Produksi Pengetahuan dan Laku Beragama NU di Tengah Keberagaman
Cara produksi pengetahuan NU adalah dengan mendialogkan Islam dan budaya Nusantara dengan cara yang lentur. Ini menghasilkan watak Islam Nusantara yang ramah dan dapat menerima perbedaan agama.
Pada 16 Rajab 1444 H, bertepatan dengan 7 Februari 2023, Nahdlatul Ulama atau NU menginjak usia satu abad (16 Rajab 1344 H–16 Rajab 1444 H).
Sebagai satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU sejak kelahirannya senantiasa berupaya menampilkan wajah Islam yang tidak mengabaikan realitas Nusantara. Komitmen NU dalam menyuarakan Islam Nusantara tidak perlu diragukan lagi. Salah satu watak Islam Nusantara yang diajarkan NU adalah ekspresi Islam dengan wajah yang ramah. Laku beragama yang sejalan dengan realitas masyarakat Nusantara yang majemuk.
NU, keberagaman, dan realitas Nusantara
Keberagaman merupakan realitas dalam masyarakat Nusantara yang tidak terbantahkan. Meski secara keseluruhan umat Islam adalah mayoritas, itu tidak dapat menghapus fakta bahwa ada pemeluk agama lain di sekitar kita. Umat Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, hingga Penghayat, semua hidup berdampingan sebagai satu masyarakat.
Baca juga: NU dan Komitmen Politik Kebangsaan
Baca juga: NU Meleburkan Segregasi Sosial
Sebagaimana Mohammed Arkoun dalam Rethinking Islam Today menjelaskan bahwa pesan-pesan kitab suci (ajaran agama) perlu dibaca dan ditafsirkan dengan melihat realitas masyarakat. Maka, dalam keadaan keberagaman Nusantara, menuntut umat Islam, dan umat agama lain, untuk mengembangkan laku beragama yang saling hormat-menghormati, yang sejalan dengan realitas masyarakat Nusantara yang majemuk.
NU sangat peka akan realitas ini sehingga membuat produksi pengetahuan dan laku beragama NU mengarah pada ajaran Islam ramah yang menerima perbedaan.
Merawat pluralisme agama
Selama ini, dan hingga nanti, NU selalu berupaya menampilkan ekspresi Islam yang tidak mengabaikan realitas Nusantara. Cara produksi pengetahuan NU adalah dengan tidak membenturkan Islam dan budaya Nusantara, tetapi mendialogkan keduanya dengan cara yang lentur. Dengan demikian, pertemuan dialogis antara budaya Nusantara yang mementingkan harmoni dalam kehidupan masyarakat dan ajaran Islam yang mengajarkan hidup tanpa kekerasan menghasilkan watak Islam Nusantara yang ramah dan dapat menerima perbedaan agama.
Cara-cara seperti itulah yang banyak diajarkan oleh para ulama NU. Misalnya, tampak pada produksi pengetahuan Gus Dur (Kiai Abdurrahman Wahid) yang dengan pendekatan budaya berhasil mendialogkan antara nilai Islam dan budaya Nusantara. Dengan demikian, produksi pengetahuannya selain banyak menyumbangkan pemikiran dalam pribumisasi Islam dan dinamisasi tradisi, juga banyak mengajarkan Islam ramah yang dapat menerima dan menghormati perbedaan agama. Sebagaimana Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, mengajarkan bahwa Islam sepatutnya tampil sebagai pelindung bagi semua orang termasuk non-Muslim.
Tanpa ajaran agama yang mengedepankan nilai-nilai pluralisme, berupa kesadaran untuk hidup berdampingan dalam perbedaan, potensi tirani mayoritanisme hingga chaos akan membesar.
Dalam Pribumisasi Islam, Gus Dur juga mengajarkan dalam beragama penting untuk mempertimbangkan masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa. Dalam hal ini, sebab Muslim Nusantara hidup dalam lingkungan masyarakat yang heterogen, maka wajah Islam ramah, termasuk wajah ramah dari agama yang lain, yang menghormati perbedaan agama menjadi satu kebutuhan dasar dalam kehidupan masyarakat. Sebab, tanpa ajaran agama yang mengedepankan nilai-nilai pluralisme, berupa kesadaran untuk hidup berdampingan dalam perbedaan, potensi tirani mayoritanisme hingga chaos akan membesar.
Selain itu, produksi pengetahuan NU dalam merawat pluralisme adalah dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana Kiai Hasyim Muzadi dalam Nahdlatul Ulama di Tengah Persoalan Bangsa, menjelaskan kalau salah satu prinsip atau karakteristik pluralisme NU adalah pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam paradigma pluralisme NU ini, setiap orang, Muslim maupun non-Muslim, harus diperlakukan secara manusiawi. Sebab nilai kemanusiaan menjadi milik setiap orang.
Jadi, Islam yang dipahami NU, melalui produksi pengetahuan para ulamanya, bukanlah Islam yang mengedepankan ego mayoritanisme dan membangun tembok pemisah dengan non-Muslim. Melainkan, Islam yang mengajarkan untuk menerima perbedaan dan membina hubungan baik dengan sesama manusia meski manusia itu adalah non-Muslim.
Meruntuhkan ego mayoritanisme
Produksi pengetahuan NU dalam merawat pluralisme tentu berdampak kepada kesadaran warga nahdliyin dalam menerima perbedaan agama. Namun, kesadaran pluralisme belum cukup jika tidak ditindaklanjuti dengan upaya meruntuhkan ego mayoritanisme dalam diri. Sebab, kesadaran pluralisme dapat dikaburkan oleh kemabukan ego mayoritanisme.
Merasa si paling mayoritas sehingga memandang si minoritas tidak pantas mendapat porsi beragama yang sama dengan kelompoknya. Memandang bahwa umat Islam wajar membangun masjid yang besar dan megah karena adalah mayoritas, sedangkan untuk minoritas, cukup beribadah di rumah dan tidak perlu membangun rumah ibadah. Ego mayoritanisme seperti ini merupakan musuh alami dari kerukunan antarumat beragama.
Kesadaran pluralisme belum cukup jika tidak ditindaklanjuti dengan upaya meruntuhkan ego mayoritanisme dalam diri.
Kiai Hasyim Muzadi dalam Nahdlatul Ulama di Tengah Persoalan Bangsa mengingatkan, ”Umat Islam di Tanah Air sebagai kelompok mayoritas yang berada dalam bingkai kebangsaan Indonesia harus lebih bertanggung jawab menyangkut hak-hak kalangan minoritas. Klaim bahwa umat Islam adalah mayoritas dan oleh karena itu harus menguasai berbagai sumber daya negara secara mayoritas pula adalah pernyataan sepihak (yang tidak mendasar)....”
Jadi, dalam paradigma Kiai Hasyim Muzadi, justru karena Muslim mayoritas sehingga memiliki tanggung jawab besar dalam memberi keamanan dan kenyamanan bagi minoritas, dan bukan malah sebaliknya memanfaatkan jumlah yang banyak untuk menindas mereka yang jumlahnya sedikit. Paradigma ulama NU ini menghendaki laku beragama yang meruntuhkan ego mayoritanisme dalam diri. Menumbuhkan kesadaran bahwa kemayoritasan umat Islam tidak untuk menunjukkan ego mayoritanisme, tetapi untuk menjadi potensi besar menyebarkan rahmat ke seluruh alam (Nusantara).
Selain itu, prinsip etika sosial NU dalam kehidupan bermasyarakat mengarahkan laku beragama yang mengedepankan sikap tawasuth dan i’tidal (moderat dan adil), tasamuh (toleran tehadap perbedaan), tawazun (seimbang), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan mencegah kemungkaran). Pada prinsipnya, sebagaimana dijelaskan M Masyhur Amin dalam NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, sikap tawasuth dan i’tidal merupakan laku beragama yang mengedepankan kesadaran menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama. Dalam arti, mengedepankan kesadaran kesetaraan antarumat beragama, dan membuang jauh ego mayoritanisme dalam diri.
Baca juga: Jalan Abad Kedua Nahdlatul Ulama
Jadi, dalam ajaran NU, apa pun agamamu, kita semua adalah setara sebagai sesama warga negara dan sesama manusia. Paradigma pluralisme NU ini membangun kesadaran hidup berdampingan antarumat beragama. Dan, dalam hal ini, kita perlu meruntuhkan ego mayoritanisme dalam diri.
Ajaran Islam ramah seperti yang dijelaskan di atas melingkupi produksi pengetahuan dan laku beragama masyarakat NU. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika selama ini NU, dengan jejaring dan anak-anaknya, senantiasa membangun dan menjaga hubungan baik dengan non-Muslim. Watak pluralisme yang menjadikan NU banyak berkontribusi dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Produksi pengetahuan dan laku beragama ini penting untuk terus dirawat oleh NU dalam meniti jalan menuju usia kedua abadnya.
Moh Rivaldi Abdul, Mahasiswa Doktoral S-3 Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam Pascsarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta