Imajinasi Baru Kebangsaan
Indonesia harus mengimajinasikan kembali eksistensinya agar tetap relevan melewati usia 100 tahun di 2045, bahkan hingga 100 tahun berikutnya. Generasi berikut harus memiliki pemahaman geopolitik dan sejarah yang kuat.
Baru-baru ini, presiden Brasil yang baru terpilih, Lula da Silva, dalam kunjungan ke Argentina berbicara tentang perlunya menjaga kedaulatan dan keutuhan Amerika Latin dari segi finansial, berupa penggunaan mata uang bersama ”Sur” (Selatan) untuk mendorong bisnis regional.
Apa yang dia katakan mengingatkan saya pada setiap pemimpin dengan visi besar, yaitu pemahaman sejarah dan posisi geostrategis negaranya. Saya jadi teringat perbincangan dengan Lula pada 2011, saat saya menemuinya di kantornya, tentang perlunya pemimpin negara berkembang memiliki visi ruang geopolitik dan sejarah.
Setelah Perang Dunia II berakhir, para pemimpin dunia membangun kesepakatan-kesepakatan baru untuk menata ulang dunia sebagai respons atas lahirnya negara-negara baru. Kelelahan sosial, ekonomi, dan politik akibat perang fisik memaksa banyak negara mengatur ulang permainan kekuasaan (power game) di tingkat global, atau diistilahkan dengan geopolitik dan geoekonomi.
Dari refleksi terhadap situasi geopolitik dan geoekonomi setelah 77 tahun berlangsungnya tata ulang power game skala global, saya menemukan adanya perubahan pola kompetisi penguasaan geopolitik dan geoekonomi setiap 25 tahun sekali. Artinya, terdapat empat periode pola kompetisi: 1945-1970, 1970-1995, 1995-2020, dan 2020-2045. Setelah 2045 berarti masuk periode kelima.
Dari refleksi terhadap situasi geopolitik dan geoekonomi setelah 77 tahun berlangsungnya tata ulang power game skala global, saya menemukan adanya perubahan pola kompetisi penguasaan geopolitik dan geoekonomi setiap 25 tahun sekali.
Periode pertama (1945-1970) adalah tentang kompetisi penguasaan sumber daya alam, baik pertambangan maupun perkebunan. Pada periode ini berlaku aturan main, negara yang menguasai SDA secara efektif, melalui jalan damai atau kekerasan, akan mengatur geopolitik dan geoekonomi.
Di era ini, Indonesia yang dipimpin Bung Karno adalah sebuah negara-bangsa yang mengambil garis tegas melawan kekuatan global yang ingin menguasai SDA Indonesia. Soekarno bahkan memimpin Negara-negara Dunia Ketiga melalui Konferensi Asia Afrika 1955 untuk melawan agenda ini.
Namun, di pengujung periode ini, Indonesia mengalami kekalahan banyak atas penguasaan SDA ekstraktif setelah terjadi peralihan kekuasaan di 1967. Pada periode pertama ini, pemenang globalnya adalah AS, Inggris, Perancis, Australia.
Periode kedua (1970-1995) tentang kompetisi penguasaan industri, manufaktur, dan perdagangan global. Semua berlomba menjadi negara yang produktif dan unggul dalam penguasaan teknologi produksi dan pasar global atas produk jadi hasil industrialisasi dan manufaktur. Di tingkat global terjadi kesepakatan-kesepakatan pembentukan forum perdagangan bilateral dan multilateral.
Indonesia memulai periode ini, salah satunya ditandai dengan terjadinya Peristiwa Malari 1974, yang merupakan simbol penolakan masyarakat sipil atas pemaksaan industrialisasi di Indonesia oleh negara lain yang lebih maju. Di era ini juga perjuangan buruh sebagai komponen penting industri dan advokasi atas tanah di Indonesia berlangsung sangat marak.
Indonesia tak mampu mengambil peran penting secara global di periode ini, kecuali hanya menjadi target relokasi industri dan pasar konsumen. Pemenang globalnya adalah Jerman, Jepang, AS, Perancis, Italia.
Periode ketiga (1995-2020) dibuka dengan krisis moneter di banyak negara, yang akhirnya merambat ke Indonesia sekitar 1997-1998. Situasi krisis itu sesuai dengan kompetisi periode ketiga ini, yakni tentang penguasaan industri keuangan, pengelolaan investasi dan tata kelola moneter. Negara yang memiliki pasar uang dan pasar saham yang kuat menjadi kaya secara finansial tanpa berproduksi, atau sering diistilahkan dengan rekayasa keuangan, akan mampu mengatur geopolitik dan geoekonomi.
Pencetakan uang di negara maju tanpa berbasis aset atau proyek riil meningkat secara eksponensial, kemudian dialirkan jadi pinjaman atau investasi ke negara berkembang yang sebagian kemudian berubah menjadi beban sosial, ekonomi, dan politik di negara penerima.
