Nano Riantiarno merdeka dari perangkap dikotomi tradisi versus modernitas. Unsur budaya dari mana pun dan dari zaman apa pun akan dirangkul Nano dan Teater Koma jika dianggap bernilai untuk pentasnya.
Oleh
Ariel Heryanto
·4 menit baca
SALOMO TOBING
Ariel Heryanto
Sejak didirikan (1977), Teater Koma berlimpah pujian. Banjir pujian itu marak kembali dalam sejumlah obituari bagi pendiri dan pimpinannya yang baru meninggal, Nano Riantiarno (1947-2023). Apa yang paling istimewa dari Teater Koma? Apa relevansi sumbangannya bagi masa depan Indonesia?
Teater Koma digemari karena humor, kostum, serta aksesorinya. Kritik terhadap penguasa dikemasnya santai. Pujian tertinggi bagi Teater Koma selama ini tertuju pada daya tahan hidupnya yang superpanjang. Menurut saya, ada yang jauh lebih istimewa dari Teater Koma, namun terabaikan publik. Kerja Teater Koma adalah satu dari sedikit contoh jawaban jitu bagi pertanyaan besar yang menghantui Indonesia selama lebih dari seabad tentang identitas nasional.
Sepanjang abad ke-20, diskusi tentang identitas Indonesia terperangkap serangkaian dikotomi. Misalnya, tradisi versus modern, Timur versus Barat, atau asli versus asing. Dikotomi demikian masih berlanjut hingga kini dengan berbagai istilah lain. Tengok debat soal hukum pidana, pelanggaran berat hak asasi manusia, busana untuk perempuan, hubungan kerja, hingga etika seks.
Sejak RI merdeka, dikotomi teater tradisional versus teater modern mendominasi sebagian besar bahasan sejarah dan dinamika seni pertunjukan. Tahun 1980-an para seniman dan pengamat budaya merasa telah menemukan jawaban pas untuk memecahkan masalah itu. Unsur teater tradisional dan modern dikawinkan dalam format yang waktu itu populer disebut ”Tradisi Baru”. Nama Rendra, Putu Wijaya, dan Nano Riantiarno disebut-sebut sebagai tokoh perintisnya.
Namun, konsep Tradisi Baru ini tetap bermasalah. Maklum, konsep itu disusun dari kerangka pemahaman yang cacat tentang ”tradisi” dan ”modernitas”. Seakan-akan kedua hal itu semacam benda, gejala atau realitas yang utuh, mandiri dan saling terpisah. Cacatnya konsep Tradisi Baru itu dapat dipahami dari dua sudut.
Pertama, hibriditas bukan barang baru. Ini gejala umum. Di mana pun dan kapan pun tradisi lokal maupun modernitas global berwatak hibrid. Kedua, walau dikawinkan dalam Tradisi Baru, dualisme tradisi dan modernitas tetap membekas dalam perpaduan itu. Dualisme itu tampak jelas dalam berbagai pernyataan Rendra maupun Putu Wijaya sendiri, juga pembahas mereka.
Sikap Rendra (1935-2009) dan Putu Wijaya (lahir 1944) terhadap tradisi berbeda dari rekan sezaman. Tradisi tidak lagi dianggap warisan mati dari masa lalu. Tapi, praktik sosial yang hidup, dinamis, dan senantiasa berubah. Keduanya bersikap modernis yang anti-modernitas. Tapi, dalam pemaparan kedua tokoh ini ataupun kebanyakan pengamat mereka, tradisi dan modernitas masih dua unsur dengan identitas sendiri-sendiri. Dualisme itu tetap bergeming.
Budaya Jawa yang dihayati Rendra berbeda dari pemahaman umum tentang budaya Jawa. Tapi, menyebut konsep kreatif Rendra sebagai Tradisi Baru jadi bermasalah. Rendra menertawakan pengamat yang menilai karya-karya sastra dan teaternya serba baru. Menurutnya, ia hanya mengolah kembali lagu-lagu dan permainan anak-anak Jawa yang diakrabinya sejak kecil. Tradisi Baru sebuah gelar yang berlebihan.
Putu Wijaya memuliakan tradisi yang membesarkannya, yakni Bali. Seperti Rendra, Putu melancarkan berbagai kritik terhadap modernitas. Seperti kasus Rendra, upaya Putu secara sadar memilih dan memuliakan kekuatan tradisi etnisnya membuktikan adanya jarak yang memisahkan posisi subyektif si seniman dengan obyek yang ingin diraihnya. Dualisme dalam ”Tradisi Baru” mengganjal dan istilah itu bermasalah.
Kerja Nano Riantiarno berbeda dari semua yang dibahas di atas. Ia bahkan berbeda dari para cendekiawan Indonesia yang selama paruh kedua abad ke-20 sibuk terjebak dikotomi tradisi versus modernitas. Nano merdeka dari perangkap dikotomi tersebut. Unsur budaya dari mana pun dan dari zaman apa pun akan dirangkul Nano dan Teater Koma jika dianggap bernilai untuk pentasnya. Ia tak peduli apakah itu unsur tradisional, modern, atau campuran keduanya atau bukan keduanya.
Rendra mengandalkan tradisi Jawa dan menyegarkan kembali warisan tradisi itu. Putu Wijaya melakukan hal serupa dengan tradisi Bali-nya. Karya Nano dalam Teater Koma tidak bertolak dari, dan tidak berkiblat pada, satu identitas budaya tertentu. Pernah unsur Jawa yang menonjol. Sesekali kuat unsur opera Tiongkok. Di waktu lain kuat unsur Eropa-nya.
Bersikap terbuka, toleran, dan hibrid secara radikal, Teater Koma jadinya paling ”indonesiawi”, tanpa disengaja. Mungkin ini salah satu sebab mereka bisa berusia panjang, jauh melampaui masa hidup sebagian besar kelompok teater di Tanah Air, termasuk Bengkel Teater (Rendra) dan Teater Mandiri (Putu Wijaya).
Santai terhadap perbedaan dan terbuka pada budaya mana pun bermuara pada toleransi radikal. Semua itu dikerjakan Teater Koma tanpa ambisi memperjuangkan sebuah gaya baru atau teori tersendiri tentang hibriditas, solidaritas, tradisi, atau modernisasi. Yang diutamakan Teater Koma hanya satu, yakni menghibur habis-habisan penonton kelas menengah metropolitan.
Kuatnya keindonesiaan pada Teater Koma luput dari pemahaman umum. Maklum, sejak RI merdeka, perhatian masyarakat, termasuk cendekiawannya, terfokus pada upaya mengejar sebuah fantasi, yakni sosok budaya ”asli” demi terbentuknya identitas nasional. Yang kurang pribumi atau kurang asli diabaikan.
Bukan hanya Teater Koma yang diabaikan atau diremehkan, justru karena mereka sangat Indonesiawi. Jauh sebelumnya, Komedie Stamboel (1891-1930-an) melakukan yang sama. Belakangan Srimulat (1950-1990) punya corak kerja yang mirip juga. Tidak kebetulan semua kelompok teater itu berusia panjang. Semuanya secara turun-temurun disambut paling hangat oleh publik Indonesia yang mahamajemuk.
Sebagai organisasi, Komedie Stamboel tidak abadi. Srimulat juga tidak. Tapi, visi budaya mereka yang sangat indonesiawi berusia jauh melampaui usia organisasi dan para pendirinya. Teater Koma pasca-Nano Riantiarno mungkin masih akan berusia lebih panjang. Tapi, mereka semua adalah koma dan tonggak emas dalam seabad kerja budaya merayakan Indonesia yang majemuk.
Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia