Soekarno-Hatta dan Indonesia Hari Ini
Kesenjangan yang jauh antara Indonesia yang diimpikan sedemikian agung oleh Soekarno-Hatta dan kenyataan Indonesia hari ini menorehkan kegelisahan intelektual dan kegetiran hidup: Apa yang salah dengan para pemimpin?

Sukidi
Arsitek republik ini mewariskan mimpi indah tentang Indonesia Raya. Indonesia yang makmur, bebas dari kemiskinan. Impian itu terekam pada pidato 1 Juni 1945 ketika Soekarno berjanji bahwa ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”.
Apa yang terjadi hampir 78 tahun kemudian? Kemiskinan dan kesenjangan menjadi momok yang membahayakan bagi keberlangsungan republik ini.
Bayangkan, ”tingkat kesenjangan Indonesia kini relatif tinggi dan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan sebagian besar negara tetangganya di Asia Timur” (World Bank, 2014) dan ”empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih banyak dari total gabungan 100 juta orang termiskin” (Oxfam, 2017). Padahal, kesenjangan bukan sekadar bentuk ketidakadilan yang menistakan martabat kemanusiaan jutaan orang miskin dan mayoritas warga yang rentan miskin, tetapi juga merobek-robek inti republik yang bersendikan pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Hampir 78 tahun silam, keadilan dan kesejahteraan sosial menjadi impian utama pendiri republik. Impian kesejahteraan itu terefleksikan pada pidato Soekarno pada 1 Juni 1945: ”Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara?”
Atas pertanyaan yang diajukan sendiri, Soekarno menjawabnya sendiri pula: ”Rakyat ingin sejahtera.... Kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.”
Impian keadilan dan kesejahteraan ini dirumuskan secara brilian oleh Mohammad Hatta, arsitek utama UUD 1945 di bidang ekonomi. Secara spesifik, Hatta merumuskan kemakmuran rakyat pada Pasal 23 Ayat (1), pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan pada Pasal 27 Ayat (2), hak pendidikan dan kemajuan kebudayaan pada Pasal 31 dan 32, peran negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada Pasal 33, dan proteksi negara atas fakir miskin dan anak telantar pada Pasal 34.

Presiden Soekarno (kiri) mengunjungi Bung Hatta yang sedang sakit dan dirawat di RSUP pada 12 Juli 1963.
Apa yang terjadi hampir 78 tahun kemudian?
Impian keadilan dan kesejahteraan sosial yang sudah dijabarkan secara brilian oleh arsitek republik ini, Mohammad Hatta, ternyata masih jauh dari kenyataan hari ini. Bangsa ini harus berani bersikap jujur atas fakta brutal Indonesia hari ini: mulai dari kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, tengkes, kelaparan, korupsi, kolusi, nepotisme, mafia peradilan, kebangkrutan moral, kerusakan lingkungan, hingga rendahnya kualitas pendidikan dan sumber daya manusia.
Adanya kesenjangan yang jauh antara Indonesia yang diimpikan sedemikian agung oleh Soekarno-Hatta dan kenyataan Indonesia hari ini menorehkan kegelisahan intelektual dan kegetiran hidup: Apa yang salah dengan para pemimpin bangsa?
Berbagai kesalahan pantas disematkan ke pundak para pemimpin bangsa ini, bukan rakyatnya. Impian Indonesia yang agung di kalangan pendiri republik justru dilumpuhkan oleh kekerdilan jiwa pemimpinnya sendiri.
”Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad,” kritik Hatta dalam Demokrasi Kita (1960), mengutip pujangga Jerman Johann CF von Schiller (1759-1805), ”tetapi masa besar itu menemui manusia kecil”. Para pemimpin berjiwa kerdil itu hanya berpikir pendek, berorientasi sektarian, serta tidak menjiwai kesadaran tentang pentingnya impian dan pikiran terbaik para pendiri bangsa bagi kemajuan Indonesia.
Baca juga: Menagih Janji Republik
Impian Indonesia Raya yang diwariskan oleh Soekarno-Hatta hanya mungkin dapat diwujudkan oleh para pemimpin yang berpikir dan berkarya besar untuk Indonesia. Itulah tipe pemimpin yang bukan sekadar mau membaca, memahami, dan menjiwai pikiran-pikiran brilian pendiri bangsa secara jernih, tetapi juga mampu meneladani spirit perjuangan dan pengabdian luhur mereka.
Adanya kesenjangan yang jauh antara Indonesia yang diimpikan sedemikian agung oleh Soekarno-Hatta dan kenyataan Indonesia hari ini menorehkan kegelisahan intelektual dan kegetiran hidup: Apa yang salah dengan para pemimpin bangsa?
Pemimpin yang menjiwai kesadaran arah dan masa depan bangsanya selalu bertumpu pada prinsip meritokrasi dalam penyelenggaraan kebijakan negara. Kebijakan yang dilandasi atas kesadaran penuh bahwa faktor penentu bagi kemajuan Indonesia terletak pada investasi modal manusia.
Kesuksesannya bergantung pada kemampuan para pemimpin untuk berpikir panjang dan lintas generasi serta memberikan kepercayaan penuh kepada putra-putri terbaik bangsa untuk menyelenggarakan prioritas kebijakan negara pada reformasi pendidikan secara menyeluruh, terutama pelayanan pendidikan gratis dari usia dini sampai perguruan tinggi bagi kaum fakir miskin dan anak telantar; pada reformasi kesehatan, terutama pelayanan kesehatan gratis bagi kaum fakir miskin dan anak telantar; serta pada penyediaan lapangan kerja dan jaminan sosial bagi semua, terutama bagi kaum fakir miskin dan anak telantar, demi penghidupan yang layak dan bermartabat.

Warga menyusuri rel menuju tempat mandi umum di permukiman padat penduduk di tepi jalur KRL, Petamburan, Jakarta Pusat, Kamis (25/3/2021). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2020 sebesar 10,19 persen atau 27,55 juta orang.
Pembangunan manusia dengan fokus pada pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan menjadi penentu utama bagi keberhasilan pemimpin, bukan saja dalam mewujudkan impian Indonesia yang dititipkan Soekarno-Hatta, melainkan juga dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Pada momen perayaan 100 tahun merdeka, kita sudah tumbuh dan bangkit bersama serta mampu berdiri tegak dan setara sebagai sesama warga negara Indonesia.