Pengusaha dan korporasi dunia yang populer di periode ini makin banyak yang berasal dari sektor industri keuangan. Pada periode ini, pemenang globalnya adalah AS, negara-negara Teluk, dan China. China cenderung memiliki pendekatan berbeda dalam melakukan konsolidasi kekuatan industri keuangannya karena masih diimbangi industrialisasi masif.
Periode keempat yang berlangsung 2020-2045 dimulai dengan terjadinya disrupsi (kocok ulang) kembar tiga tingkat global.
Periode keempat yang berlangsung 2020-2045 dimulai dengan terjadinya disrupsi (kocok ulang) kembar tiga tingkat global. Disrupsi kesehatan berupa pandemi Covid-19, disrupsi teknologi berupa Revolusi Industri 4.0, disrupsi politik yang dipicu perang Rusia-Ukraina.
Disrupsi teknologi memberikan warna paling dominan pada era ini dan memicu kompetisi global tentang penguasaan teknologi digital, pengelolaan data, dan kecerdasan buatan.
Kompetisi pada periode ini diperkirakan akan berlangsung lebih ketat karena kehadiran China yang mampu mengimbangi hegemoni teknologi, militer, dan ekonomi AS yang unggul di beberapa periode sebelumnya. Penguasaan dan pengelolaan yang berdaulat atas megadata menjadi kunci memenangi kompetisi geopolitik dan geoekonomi di periode ini.
Presiden Joko Widodo yang telah bekerja sangat keras selama ini masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah periode pertama dan kedua sehingga perlu ada kebijakan yang tegas dan strategis agar tantangan periode ketiga dan keempat dapat dikejar dengan cepat.
Pengembangan sumber daya manusia, deregulasi sistem keuangan dan tata kelola ekonomi digital yang lebih intensif dan efektif jadi pilihan yang tak bisa dihindari agar RI bisa berperan lebih aktif secara global dan menghadapi periode kelima dengan kekuatan SDM berkualitas.
Karena tantangan periode kelima berupa kompetisi keunggulan imajinasi, maka akan lebih disruptif lagi, bahkan bisa mengubah peta dunia secara radikal. Jumlah negara-bangsa berkurang, hanya menjadi beberapa kekuatan besar dalam rupa pembentukan Pax (Tertib Global) berbasis imajinasi dan algoritma: Americana, Sinaica, Britannica, Russiatica, Arabica dan Israelica. Akankah terbentuk Pax-Indonesiana?
Peta jalan kemajuan
Bagaimana strategi percepatan kemajuan negara-bangsa Indonesia agar tetap relevan di tingkat global? Terdapat tiga pilihan peta jalan kemajuan bangsa, yang telah terbukti secara empiris dilakukan banyak negara dalam menata kemajuannya. Jalur lambat, jalur menengah, dan jalur cepat.
Ketiga jalur ini selalu dimulai dengan konsolidasi kebangsaan dan demokrasi. Jalur lambat melanjutkannya dengan urutan pengolahan SDA, pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pembangunan SDM, lalu baru masuk dalam perdagangan global nonkomoditas. Peta jalan ini memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai kemajuannya, bahkan berisiko terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah.
Indonesia harus mengimajinasikan kembali eksistensinya agar tetap relevan melewati usia 100 tahun di 2045, bahkan hingga 100 tahun berikutnya.
Jalur menengah memilih urutan pengolahan SDA, industrialisasi (pembangunan infrastruktur secara paralel menjadi pelengkap dan penunjang), perdagangan global, pembangunan SDM, kemudian masuk ke ekonomi berbasis pengetahuan dengan mengalokasikan dana pengembangan riset dan inovasi secara intensif.
Sementara, jalur cepat tak dimulai dengan eksploitasi SDA, bahkan meskipun negara itu memiliki cadangan SDA berlimpah. Mereka mewujudkan kemajuannya dengan urutan pembangunan SDM, pengembangan riset dan inovasi, industrialisasi (didukung infrastruktur yang relevan), perdagangan global, hingga memiliki kekuatan ekonomi yang tinggi.
Indonesia harus mengimajinasikan kembali eksistensinya agar tetap relevan melewati usia 100 tahun di 2045, bahkan hingga 100 tahun berikutnya. Untuk itu, pertanyaan tentang di mana dan kapan imagined-community bernama Indonesia ini sudah, sedang, dan akan bergerak, harus terus dilakukan. Pendiri bangsa telah melahirkan Indonesia. Generasi berikutnya harus memiliki pemahaman geopolitik dan sejarah yang semakin kuat. Hanya dengan demikian, imajinasi baru kebangsaan Indonesia bisa dibangun untuk menjadikan kita bangsa pemenang.
Budiman Sudjatmiko,Anggota DPR RI, 2009-2019