Batalkah Otoritas Jasa Keuangan sebagai Penyidik Tunggal?
Undang-Undang P2SK mengatur, OJK menjadi penyidik tunggal di sektor keuangan. Upaya mengembalikan kewenangan penyidik kepolisian di sektor keuangan dengan PP No 5/2023 akan menimbulkan masalah.
Oleh
YUNUS HUSEIN
·4 menit baca
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK diundangkan pada 12 Januari 2023. Pasal 39 Ayat (5) UU P2SK menetapkan bahwa penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
Belum kewenangan tersebut dilaksanakan, pada 30 Januari 2023 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 5/2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Isinya menetapkan bahwa penyidik tindak pidana perbankan terdiri dari pejabat penyidik pada Polri dan penyidik OJK. Sementara penyidik OJK berasal dari pejabat penyidik Polri, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu, dan pejabat tertentu yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Sangat jelas bahwa ketentuan dalam PP No 5/2023 tersebut bertentangan dengan UU P2SK.
Apabila Polri akan menjadi penyidik sektor jasa keuangan, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi bahwa ketentuan Pasal 39 Ayat 5 UU P2SK bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum sehingga Pasal 39 Ayat (5) tersebut harus dibatalkan.
Apabila Pasal 39 Ayat (5) ini dibatalkan, kewenangan penyidik pejabat kepolisian negara pulih kembali seperti sebelum adanya UU P2SK. Alternatif pertama ini memerlukan waktu yang relatif lama dan terbuka kepada publik yang bisa saja tidak mendukung penyidik kepolisian negara sebagai penyidik sektor jasa keuangan.
Kedua, dengan membuat peraturan pemerintah yang memandulkan Pasal 39 Ayat (5) UU P2SK seperti yang diatur dalam PP No 5/2023. Alternatif kedua ini secara yuridis tidak kuat karena PP kedudukannya lebih rendah dari UU sehingga sulit untuk memandulkan ketentuan Pasal 39 Ayat (5) UU P2SK. Kalaupun ini dilakukan, sudah tentu pilihan ini melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan UU P2SK, penyidikan tindak pidana di sektor keuangan diserahkan kepada penyidik tunggal OJK.
Selama ini pelanggaran pidana terhadap berbagai UU tersebut di atas disidik oleh penyidik di luar OJK dan penyidik dalam institusi OJK. Penyidik di luar OJK adalah pejabat penyidik Polri dan penyidik dari dalam OJK adalah penyidik yang berasal dari pejabat penyidik Polri dan PPNS yang bertugas di OJK (Pasal 49 Ayat (1) UU No 21/2011).
Pejabat atau pegawai OJK selama ini tidak berwenang menyidik tindak pidana yang terjadi di sektor keuangan. Dengan UU P2SK, penyidikan tindak pidana di sektor keuangan diserahkan kepada penyidik tunggal OJK. Penyidik OJK ini berasal dari tiga sumber, yaitu penyidik yang berasal dari Polri yang bertugas di OJK, PPNS yang bertugas di OJK, dan pejabat atau pegawai OJK yang ditugaskan dan diangkat sebagai penyidik. Penyidikan yang dilakukan OJK bukan saja terhadap pelanggaran UU di sektor keuangan dan UU tentang OJK, melainkan juga terhadap pelanggaran UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berasal dari tindak pidana di sektor keuangan.
Sebelum lahirnya UU P2SK, situasi penegakan hukum di sektor keuangan, terutama sektor perbankan, asuransi, pasar modal kurang menggembirakan karena adanya masalah yang terkait dengan kepastian hukum dan keadilan dengan beberapa alasan.
Pertama, adanya beberapa penyidik dalam tindak pidana di sektor keuangan, yaitu penyidik kepolisian, penyidik OJK yang berasal dari kepolisian, dan PPNS dan penyidik kejaksaan untuk tindak pidana korupsi yang terjadi pada bank dalam bentuk badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Kedua, penyidik non-OJK kurang memiliki kompetensi yang memadai untuk melakukan penyidikan tindak pidana khusus yang terjadi di sektor keuangan yang sangat bervariasi dan cepat berkembang.
Ketiga, industri keuangan seringkali berada pada posisi yang rentan karena kadangkala diadukan oleh nasabah yang beritikad tidak baik yang berseteru dengan bank. Pengaduan ini tanpa filter yang baik seringkali diterima dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Bank sering kali dalam posisi yang sulit untuk mepertahankan haknya dengan baik. Bahkan, adakalanya oknum penegak hukum mengambil keuntungan finansial dari pelaporan semacam ini. Keempat, penyidik kepolisian cenderung menerapkan ketentuan pidana secara primum remedium bukan ultimum remedium, sementara OJK masih bisa menerapkan sanksi administratif terlebih dahulu sebelum menerapkan sanksi pidana.
Undang-Undang P2SK ini harus dibaca sebagai ketentuan yang bersifat lex specialis yang sengaja dibuat berbeda menyimpangi UU yang bersifat lex generalis, seperti KUHAP. Lebih-lebih lagi UU P2SK ini lahir belakangan yang sengaja dibuat berbeda dengan UU yang terdahulu. Di sini berlaku prinsip perundang-undangan lex posteriori derogat lex priori, untuk masalah yang sama, UU yang lahir kemudian berlaku dan boleh menyimpang dari UU yang lahir terlebih dahulu.
Memberikan OJK kewenangan sebagai penyidik tunggal di sektor keuangan bukanlah kebijakan yang radikal karena sebenarnya UU P2SK ini menyempurnakan UU OJK yang lama, UU No 21/2011, yang juga sudah memberikan kewenangan kepada OJK sebagai penyidik. Ketentuan yang mengatur kewenangan OJK untuk menyidik pernah berapa kali diuji secara meteriil di MK, tetapi semua ditolak. Kewenangan sebagai penyidik tunggal ini diperlukan agar OJK dapat melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan serta perlindungan nasabah dan konsumen di sektor keuangan secara efektif.
Ada sejumlah UU yang sengaja dan khusus dibuat menyimpang dari UU terdahulu yang lebih umum. Misalnya UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2021 dan UU No 8/2010 tentang TPPU mengenal pembuktian terbalik sebagai ketentuan yang bersifat lex specialis yang menyimpang dari ketentuan yang ada dalam KUHAP.
Setiap kewenangan memerlukan pengawasan yang efektif agar kewenangan tersebut dapat dilaksanakan tanpa merugikan masyarakat. Pengawasan tugas dan kewenangan penyidikan OJK dapat dilakukan oleh Badan Supervisi OJK yang akan dibentuk. Selain itu, kewenangan OJK dalam melakukan penyidikan dapat digugat melalui pra peradilan di pengadilan umum.
Kalau memang dibutuhkan, perlu dibentuk ”Biro Pengawasan Penyidikan OJK” seperti Biro Pengawasan Penyidikan di bawah Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Dalam melakukan tugas penyidikan, OJK harus bekerja sama dan berkoordinasi dengan instansi lain termasuk kepolisian dan kejaksaan. OJK juga memerlukan dukungan dari kepolisian dan TNI terutama dalam menghadapi backing dari tersangka.
Pilihan kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal OJK di sektor keuangan mengakibatkan penyidik lain, seperti penyidik kepolisian tidak berwenang menyidik kasus tindak pidana di sektor keuangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pilihan kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal OJK di sektor keuangan mengakibatkan penyidik lain, seperti penyidik kepolisian tidak berwenang menyidik kasus tindak pidana di sektor keuangan. Penyidik kepolisian dan penyidik pegawai negeri lain hanya dapat menyidik apabila penyidik ini diperbantukan pada OJK dan melakukan penyidikan atas nama OJK.
Segala upaya untuk mengembalikan kewenangan penyidik kepolisian untuk menyidik tindak pidana di sektor keuangan seperti yang diatur dalam PP No 5/2023 setidaknya akan menimbulkan tiga permasalahan. Pertama diperlukan integritas dan kompetensi yang memadai untuk menyidik perkara di sektor keuangan.
Kedua, penyidikan oleh penyidik kepolisian akan mudah menjadi obyek gugatan pra peradilan di pengadilan negeri. Ketiga, PP No 5/2023 yang menjadi dasar penyidikan oleh penyidik kepolisian dapat dimohonkan uji materiil di Mahkamah Agung untuk dibatalkan karena bertentangan dengan UU P2SK.
Sebagai solusi penyidik kepolisian diperbantukan lagi lebih banyak di OJK dan OJK menciptakan penyidik lebih banyak lagi. Di setiap kantor OJK dibuat Sentra Pelayanan Terpadu OJK bekerja sama dengan kepolisian, seperti halnya yang dilakukan oleh kepolisian di dalam melayani laporan atau pengaduan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan OJK tetap menjadi penyidik tunggal tindak pidana di sektor keuangan.