Keputusan negara-negara serumpun untuk bersama-sama mengajukan kebaya sebagai warisan tak benda ke UNESCO hendaknya dimaknai sebagai upaya untuk bersama-sama menjaga kelestarian kebaya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Perempuan dari berbagai komunitas berjalan mengenakan kebaya untuk memeriahkan HUT Ke-77 RI di Lodji Gandrung, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (14/8/2022). Mereka mengenalkan kebaya sebagai bagian dari tren fashion yang berkiblat pada warisan budaya.
Kebudayaan tak mengenal batas teritori dan tidak bisa dicegah penyebarannya. Demikian pula halnya kebaya, bukan hanya berkembang di Indonesia.
Keputusan pemerintah Indonesia mengusulkan kebaya sebagai warisan tak benda ke UNESCO bersama dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam (Kompas, 8/2/2023) merupakan langkah tepat. Selain lebih strategis dibandingkan jika memilih mekanisme single nomination, keputusan ini hendaknya juga bisa mengakhiri silang pendapat soal sentimen kepemilikan tunggal terhadap kebaya.
Kebaya bukan hanya milik bangsa Indonesia. Faktanya, kebaya berkembang dan diakui menjadi kebudayaan di negara-negara serumpun yang memiliki kesamaan suku bangsa, yaitu Melayu, tersebut. Kebaya diakui sebagai salah satu pakaian tradisional etnis Melayu dan peranakan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam yang menyebar melalui hubungan dagang beberapa abad silam.
Di Indonesia, dan juga di negara-negara serumpun, kebaya juga bukan kebudayaan asli penduduknya, melainkan dipengaruhi ragam kebudayaan bangsa lain, seperti Arab, China, Portugis. Hasil akulturasi budaya tersebut melahirkan karakteristik dan ragam kebaya yang berbeda antarnegara. Karakteristik kebaya di Indonesia tentu berbeda dengan kebaya di negara-negara serumpun.
Di Indonesia, dan juga di negara-negara serumpun, kebaya juga bukan kebudayaan asli penduduknya, melainkan dipengaruhi ragam kebudayaan bangsa lain, seperti Arab, China, Portugis.
Seiring perkembangan masyarakat, berkembang aneka macam modifikasi kebaya. Kini kebaya tidak sebatas sebagai pakaian yang dikenakan saat upacara-upacara tradisi atau peristiwa-peristiwa tertentu sebagaimana pada jaman dahulu, tetapi sudah menjadi ikon mode dan akrab dalam keseharian kaum perempuan. Kebaya kini juga menjadi simbol emansipasi dan pemberdayaan perempuan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Dengan mengenakan kebaya dan kain, para peserta mengikuti jalan santai sambil menari di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, saat pelaksanaan hari bebas kendaraan, Minggu (19/6/2022).
Lebih dari itu, menilik sejarahnya, kebaya juga menjadi pemersatu bangsa. Sebagaimana dikatakan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid (Kompas, 8/2), penetapan elemen budaya ke daftar UNESCO merupakan upaya mempromosikan keberagaman budaya dan dialog antarkomunitas. Nominasi bersama (joint nominations) lima negara adalah momentum untuk mempererat solidaritas ASEAN.
Dalam mencatat suatu warisan budaya, UNESCO juga bukan mengakui asal-usul budaya, melainkan agar budaya itu mendapat pelindungan dari warga dunia agar berkelanjutan (lestari). Karena itu, keputusan negara-negara serumpun untuk bersama-sama mengajukan kebaya sebagai warisan tak benda bukan sekadar strategi agar lebih mudah dicatatkan di UNESCO, tetapi lebih dari itu untuk bersama-sama menjaga kelestarian kebaya sesuai karakteristik masing-masing.
Menuju pengajuan usulan kebaya sebagai warisan tak benda ke UNESCO, yang akan dilakukan paling lambat 31 Maret 2023, selain menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan, penting juga memperkuat ekosistem agar kebaya tetap hidup dan berkembang di masyarakat, bahwa kebaya bukan sekadar pakaian ataupun elemen kebudayaan, melainkan alat pemersatu bangsa.