Kesahihan Sains
Dalam perjokian karya ilmiah, yang sebenarnya terjadi adalah hilangnya standar sains yang layak, bermoral, dan ukuran ”output” yang berbeda. Kesahihan sains jadi ukuran dari kelayakan dan moralitas tersebut.
Terbonsainya kebebasan akademik menurut Herlambang Wiratraman dalam "lmuwan dan Taman Manipulatif” (Kompas, 28/4/2022) dan polemik perjokian guru besar (Kompas, 10/2/23) merupakan awal dari kematian sains dan iptek.
Kalau disimak tanda-tanda kematian sains dan iptek yang jamak kita ketahui adalah pendangkalan metodologi dan kesepakatan tentang batas (threshold) kesahihan sains yang mulai diabaikan. Menyimak reformulasi BRIN yang tengah berlangsung di antara debat para ilmuwan, sebenarnya persoalan mendasar yang tengah dihadapi ilmuwan dan saintis kita saat ini adalah kedalaman dan ketajaman iptek dalam mengawal kehidupan dan pembangunan.
Kita tidak memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas sejauh mana iptek diperlukan dalam mengawal pembangunan, mengawal kebijakan, dan mengukur keberhasilan. Apalagi era revolusi 4.0 saat ini, pembiasan keberhasilan tersamarkan oleh gemerlap media sosial. Media sosial mampu membius masyarakat untuk kemudian sepakat kepada fatamorgana keberhasilan yang selanjutnya dianggap keputusan yang sudah berbasis sains. Apalagi ketika kemudian juga menampilkan aksi heroik dari sebuah proses pembangunan yang bukan capaian luar biasa, tetapi mandatori dari amanat yang diembannya.
Baca juga: Investigasi Joki Karya Ilmiah
Di sisi lain, riset dan inovasi kita yang berperan sebagai mesin sains terjebak pada ruang administrasi yang berkepanjangan sehingga peneliti dan ilmuwan lupa dalam mempertajam metodologi sains. Kecakapan administrasi kemudian melahirkan ilmuwan profesional administratif daripada ilmuwan substantif. Maka tidak heran kemudian muncul juga kebijakan yang tidak tepat secara substantif, namun berlabel evidence base dengan metodologi yang dangkal.
Kita lihat bagaimana kemudian lahir kebijakan guru besar kehormatan di tengah-tengah ilmuwan, peneliti dan dosen berjibaku mencari bukti-bukti ilmiah dari sebuah sebuah persoalan melalui riset. Begitu juga kebijakan berbasis risiko dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak menempatkan ruang dan sains sebagai basis penetapan kegiatan berbasis risiko, tetapi lebih memilih jenis kegiatan sebagai pembatasan. Dengan demikian, investasi kemudian tidak malah mengurangi risiko dan bencana, tetapi memperdalam angka kejadian bencana, yang tercatat meningkat lebih dari 10 persen setiap tahun.
Dalam pengamanan pembangunan juga demikian, kebijakan relokasi zona inti konservasi yang mengemuka dalam PP No 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang kelautan dan Perikanan turunan UU Cipta Kerja tanpa dasar ilmiah diperbolehkan untuk kepentingan investasi. Dari poin di atas kita menangkap bahwa yang terjadi sebenarnya adalah pengabaian sains dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Proses dan ukuran yang dianggap ideal untuk menjadi seorang guru besar, yang terdisrupsi oleh kebijakan guru besar kehormatan, juga harus dikoreksi, dilihat ulang.
Jika kita percaya dengan kebutuhan sains, knowledge, dan inovasi dalam pengambilan keputusan, penguasaan terhadap metodologi harus dilanjutkan dengan pembuktian ilmiah. Proses diseminasi sains pada tataran pendidikan di kelas dan penerimaan masyarakat dalam pengabdian adalah ruang pembuktian sains sehingga tidak dangkal.
Proses dan ukuran yang dianggap ideal untuk menjadi seorang guru besar, yang terdisrupsi oleh kebijakan guru besar kehormatan, juga harus dikoreksi, dilihat ulang. Selain itu juga praktik-praktik pembangunan yang merusak akibat dangkalnya metodologi dianggap pilihan yang tepat di tengah akselerasi pembangunan melalui UU Cipta Kerja.
Tidak ayal kemudian muncul upaya mereduksi fungsi-fungsi perlindungan ekosistem demi cepatnya investasi. Praktik praktik inilah yang kemudian harus ditegaskan kembali oleh keberadaan BRIN dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Jadi, independensi Ilmu pengetahuan akan menjadi penyeimbang (balancing) dalam keputusan pembangunan. Bukan kemudian lembaga sains muncul sebagai mesin legitimasi dari kebijakan bermetodologi dangkal.
Batas kedalaman sains
Mengapa sains, iptek, dan teknologi perlu batas (threshold)? Tujuannya agar keputusan, kebijakan betul-betul evidance based, dan tidak shadow evidance based yang asal hadir. Maka, untuk itu perlu ditetapkan dan disepakati threshold yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Bagaimana threshold ini dapat diterapkan? Dalam hal ini, penulis melihat ada beberapa langkah.
Pertama adanya panel ahli, kedua metodologi yang berkekuatan replikasi, dan ketiga metodologi yang terekonstruksi dalam sebuah sistem yang baku. Kehadiran panel ahli dalam menguji kesahihan sains merupakan sebuah keniscayaan.
Banyak produk kebijakan, seperti reklamasi, restorasi ekosistem, dan perubahan zona inti, dapat dengan mudah dilakukan tanpa bukti yang kuat. Padahal, bisa tidaknya perubahan tersebut dapat dilakukan setelah melalui panel sains dan bukan panel administrasi. Panel ahli akan mengukur kedalaman dan ketajaman metodologi yang ditawarkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan demikian, jangan lagi dipisahkan kampus, lembaga riset, litbang dalam setiap kajian ilmiah yang diperlukan bangsa ini.
Baca juga: Perjokian di Dunia Akademik, Fenomena Buruk yang Diabaikan
Tawaran atas kehadiran teknologi sering disodorkan sebagai alat eksekusi saat keputusan ilmiah sehingga kemudian panel ilmiah berubah menjadi panel admisitrasai ilmiah ketika teknologi dikatakan tersedia. Padahal, sisi lanjutnya yang belum dipastikan adalah efek dari keberadaan teknologi tersebut. Ketika ilmuwan tidak berani mengeksekusi karena tidak memiliki ambang batas kedalaman sains, seharusnya panel ahli memberikan rekomendasi untuk keputusan terhadap sebuah keputusan dan kebijakan.
Kedua, yaitu sains yang memiliki kekuatan replikasi karena kemanfaatannya bagi masyarakat dan keandalannya dalam mengawal pembangunan. Pada orang berpendidikan doktor formal, kemampuan dalam penguasaan metodologi inilah yang diuji lanjut pada forum promosi. Pada mahasiswa, praktik KKN, pengabdian kepada masyarakat, menjadi ruang uji coba dalam replikasi metodologi sains.
Tujuannya adalah untuk melihat respons publik terhadap sains yang diperlukan, ketepatgunaan, kepenerimaan, dan kemampuannya dalam memecahkan persoalan di tengah masyarakat. Jika seorang doktor tidak mampu melahirkan ini, sesungguhnya belum tepat mendapatkan jenjang akademik tersebut apalagi guru besar. Kebijakan gelar kehormatan telah memangkas ruang pengujian publik dan replikasi ketepatgunaan sains.
Seorang yang secara verbal dianggap menguasai ilmu, tetapi bukan kontekstual dan minim ruang praktik, threshold-nya tereliminasi dalam balutan seremoni ilmiah yang bernama orasi honoris causa.
Bagian ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa threshold ilmu adalah ukuran pencapaian yang dapat dievaluasi dari tingkatan kemampuan pemahaman. Model ini yang kemudian diturunkan dalam ukuran kompetensi yang banyak dianut saat ini. Namun, ukuran kemampuan penguasaan iptek selain terefleksi pada panel ahli juga terunut dalam sebuah sistematik metodologi yang dapat diacu sebagai sebuah postulat ilmu. Tingkat kemampuan penguasaan adalah batas (threshold) dari sebuah capaian seseorang. Sistematika inilah yang kemudian jadi patokan para pegiat dan pencinta ilmu mengukur kemampuan sesorang.
Praktik yang terjadi hari ini, seorang yang secara verbal dianggap menguasai ilmu, tetapi bukan kontekstual dan minim ruang praktik, threshold-nya tereliminasi dalam balutan seremoni ilmiah yang bernama orasi honoris causa. Kemudian memunculkan kesan bahwa sains, iptek, dan inovasi tinggal jadi balutan semu dari honoris causa. Padahal, yang seharusnya dipraktikkan adalah kekuasaan di kawal baik dengan kedalaman metodologi sains.
Ruang penyadaran
Apa yang harus kita pilih ketika terjadi pendangkalan derajat kesahihan sains? Beberapa langkah penting yang diperlukan adalah, pertama, penguatan kampus sebagai rekognisi sains yang tidak hanya sebagai labeling sains. Kedua, ruang pembuktian yang tersusun menjadi ruang metodologi yang sistemik dalam postulat ilmu harus dapat ditunjukkan sehingga seorang yang memilki gelar doktor harus mampu menjelaskan postulat ilmunya dan berani mempertahankannya di ruang publik. Ketiga, kembalikan kampus sebagai ruang industri dan pengemasan sains. Pembenaran sepihak tanpa bisa diuji dan baru sebatas hipotesis tidak dapat dibungkus dalam metodologi yang sahih.
Baca juga: Moralitas Akademik
Mengantisipasi lemahnya penguasaan iptek kita maka langkah di atas harus diterjemahkan secara mendalam pada ruang pendidikan kampus dan lembaga penelitian. Kemerdekaan kampus bukan berarti tanpa interaksi antara kampus dengan kekuasaan serta politik karena politik dengan sains yang sahih dan metodologi yang benar merupakan langkah maju dalam sistem pembangunan yang sehat. Inilah ruang penyadaran yang harus kita kedepankan agar keputusan, kebijakan tidak kering dari sains, dan pembodohan massal tidak terjadi di masa mendatang.
Yonvitner, Dosen MSP-FPIK IPB-PKSPL IPB University; Anggota Komisi Agromaritim ICMI