoci” perlu disiapkan untuk dikendarai para guru. Sekoci itu adalah pendidikan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dengan pemanfaatan teknologi secara tepat.
Oleh
WAHYU WIDODO
·4 menit baca
Utamanya bagi dunia pendidikan, teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT yang dirilis sejak akhir 2022 telah memunculkan rasa kekhawatiran dan ketidakberdayaan. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, ChatGPT mampu memberikan jawaban yang mengesankan atas berbagai pertanyaan yang dikirimkan oleh pengguna.
Tak jarang, kecerdasan buatan ini disalahgunakan oleh para siswa untuk menyelesaikan tugas dan makalah ilmiahnya. Meskipun pada kasus-kasus di Indonesia belum banyak ditemui, kasus-kasus serupa saya kira tinggal menunggu waktu saja.
Kemunculan teknologi AI seperti ChatGPT adalah sebuah keniscayaan dari suatu perkembangan teknologi digital. Meskipun saat ini masih ditemukan beberapa kelemahan berupa kesalahan jawaban, penyempurnaannya juga tidak akan memakan waktu lama sehingga upaya-upaya untuk menolak keberadaannya adalah suatu tindakan yang sia-sia.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dengan demikian praktik transfer pengetahuan yang dilakukan guru di kelas-kelas masih relevan? Atau dengan pertanyaan yang lebih tajam, apakah peran guru akan tergantikan mengingat teknologi AI lebih perkasa daripada memori manusia?
Saat ini, perilaku yang menuntut tersedianya informasi yang serba cepat dan singkat telah menjadi arketipe tak hanya siswa dari generasi Alpha namun masyarakat modern pada umumnya termasuk guru. Dalam hal itu, ChatGPT adalah kawan yang baik bagi mereka. Lihatlah, siswa lebih memilih mengetik percakapan di ChatGPT untuk mendapatkan jawaban daripada melakukan penelusuran referensi, menganalisis, lalu menyintesiskannya. Oleh karena itu, kekhawatiran bahwa teknologi AI akan mendisrupsi pendidikan menjadi hal yang wajar.
Ibarat kapal yang akan karam, maka penumpang perlu diselamatkan dengan sekoci-sekoci. Karamnya kapal itu menggambarkan situasi praktik pendidikan konvensional saat ini yang akan benar-benar tenggelam. Guru sebagai satu-satunya sumber belajar agaknya tak lagi relevan. Rasa ingin tahu siswa semakin luas, sedangkan ingatan guru terbatas.
Jangankan peran guru, teknologi AI seperti ChatGPT bahkan diprediksikan akan melahap teknologi yang muncul sebelumnya.
Maka, guru yang selama ini hanya menampung pengetahuan untuk disalurkan ulang kepada siswa-siswanya akan tidak berdaya apabila dihadapkan pada teknologi AI. Jangankan peran guru, teknologi AI seperti ChatGPT bahkan diprediksikan akan melahap teknologi yang muncul sebelumnya. Kalau dulu sering kita dengar ”tanya mbah Google”, rasanya ke depan itu akan tergantikan ”tanya mbah ChatGPT”.
Sebagaimana di setiap kapal disiapkan sekoci, maka di tengah arus disrupsi teknologi AI, ”sekoci-sekoci” itu juga perlu disiapkan untuk dikendarai oleh para guru sehingga mereka tidak lagi merasa takut akan tenggelam. Malahan, dengan sekoci itu mereka akan mampu berlayar. Sekoci itu adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang memanusiakan
Diktum pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia telah lama kita dengar, tetapi aktualisasinya hingga kini masih samar. Proses pendidikan masih saja memberikan porsi besar kepada penguasaan content knowledge bagi para siswanya. Hal itu mungkin saja masih relevan pada saat dahulu karena keterjangkauan pengetahuan yang masih sulit sehingga setiap siswa perlu menuliskan ulang atau bahkan menghafal fakta, konsep, dan teori-teori. Namun, saat ini orientasi serupa tak lagi diperlukan. Pengetahuan telah tersimpan di ”otak kedua”, yaitu perangkat teknologi.
Di sisi lain, orientasi pada penguasaan content knowledge mengakibatkan pembelajaran cenderung berfokus pada kemampuan kognisi. Praktik pendidikan seperti itu pun juga sudah sejak lama dilaksanakan. Meskipun demikian, peringkat Indonesia dalam survei PISA dapatlah menjadi cermin dari wajah pendidikan kita saat ini. Lihat, pembelajarannya berfokus kepada kognisi tetapi nilai yang menggambarkan kemampuan kognisi tampak betah bercokol di peringkat bawah. Sungguh paradoks!
Pendidikan yang memanusiakan perlu diaktulisasikan secara kafah, yakni pendidikan yang berorientasi pada fungsi optimal manusia.
Oleh karena itu, praktik pendidikan seperti itu tak layak dilanjutkan. Pendidikan yang memanusiakan perlu diaktulisasikan secara kafah, yakni pendidikan yang berorientasi pada fungsi optimal manusia. Dengan begitu, setiap siswa memiliki keterampilan dalam menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk memecahkan masalah yang mengantarkan pada kebahagiaan hidup.
Soal itu sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi dunia pendidikan. Para intelektual Yunani kuno telah mencontohkannya, sebut saja Akademia, sekolah yang didirikan oleh Plato. Sebagaimana yang tertulis dalam karya-karyanya, Plato melalui Akademia mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana menjalani hidup dengan baik, yakni dengan menempatkan kebahagiaan sebagai tujuan akhir melalui aktualisasi nilai-nilai kebajikan.
Orientasi pendidikan yang memanusiakan dengan tujuan akhir meraih kebahagiaan hidup itulah yang tak bisa diambil alih perangkat teknologi AI. Secara sederhana untuk memahami arah ini adalah dengan merenungkan pertanyaan, bahagiakah kita apabila menyalahgunakan teknologi AI untuk mencapai target-target capaian dengan mengelabui integritas akademik?
Bagi peran antara guru dan teknologi
Pemanfaatan ChatGPT pada level pendidikan tinggi, sebagaimana hasil riset terkini dari Lucey dan Dowling (2023) menyatakan, di balik superioritasnya, ChatGPT mengandung beberapa kelemahan, di antaranya ketidakakuratan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks yang melibatkan beberapa tahapan proses konseptual.
Celah itulah yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang untuk bagi peran antara guru dan teknologi. Oleh karena itu, alih-alih melawan perkembangan teknologi, sebaliknya yang perlu dilakukan adalah mengendarai teknologi. Dalam hal ini, guru mengurusi manusianya. Teknologi mengurusi basis data pengetahuannya.
Tahapan proses konseptual adalah ciri dari dunia ide yang hanya dimiliki manusia. Dengan demikian, guru perlu kembali menekuni pikiran-pikiran filsafat dan mengaktualisasikannya dengan penguasaan ilmu psikologi. Dua keilmuan itu sekali lagi saling berkelindan untuk mengarahkan kehidupan siswa kepada pencapaian kebahagiaan yang bermakna melalui tindak kebajikan dengan memproduksi karya-karya intelektual yang bermartabat.
Sementara, teknologi AI seperti ChatGPT dapat dimanfaatkan sebagai basis data pengetahuan yang akan banyak membantu guru untuk membuat rancangan-rancangan pembelajaran, utamanya pada pengorganisasi materi pembelajaran.
Dengan demikian, kekhawatiran akan fenomena ChatGPT tak perlu lagi diperpanjang. Kesadaran untuk segera menyiapkan sekoci berupa seperangkat alat pendidikan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dengan pemanfaatan teknologi secara tepat akan dapat membantu siswa mengarungi arus disrupsi teknologi AI dengan selamat.