Perjokian, Antara Beban dan Status
Ada sejenis ”simbiosis mutualisme” antara para akademisi dan para joki. Para akademisi butuh karya ilmiah demi syarat, predikat, dan status, para joki butuh penghasilan . Maka, jadilah gotong royong di antara mereka.
Harian Kompas, Jumat (10/2/2023), menurunkan laporan miris: calon guru besar, dosen, dan mahasiswa terlibat perjokian karya ilmiah. Luar biasa, tetapi ini sebetulnya bukan teramat rahasia di dunia perguruan tinggi (PT).
Perjokian, tunggang-menunggang, atau apa pun istilahnya, kadang terjadi (untuk tak mengatakan kerap terjadi) tanpa rasa malu akademik. Perjokian itu mengingatkan kita akan tulisan lama Bruce Wilshire, The Moral Collapse of the University (1990). Perjokian telah mengkhianati, merusak, dan membohongi profesionalitas serta purifikasi ilmiah yang kemudian bisa bermuara pada keterasingan PT dari masyarakat yang waras.
Barangkali publik selama ini percaya, dunia PT adalah wilayah elite akademik yang jujur dan orisinal, pelopor kewarasan, kemandirian, dan kerja keras.
Namun, liputan Kompas telah membuka mata bahwa realitasnya tidak demikian. Perjokian adalah salah satu rangkaian penyakit patologis ”ilmiah”, di samping budaya plagiarisme, yang sulit diberantas. Perjokian juga terjadi di masyarakat kita yang suka jalan pintas atau potong kompas bagi urusan apa saja. Maka, ketika kultur perjokian pindah ke kampus, tidaklah mengherankan. Jangan-jangan masyarakat pun tak kaget dengan kenyataan macam itu.
Perjokian adalah salah satu rangkaian penyakit patologis ”ilmiah”, di samping budaya plagiarisme, yang sulit diberantas.
Ketidakwarasan di masyarakat dan ”maksiat” akademik di kampus bisa berubah menjadi ”waras, biasa, dan wajar”. Ada sejenis ”simbiosis mutualisme” (kerja sama menguntungkan) antara dunia kampus dan sosial. Di satu pihak, para elite akademis butuh karya ilmiah demi syarat, demi predikat, dan status insan paling atau sok ilmiah.
Di lain pihak, para joki butuh penghasilan atau tambahan pundi-pundi. Maka, jadilah gotong royong mesra di antara kedua dunia bercampur itu. Pada akhirnya batas yang tegas antara olah akal budi, pengalaman, moral akademik di PT dan jalan pintas produk budaya perjokian menjadi kabur. Mungkin juga mulai kehilangan batas.
Beban dosen
Para dosen, calon guru besar (GB), GB, dan pemerintah tentunya tahu berbagai beban akademik yang mesti dipikul dosen. Misalnya, beban kinerja dosen (BKD) dan laporan kinerja dosen (LKD) yang wajib disusun dan dilaporkan setiap semester.
Komponen LKD harus terpenuhi: pengajaran, penelitian, publikasi, pengabdian pada masyarakat, dan lain-lain. Paradoksnya ialah bahwa pemenuhan itu bukan pembebasan diri dari beban, melainkan justru pemenuhan tuntutan beban agar kemudian mendapat uang sertifikasi dosen. Ini belum dihitung dengan tugas lain di masyarakat dan di kampus yang mesti dijalankan dosen.
Semua beban itu seolah-olah jadi ”hantu akademik” yang mengintai dosen setiap menjelang awal semester. Walau kata ”beban” bermakna tak enak didengar (karena mesti ditanggung, dipikul), kata itu kini telanjur jadi terma akademik: beban mengajar (beban SKS), beban penelitian, beban kinerja, dan sebagainya. Kita khawatir, jangan-jangan profesi dosen tak lagi menarik bagi generasi milenial karena dipenuhi beban.
Dosen pun sibuk memenuhi tuntutan (terutama administratif) diiringi rasa cemas tingkat tinggi beban-beban dan LKD- nya tak terpenuhi. Dosen juga khawatir tak diberi uang sertifikasi jika tak mengisi LKD.
Maka, penelitian ilmiah, misalnya, tujuannya bukan supaya hasilnya berguna bagi ilmu pengetahuan dan kemaslahatan masyarakat, tapi terutama agar bisa mengisi form LKD. Publikasi karya ilmiah—entah sungguh dibaca publik atau hanya dibaca sendiri, plus di-review redaktur jurnal—pun demi terpenuhi unsur publikasi di LKD.
Pengabdian pada masyarakat juga sama. Apakah dosen memang murni bertanggung jawab dan mengabdi kepada masyarakat? Ataukah itu hanya salah satu syarat subyektif bagi keperluan dosen itu sendiri? Jika memang murni bagi masyarakat, patut diapresiasi. Sangat dikhawatirkan jika pengabadian pada masyarakat hanyalah ”demi beban”.
Baca juga : Investigasi Joki Karya Ilmiah
Demi meringankan pelbagai beban itu, mengurangi rasa cemas, memperlancar urusan administrasi, serta demi status plus gelar bergengsi, muncullah ”penyelamat”, yakni joki. Siapa yang salah dalam hal ini: PT, calon GB, sistem dan aturan pendidikan tinggi (yang tak sekadar banyak, tapi juga ruwet), ataukah joki itu sendiri?
Ataukah sebetulnya tiada siapa pun bersalah, baik karena ”sama-sama butuh, tahu sama tahu”, maupun standar permisif dari PT di Indonesia? Entahlah. Perjokian adalah fakta skandal memalukan di dunia pendidikan tinggi kita terkait karya ilmiah.
Para dosen atau calon GB diharapkan selalu melakukan penelitian ilmiah dengan temuan ”baru” (invention), tetapi beban tadi membuat penelitiannya berkesan asal jadi, hanya ”catatan kaki” dari penelitian lain (discovery), bahkan menjiplak sambil memanipulasi tulisan, dan sebagainya.
Dosen atau calon BG diminta rajin memublikasikan karyanya di jurnal-jurnal bertaraf dunia, tetapi beban membuat karya ilmiah sekadar reproduksi produktif karya-karya yang pernah ada. Dosen harus kerja keras, tetapi bebanlah yang membuat joki menjadi ”penting”.
Fenomena joki adalah masalah pendidikan tinggi. Ia tak dapat dianggap barang sepele. Kata joki berkonotasi ”pengalihan beban” karena ketidakmampuan dosen atau katakan saja ”jalan pintas pragmatis” yang ditempuh. Dunia PT yang toleran dan akrab dengan model perjokian adalah sebuah defisit moral akademik dan konyol.
Perjokian karya ilmiah (walau bukan fenomena baru) muncul dalam rangka ”menolong” untuk meringankan beban dosen; pertolongan demi status terhormat ”guru besar” yang berujung skandal PT. Maka, macam mana pun karya ilmiahnya, yang penting ada karya ilmiah. Lantas, para joki berperan sebagai agen atau ”biro perjalanan” menuju status GB. Inilah yang semestinya mendapat perhatian khusus dari semua PT kita.
Status terhormat, gelar, dan jabatan akademik tinggi, julukan ”amat terpelajar”, dan kebanggaan sosial, rupanya ikut mendorong munculnya jalan pintas via joki tadi.
Status akademik
Bahwa mahasiswa, dosen, calon GB, dan GB harus melakukan penelitian, menghasilkan karya ilmiah bermutu, berguna, dan memublikasikannya adalah keharusan akademik, dan tentu itu bukan beban. Namun, menggunakan ”agen” bernama ”joki” demi status, melawan sekurang-kurangnya dua prinsip akademik, yakni kejujuran dan keaslian (Jon Nixon, 2008). Celakanya, prinsip-prinsip itu mulai lenyap dari dunia PT dan sirna dari tradisi moral akademik kita.
Tampaknya, perjokian, khususnya untuk calon GB, digunakan demi meraih status GB dengan semua ikutannya, seperti kewenangan administratif dan otoritas ilmiah.
Status terhormat, gelar, dan jabatan akademik tinggi, julukan ”amat terpelajar”, dan kebanggaan sosial, rupanya ikut mendorong munculnya jalan pintas via joki tadi. Bahkan, demi terbitnya artikel di jurnal internasional terindeks Scopus (bergengsi, tetapi tak gampang ditembus), sistem joki dan membayar mahal pun dilakukan.
Publikasi karya ilmiah di jurnal mulia adalah salah satu syarat mutlak dikeluarkannya surat keputusan (SK) GB. Joki bisa ”bermain” pula di sini.
Tidak hanya itu. Konon, model perjokian digunakan juga dalam pengisian borang akreditasi atau reakreditasi PT, program studi (prodi) atau fakultas. PT atau prodi ingin memperoleh status ”unggul” atau ”terakreditasi dengan nilai A”.
Status penting ini terkait dengan ”laris”-nya PT dan prodi di pasaran sosial dan dipandang berkualitas di mata pemerintah. Entah karena malas, banyak standar (sembilan standar), ruwet, dan ingin cepat selesai, maka digunakan joki. Joki pun bersorak-sorai karena ada pekerjaan bergengsi dan ”ilmiah” itu.
Seharusnya bukan pragmatisme atau utilitarianisme dengan prinsip it works for us yang dilirik (karena ada di wilayah akademik) PT, melainkan kerja keras melalui tim yang dibentuk untuk itu. Namun, seperti disebut di depan, budaya perjokian rupanya lebih menarik dan telah merasuk sampai ke level institusi, ke tingkatan akreditasi daripada kerja-kerja mandiri.
Ada banyak dosen, calon GB, dan GB di Indonesia yang mengesampingkan soal status dalam profesi mereka. Tak sedikit pula yang punya integritas moral akademik yang tinggi.
Karya-karya ilmiah mereka layak direkognisi dan menjadi referensi (rujukan) bagi pengembangan ilmu di PT. Mereka adalah harapan bagi tiadanya tegangan antara beban dan status. Mereka pun tidak tergoda untuk pergi ke para joki untuk dilakukan perjokian atau tunggang-menunggang.
Melenyapkan virus perjokian tentu bukan pekerjaan mudah bagi PT, masyarakat, dan pemerintah. Ketika perjokian dan agen-agennya akhirnya bisa hilang, masalah baru muncul: bercampur aduknya beban dan status, akademik non-akademik, ilmiah dan ngawur, jujur dan omong kosong, yang boleh jadi semakin sulit diurai dan dibedakan identitasnya.
Hyronimus Rhiti Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta