Fatamorgana di Jalan Para Dosen
Praktik perjokian dan plagiarisme di kalangan akademisi yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan budaya ilmiah amat memalukan. Masih adakah harapan membangun kembali kepercayaan masyakarat pada institusi pendidikan?
Liputan Kompas, 10-11 Februari 2023, tentang pelanggaran etika di kalangan akademisi langsung menjadi topik pembicaraan hangat di beberapa komunitas dosen yang tergabung dalam aplikasi percakapan sosial dan media sosial.
Liputan investigasi di harian ini mengungkap fenomena pelanggaran etika dan praktik perjokian yang dilakukan beberapa pejabat kampus, calon guru besar, dosen, dan mahasiswa di beberapa kampus negeri ataupun swasta. Pemberitaan sudah berupaya meliput kedua sisi—dosen yang terperosok dalam pelanggaran etika dan dosen yang masih mempertahankan integritas.
Artikel ini mencoba menelaah faktor-faktor penyebab keterperosokan sebagian dosen dan mengajak kita semua untuk mencari harapan di balik fatamorgana yang menyesatkan.
Baca juga: Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah
Jebakan ”perlombaan tikus”
Sangat memprihatinkan dan memalukan praktik perjokian dan plagiarisme justru terjadi di kalangan akademisi yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan budaya ilmiah. Kecurangan di kalangan akademisi ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Walaupun liputan itu sudah disertai dengan kisah beberapa dosen yang masih tegak lurus dengan marwah sebagai intelektual, berita utama Kompas itu tetap saja menyengat kalangan akademisi dan mengejutkan masyarakat umum.
Sesuai kaidah media massa, berita buruk adalah (baru) berita. Liputan yang lebih ditonjolkan adalah tetesan nila di dalam belanga pendidikan tinggi daripada kisah-kisah perjuangan dan jalan sunyi banyak dosen yang tetap setia mengajar, membimbing, dan mendampingi mahasiswa serta masih berupaya mengembangkan keilmuan dan berkontribusi kepada masyarakat di tengah-tengah tuntutan dan beban administrasi.
Selain itu, ”Tim Percepatan Guru Besar yang bertugas memberikan bimbingan penulisan artikel ilmiah” di salah satu PTN yang dilaporkan dalam tulisan itu ternyata juga telah melanggar batas etika dan ”aktif mengerjakan artikel ilmiah untuk dosen calon guru besar”.
Padahal, di banyak perguruan tinggi yang lain, kolaborasi antara para dosen senior, yunior, dan mahasiswa justru menjadi kesempatan mentoring dan penyemaian bibit intelektual muda.
Baca juga: Akademisi Bayar Joki, Kepakaran Bebas Diperjualbelikan
Betapapun kalangan akademisi tidak suka melihat kerusakan oleh setitik nila, liputan tersebut tetap perlu dijadikan pengingat untuk segera melakukan upaya koreksi strategis.
Seperti diberitakan, kecurangan dan pelanggaran etika sudah sistemik di beberapa perguruan tinggi. Banyak dosen sudah terjebak dalam perlombaan tikus (rat race) mengejar kenaikan jabatan akademik dengan mengumpulkan poin-poin. Capaian intelektual sudah direduksi menjadi peringkat dan impact factor jurnal sehingga melupakan dampak nyata bagi masyarakat dan kontribusi bagi pengembangan keilmuan.
Memang demikianlah sistem administrasinya! Sistem administrasi memang masih dibutuhkan untuk sistem pendidikan tinggi sebesar dan sekompleks di Indonesia; tetapi di sisi lain, sistem ini sudah menjadi perangkap bagi individu dosen ataupun institusi pendidikan tinggi.
Sebagian besar dosen yang terperangkap dalam kurungan perlombaan tikus melanggengkan ketersesatan ini karena tiga alasan. Pertama, kenaikan jabatan akademik memang berdampak pada kenaikan penghasilan individu dosen, baik dari tunjangan profesi maupun peluang-peluang mendapatkan dana hibah.
Ada guru besar yang sebenarnya tidak layak menyandang gelar itu dan beberapa di antaranya kurang berkenan jika tidak dipanggil dengan sebutan ’Prof’.
Kedua, keberlangsungan suatu program studi dalam sistem akreditasi dan bahkan peringkat perguruan tinggi ditentukan oleh, salah satunya, jabatan akademik dan jumlah publikasi para dosen.
Memang ada dimensi lain yang digali dalam proses visitasi asesor, yakni wawancara dengan alumni dan pengguna lulusan untuk menilai dampak program studi bagi masyarakat. Namun, tetap saja kuantifikasi kinerja dosen secara sempit membayangi poin-poin penilaian. Maka dari itu, seperti diberitakan, beberapa pejabat struktural pun menjadi kalap dan ikut memfasilitasi atau bahkan terlibat dalam kecurangan sistemik.
Ketiga, penghargaan masyarakat terhadap gelar guru besar terasa berlebihan dan menyesatkan juga. Ada guru besar yang sebenarnya tidak layak menyandang gelar itu dan beberapa di antaranya kurang berkenan jika tidak dipanggil dengan sebutan ”Prof”. Sebaliknya, ada banyak akademisi/intelektual berdedikasi dan berilmu yang tidak memperoleh gelar itu karena berbagai faktor.
Tiga alasan ini telah menciptakan fatamorgana yang menjebak sebagian dosen dalam pengejaran tak bermakna.
Menyingkap fatamorgana
Perolehan gelar guru besar hanyalah fatamorgana bagi sebagian dosen. Perilaku dan budaya ”pencapaian dengan segala cara” bisa menyesatkan para akademisi dan merusak budaya ilmiah di kampus. Ada dua hal yang bisa membantu kalangan akademisi untuk tak terperangkap dalam ilusi guru besar sebagai ”capaian puncak dengan segala cara”.
Pertama, perlu membangun kesadaran dan merawat nilai-nilai kejujuran dan etika. Semestinya, dalam aturan publikasi, penulisan bersama mesti didahului oleh kolaborasi yang adil. Setiap nama yang muncul dalam publikasi seharusnya ikut bekerja dan berkontribusi sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Kebiasaan ”menumpang nama” tanpa ikut bekerja akan merusak budaya kampus dan ironisnya, justru dilakukan oleh oknum yang mempunyai kekuasaan sebagai pejabat yang memberi akses terhadap sumber daya (dana, laboratorium, data, dan tanda tangan sebagai pimpinan). Dorongan untuk merasa berhak menikmati hasil tanpa berkontribusi ini harus dilawan dengan kesadaran terhadap apa yang baik dan tidak.
Kekuatan nilai-nilai kejujuran ini akan makin dibutuhkan karena inovasi teknologi telah menciptakan ruang abu-abu antara yang baik dan buruk.
Setiap nama yang muncul dalam publikasi seharusnya ikut bekerja dan berkontribusi sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Penggunaan penyunting profesional, baik oleh manusia lain maupun oleh aplikasi, diterima dan bahkan ditawarkan oleh beberapa jurnal. Bagaimana dengan aplikasi kecerdasan buatan yang bisa melakukan lebih dari sekadar memeriksa bahasa? Bahkan, ada artikel yang sudah terbit dan diakui ditulis bersama dengan ChatGPT.
Kedua, ada ketimpangan dalam sistem meritokrasi di perguruan tinggi yang perlu diperbaiki. Seorang guru besar bisa mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan yang memabukkan sehingga pada puncak karier justru malah berhenti produktif.
Sementara itu, ada banyak dosen yang berkeringat mengajar banyak kelas dan mengerjakan banyak tugas administrasi dengan imbalan yang sangat kecil.
Banyak dosen sangat terampil sebagai pengajar dan berdedikasi sebagai pendidik, tetapi memang tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan penelitian dan tidak terampil menulis.
Jika dosen semacam ini tidak mendapatkan mentor yang bisa mendampingi secara profesional dan tata kelola perguruan tinggi tidak mendukung, mereka akan menjadi landasan pacu yang dimanfaatkan, tetapi tidak dikembangkan oleh perguruan tinggi.
Ketika para akademisi di seluruh negeri dipacu untuk mengejar H-index dan skor Sinta, pendidikan tinggi sudah melupakan satu darma mulianya, yakni mendidik orang muda. Perlu ada perimbangan dalam sistem meritokrasi dan bahkan dalam sistem pendidikan tinggi.
Tidak semua universitas harus dan perlu untuk menjadi universitas riset. Demikian pula tidak setiap dosen mampu dan perlu menerbitkan artikel di jurnal Scopus Q1.
Nilai-nilai kejujuran dan sistem meritokrasi yang adil bagi semua dosen bisa dibangun sebagai nilai bersama dalam institusi pendidikan tinggi. Harga yang harus dibayar oleh dosen dan institusi nya terlalu mahal untuk suatu ”pencapaian dengan segala cara” ketika inisial pelaku ditulis dalam berita utama koran nasional seperti Kompas.
Hancurnya perjalanan karier dosen, runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan, dan rusaknya tata nilai dan moralitas tidak sebanding dengan tunjangan profesi guru besar dan nilai unggul akreditasi.
Peringkat dosen dan program studi berlaku hanya lima tahun, tetapi pengaruh pendidik pada mahasiswa akan diingat sepanjang masa.
Anita Lie, Dosen Unika Widya Mandala Surabaya