Istilah ”kena mental” mengiang dan berseliweran di jagat maya, khususnya di media sosial. Pandemi turut berkontribusi dalam memopulerkan istilah ini. Berterimakah ia?
Oleh
Darmawati MR
·2 menit baca
Bahasa Indonesia bertransformasi, tidak hanya dari waktu ke waktu, tetapi juga dari dunia gim ke dunia nyata. Sebut saja frasa kena mental.
Warganet (terutama di Twitter) dan masyarakat awam semakin fasih bercakap dengan bahasa Indonesia yang ganjil itu, media daring ikut latah menggunakannya. Frasa yang konon berasal dari gim mobile legends ini rutin menghiasi media massa dan media sosial pada 2022, serta kita temui di mana-mana.
Kata kena pada umumnya menjadi penanda kalimat pasif dalam pengertian tidak sengaja, persis seperti fungsi awalan ter- pada kata terinjak, teriris, tersandung, terjatuh, tertidur, dan lain-lain (Sugono, 2009). Contoh penggunaan kata kena yang berarti tidak sengaja dapat kita lihat pada kalimat berikut: 1) Mereka kena tipu orang. 2) Telapak kakinya kena tusuk duri. 3) Dia kena bujuk wanita.
Bagaimana bahasa media sosial itu memengaruhi bahasa penggunanya (masyarakat) dalam berinteraksi di dunia nyata, baik lisan maupun tulisan.
Apakah kata kena pada kena mental juga dapat menggantikan fungsi awalan ter- yang berarti tidak sengaja? Sepertinya tidak.
Pada ketiga contoh kalimat di atas, kata kena selalu diikuti kata berkelas verba (tipu, tusuk, bujuk). Sementara itu, dalam KBBI daring (kata kena masuk dalam tiga kategori kelas kata: adjektiva, nomina, dan verba), kata mental yang berkelas verba dan berarti ’terpelanting’, ’terpental’, ’terlempar kembali’, dan ’berbalik arah’, tidak pas jika disandingkan dengan kata kena.
Di lingkungan asalnya di dunia gim, kena mental kerap diucapkan pemain-pemain kepada para penantangnya, ketika lawan yang mereka hadapi terlalu sering ”mati”, atau kalah bertarung (tribunsumsel.com). Diduga, mental pemain yang sering kalah ini terganggu sehingga mereka berperforma buruk saat menjalani pertandingan.
Jika demikian, istilah kena mental tampaknya lebih mengacu pada momen terkena serangan pada mental (nomina). Namun, bentuk itu tentu terlalu panjang dan merepotkan. Kena mental ringkas, menggunakannya berarti mengikuti tren.
Akan tetapi, kata yang ringkas dan mengikuti tren jarang bersepakat dengan kaidah bahasa. Kata postingan dan jujurly adalah dua kata lain yang mewakili fenomena ini.
Tentu saja, media sosial bukanlah tempat untuk menilai benar-salah atau baku-tidaknya bahasa yang dipakai penggunanya. Kita tahu, media sosial adalah kampung yang memiliki aturan bahasanya sendiri, tempat di mana konteks runtuh dan konsep perihal identitas menjadi kabur dan perlu dimaknai ulang.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana bahasa media sosial itu memengaruhi bahasa penggunanya (masyarakat) dalam berinteraksi di dunia nyata, baik lisan maupun tulisan. Saat ini, apa yang benar menurut warganet, benar pula menurut masyarakat, terbukti sosok yang paling banyak pengikutnya selalu lebih dipercaya daripada tokoh yang pengikutnya sedikit. Pengaruh bahasa itu menembus berbagai lapis usia, pendidikan, dan kelas sosial.
Bisa jadi, pandemi turut berkontribusi dalam memopulerkan istilah ini. Wabah korona dilaporkan telah menyebabkan gangguan kesehatan mental pada berbagai kalangan (Survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2020; dan survei Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, 2021). Barangkali, kena mental menjadi berterima karena sesuai dengan perubahan situasi yang ada di masyarakat.
Darmawati MR, Peneliti pada Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN