Di tengah situasi ketidakpastian, jurnalisme haruslah kembali kepada jati dirinya, kembali pada fungsi utama. Menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
STEPHANUS ARANDITIO
Wartawan mewawancarai ganda campuran Indonesia, Dejan Ferdiansyah/Gloria Emanuelle Widjaja, seusai laga melawan ganda campuran Hong Kong, Lee Chun Hei Reginald/Ng Tsz Yau, pada Daihatsu Indonesia Masters 2023, di Istora Senayan, Jakarta, Januari 2023. Jurnalisme dibutuhkan untuk memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan melakukan kontrol sosial.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Hari Pers Nasional atau HPN diperingati masyarakat pers. Tahun 2023, perayaan HPN di Medan dihadiri Presiden Joko Widodo.
Selain membahas isu kontemporer di industri media, seperti disrupsi digital yang membawa perubahan besar industri pers, konvergensi media, pengaruh artificial inteligent (AI), dan dunia jurnalisme, ajang HPN seperti menjadi arena reuni bagi komunitas pers, termasuk sejumlah pengusaha dan politisi.
Di tengah ketidakpastian masa depan industri pers, akibat disrupsi digital yang berpengaruh pada bisnis dan kualitas jurnalisme, masyarakat pers khususnya dan masyarakat pada umumnya, rasanya momentum HPN tepat untuk berintrospeksi diri.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Kuasa hukum Willem Hengki, bekas Kepala Desa Kinipan yang divonis bebas dari tuntutan kasus korupsi, memberikan keterangan pers di depan Pengadilan Negeri Palangkaraya, Senin (6/2/2023). Jurnalisme dibutuhkan untuk memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan melakukan kontrol sosial.
Masihkah jurnalisme dibutuhkan di tengah maraknya media sosial, platform, merebaknya ”informasi” di luaran, entah informasi atau ”informasi”. Apakah ketidakpastian yang dihadapi akan menjadi akhir dari jurnalisme? Dan, jawabannya adalah jurnalisme masih dibutuhkan dalam fungsinya untuk memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan melakukan kontrol sosial, justru di tengah melimpahnya ”informasi”.
Sadar atau tidak, tren pelemahan jurnalisme sebenarnya mulai terasa. Hampir jarang terdengar istilah karya jurnalisme untuk menggambarkan sebuah liputan investigatif yang membongkar penyelewengan, jurnalisme data untuk memproyeksikan masa depan, jurnalisme sastrawi atau wawancara mendalam yang mencerahkan. Kini, mulai dikembangkan istilah ”konten”. Bahkan, kini muncul ”demi konten”, apa pun dilakukan. Konten yang ”menarik” akan viral, dan di situ bisnis akan terbuka.
Terlepas apakah konten itu diciptakan atau memang sebuah peristiwa nyata. Dari fenomena ”demi konten”, muncul berbagai istilah, seperti trend, crazy rich, dan tren pamer kekayaan. Meskipun kadang konten itu palsu. Sayangnya, aparat pemerintah, menempatkan ”yang viral” yang jadi perhatian, terlepas kebenaran fakta. Viral menjadi ukuran kesuksesan.
RIZA FATHONI
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri) menerima Anugerah Dewan Pers 2021 kategori media siber untuk Kompas.id dalam ajang Anugerah Dewan Pers 2021 di Jakarta, Desember 2021.
Tren perilaku bermedia itu menjadi tantangan terbaru jurnalisme. Aparat lebih suka berpidato melalui Youtube dan wartawan menulis pidato itu seakan-akan sedang meliput seorang berbicara. Hampir tak ada diskursus atau gugatan kritis. Media kadang mencomot apa yang terjadi di media sosial sebagai bahan berita. Itu sebagian kritik untuk media.
Di tengah situasi ketidakpastian, jurnalisme haruslah kembali kepada jati dirinya kembali pada fungsi utama. Menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan. Dan, lapangan adalah laboratorium jurnalisme. Jurnalisme dituntut bisa menjalankan peran memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan melakukan kontrol sosial.
Berbagai platform yang berkembang harus tetap didekati dengan prinsip jurnalisme. Jurnalisme yang baik, yang memosisikan dirinya sebagai rumah penjernih informasi. Agar mampu berkontribusi pada peradaban, membutuhkan dukungan semua pihak. Ya pembaca, pengiklan, dan regulator.