Berbeda untuk Bersatu
Gelar doktor kehormatan bagi tiga tokoh dari tiga komunitas untuk mensyiarkan pentingnya kebersamaan kemanusiaan dalam perbedaan dan perbedaan kemanusiaan dalam kebersamaan sebagai modal sosial menegakkan persatuan.
”Kita semua hari ini bersama-sama berkumpul, tidak ada yang sama. Semua berbeda diciptakan untuk tidak sama. Tujuannya agar kita bersatu. Yang sama tidak perlu dibedakan, yang beda tidak perlu disamakan. Mari hargai perbedaan dan hindari perpecahan.”
Pesan moral yang disampaikan Menteri Agama Gus Yaqut Chalil Qoumas pada penutupan Hari Amal Bhakti Kementerian Agama tahun 2023 menemukan konteksnya saat berbagai lelaku kebajikan dan kemanusiaan secara lintas afiliasi tergelar di hajatan satu abad Nadlatul Ulama (NU) pada 7 Februari 2023.
Dalam hajatan NU yang dihadiri jutaan warga dan pencinta NU, ada suasana batin dan keterpanggilan hati yang dilakukan oleh beberapa komunitas keagamaan, seperti Muhammadiyah, umat Kristiani, dan komunitas lainnya dalam memfasilitasi berbagai kebutuhan pangan, sarana kesehatan, dan tempat beribadah bagi para warga NU yang tumpah ruah di berbagai ruas jalan di sekitar GOR Deltras Sidoarjo, Jawa Timur.
Baca Juga: Menguatkan Semangat Persaudaraan pada Resepsi Seabad Nahdlatul Ulama
Lelaku kebajikan lintas afiliasi serupa juga diekspresikan H Roemani, tokoh NU Semarang, ketika menyumbangkan tanahnya untuk pengembangan Rumah Sakit Muhammadiyah di Semarang. Demikian pula pengorbanan tokoh muda NU, Riyanto, yang rela mewakafkan dirinya di pintu gerbang kematian demi menyelamatkan jamaat gereja dari ledakan bom di Mojokerto pada Desember 2000.
Berbagai lelaku kebajikan lintas afiliasi yang diekspresikan kader-kader NU, Muhammadiyah, nasrani, dan komunitas lainnya menjadi modal sosial yang meyakinkan kita semua bahwa persatuan adalah ”permadani suci” yang selalu digunakan oleh kelompok besar masyarakat Indonesia untuk merajut persatuan dan kebersamaan tanpa pandang kelompok, agama, ras, dan suku.
Persatuan sebagai inspirasi
Dalam kaitan ini, lelaku kebajikan lintas afiliasi yang ditunjukkan Muhammadiyah ataupun kaum nasrani di hajatan Satu Abad NU dan pengorbanan kader NU di berbagai hajatan Muhammadiyah dan nasrani ataupun komunitas lainnya memberikan inspirasi kepada kita semua bahwa persatuan adalah warisan utama yang harus dirawat dan dijaga fitrahnya. Persatuan adalah sunatullah yang mempertemukan semua kalangan dan berbagai status sosial. Persatuan adalah rajutan emosional yang saling melebur tanpa menyoal kembali perbedaan. Sebab, perbedaan adalah proses untuk mengenal yang meneguhkan pentingnya persatuan.
Pelajaran moral yang sangat berharga yang ditunjukkan berbagai komunitas keagamaan tersebut menjadi laboratorium sosial yang sangat empirik bagi siapa pun yang ingin memanifestasikan persatuan dalam berbagai lingkup hidupnya. Selain itu, pelajaran moral ini menjadi sarana ilmu terapan bagi semua kaum terpelajar agar mempraktikkan ilmu pengetahuannya untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi pihak lain.
Pelajaran moral yang sangat berharga yang ditunjukkan berbagai komunitas keagamaan tersebut menjadi laboratorium sosial yang sangat empirik bagi siapa pun yang ingin memanifestasikan persatuan dalam berbagai lingkup hidupnya.
Berangkat dari peran serta tiga komunitas keagamaan yang selama ini menunjukkan komitmennya dalam merawat kebersamaan dan persatuan dalam perbedaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keragaman, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga merekognisi kerja keras dan semangat luhur ketiga komunitas dengan pemberian gelar kehormatan (doctor honoris causa) kepada ketiga tokohnya pada Senin, 13 Februari 2023. Adapun gelar doktor kehormatan disematkan kepada KH Yahya Chalil Staquf (selaku Ketua Umum PBNU), Sudibyo Markus (selaku Ketua PP Muhammadiyah), dan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot (selaku Presiden Badan Kepausan untuk Dialog Lintas Agama dan Vatikan).
Secara sosiologis, apa yang dilakukan UIN Sunan Kalijaga menjadi bagian penting dalam merekam jejak keterlibatan ketiga komunitas tersebut yang selama ini konsisten menjaga dan merawat ekosistem perdamaian di Indonesia dan dunia. Bersama komunitas sosial dan keagamaan lainnya, ketiga komunitas tersebut menjadi garda terdepan dalam mencegah potensi-potensi konflik horizontal yang mengancam keamanan dan kenyamanan kehidupan masyarakat.
Selain itu, melalui momentum akademik yang sakral ini, UIN Sunan Kaliaga juga ingin mengingatkan masyarakat Indonesia dan warga dunia bahwa, memasuki masa-masa pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya, setiap orang harus mewaspadai adanya segregasi sosial yang disebabkan oleh perbedaan afiliasi dan pilihan yang dilandasi politik kekuasaan.
Baca Juga: Agama dan Perdamaian Global
Sebab, banyak kalangan yang sudah terperosok ke dalam kubang perseteruan dan konflik yang berakibat kepada permusuhan, bahkan pembunuhan. Satu dengan yang lain seolah tak menyadari bahwa perbedaan afiliasi dan pilihan hanyalah salah satu rangkaian hak asasi yang lazim dimiliki oleh siapa pun. Namun, lantaran perbedaan itu selalu disikapi dengan energi negatif-dekonstruktif, setiap pihak yang tak sama selalu dijadikan lawan yang wajib dibinasakan.
Oleh karena itu, dengan hadirnya ketiga tokoh sentral dari tiga komunitas dalam mimbar akademik yang sangat terhormat ini, UIN Sunan Kalijaga ingin mensyiarkan ke berbagai penjuru dunia tentang pentingnya ”kebersamaan kemanusiaan dalam perbedaan dan perbedaan kemanusiaan dalam kebersamaan” sebagai modal sosial dalam menegakkan persatuan.
Meresapi matra persatuan
Dalam kaitan ini, setidaknya ada empat aspek penting yang disadari oleh UIN Sunan Kalijaga mengapa persatuan harus menjadi permadani suci dalam kehidupan manusia yang harus dipahami dan dilakoni bersama. Pertama, secara geografis, negara Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan keluasan kawasan 95 derajat-141 derajat Bujur Timur dan 6 derajat Lintang Utara-11 derajat Lintang Selatan diikat dalam satu nasib dan sepenanggungan yang setara. Hal ini sebagaimana tercatat dalam Sumpah Pemuda pada 28 oktober 1928 bahwa setiap orang mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kedua, secara ideologis, persatuan dipayungi oleh sebuah ”kata bersama” yang bernama Pancasila. Perbedaan jarak dari Sabang sampai Merauke yang dilingkupi ribuan pulau dan suku tentu harus dilapisi oleh sebuah konsensus yang bisa mengakomodasi berbagai karakter geografis. Ketika Presiden Soekarno mendeklarasikan tanggal 1 Juni 1945 sebagai kelahiran Pancasila, setiap orang perlu belajar memahami dan menyikapi pentingnya sebuah titik lebur (melting pot) keragaman yang dilapisi persatuan (Bhinneka Tunggal Ika).
Ketiga, secara teologis, persatuan merupakan risalah ketuhanan yang termaktub dalam berbagai ajaran agama dan kitab suci yang diimani dan dipedomani masing-masing penganutnya. Setiap agama mengajarkan sebuah kerukunan yang dilandasi persatuan. Kalaupun ada perbedaan manifestasi sistem kepercayaan dalam berbagai laku spiritual dan ritual, bukan berarti menafikan persatuan. Sebab, hanya dengan persatuan sebuah bangunan akan kokoh dan sebuah ikatan akan kuat. Metafora ini bisa ditelisik dalam ajaran Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Khonghucu, dan keyakinan yang lain.
Baca Juga: Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama
Keempat, secara sosio-antropologis, merujuk kepada kajian Denis Lombard, posisi saling silang afiliasi (cross cutting affiliation) dalam kehidupan masyarakat Indonesia berdampak positif kepada tumbuhnya lalu lintas aspek-aspek sosial. Dengan adanya saling silang tersebut, masing-masing orang menyerap nilai-nilai kearifan yang dimiliki antarkelompok sekaligus mengalami campur baur identitas yang tak lagi dibatasi kepada kohesi sosial yang monolitik. Dampaknya, setiap ketegangan budaya dan masalah sosial yang terjadi dapat diselesaikan secara adat dan kearifan lokal.
Keempat matra ini menjadi sebuah inspirasi bagi UIN Sunan Kaliaga untuk merawat dan menjaga persatuan dan kebersamaan dalam keragaman dan perbedaan. Melalui penganugerahan doktor kehormatan kepada tiga tokoh penting di NU, Muhammadiyah, dan Katolik, ada pelajaran berharga yang bisa kita resapi dan sadari tentang pentingnya cinta, rasa bersama, kemaslahatan, dan kemanusiaan ketika hidup di ruang kehidupan yang beragam.
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU Yogyakarta; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga