Ingatlah, guru bukanlah jabatan politik. Guru, adalah mata air tempat warga menemukan inspirasi kebaikan dalam hidup.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
DHANANG DAVID ARITONANG
Pamflet joki skripsi yang terpampang di tiang listrik daerah Yogyakarta, Minggu (29/1/2023)
Guru, bisa digugu lan ditiru. Jika mengikuti jarwa dhosok, permainan makna kata dalam bahasa Jawa, guru diartikan sebagai sosok yang bisa dipercaya dan diteladani.
Namun, posisi guru yang tinggi itu seperti terhempas, jatuh ke titik nadir, kala membaca laporan investigasi harian ini, dengan judul "Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah". Praktik perjokian dunia akademik di sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia terjadi masif dan sistematis. Praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah untuk syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar terjadi di kampus negeri dan swasta.
Perjokian itu melibatkan pejabat struktural kampus, dosen dan mahasiswa. Dosen dan mahasiswa yang perlu karya ilmiah bisa menggunakan jasa calo dari pihak luar kampus pula. Bahkan, banyak dosen hingga calon guru besar tertipu, karena menggunakan jasa pengelola jurnal ilmiah internasional abal-abal Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI), yang ternyata berkantor di pinggiran Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. (Kompas, 10/2/2023)
Modus perjokian itu adalah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal interna- sional bereputasi. Tim menyematkan nama dosen senior yang ingin menjadi guru besar atau naik pangkat sebagai penulis di karya ilmiah itu, meskipun tak memiliki kontribusi aktif dalam pembuatan karya yang akan dipublikasikan. Langkah ini diduga untuk mendongkrak angka kredit dan meningkatkan akreditasi kampus.
DHANANG DAVID ARITONANG
Suasana ruko Jagoketik.com yang berlokasi di daerah Yogyakarta, Minggu (29/1/2021). Jagoketik.com merupakan penyedia jasa joki karya ilmiah.
Memang tidak mudah mendapatkan gelar guru besar. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan, 64 persen usulan guru besar (profesor), sebanyak 4.862 nama, ditolak. Usulan nama guru besar mencapai 7.598 nama. Salah satu alasan penolakan itu, adalah karya ilmiah yang dilampirkan sebagai syarat pencalonan terbit di jurnal yang tidak berkualitas.
Keberadaan seorang guru besar akan menaikkan pamor sebuah perguruan tinggi. Oleh sebab itu, bisa dipahami jika pimpinan lembaga pendidikan tinggi berkeinginan memiliki banyak profesor di kampusnya. Namun, upaya itu seharusnya tetap tak boleh mengabaikan etika. Apalagi, posisi guru sangat berharga di masyarakat. Tak ada bangsa yang bisa memiliki penduduk yang cerdas, terdidik, jika tak menghargai guru.
Dalam sejarah kependidikan di negeri ini, bukan kali ini saja sosok guru, termasuk dosen dan guru besar, tercoreng. Harian ini berulangkali mengabarkan guru yang terlibat kekerasan di sekolah, dan mayoritas korban itu muridnya. Di perguruan tinggi pun berulangkali diwartakan terjadinya kasus perjokian untuk seleksi masuk; jual beli "bangku"calon mahasiswa di kampus; perjokian untuk penulisan skripsi, tesis, atau disertasi; dosen atau guru besar mendaku karya mahasiswanya, dan plagiarisme oleh dosen, termasuk yang bergelar profesor.
DHANANG DAVID ARITONANG
Seorang warga sedang mencari informasi terkait joki karya ilmiah di situs klikwisuda.com, Jumat (10/1/2023). Maraknya penyedia jasa joki karya ilmiah membuat bisnis ini semakin mudah dicari.
Kejahatan dan pelanggaran etika itu dilakukan demi status berpendidikan tinggi, bergelar akademik tinggi, atau jabatan. Ingatlah, guru bukanlah jabatan politik. Guru, adalah mata air tempat warga menemukan inspirasi kebaikan dalam hidup.